Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Wednesday 7 December 2011

Belajar Bersyukur


Nurul menyodorkan selembar Surat perintah kerja, “Hari ini mas Danu setim dengan Mba Nisa.” Katanya sambil melemparkan senyumnya.
Meskipun senang melihat senyum manis Nurul, gadis resepsionis itu tapi tetap saja aku merasa kecewa. Untuk pertama kali aku bertugas di luar bersama seorang gadis. Apalagi semua orang tahu, gadis bernama Annisa itu sedikit aneh.
“Mas, Mba Nisa sudah nunggu di bawah.” Nurul menegurku lagi. Ia meletakkan telepon yang baru saja dijawabnya. Mungkin tadi Annisa yang meneleponnya memberitahu. Aku hanya mengangguk.

Annisa, atau Nisa sedang duduk di atas kap mobilku. Sepasang headset menghiasi kedua telinganya dan kepalanya tertunduk. Dengan tergesa-gesa aku mendekatinya.
“Ayo!” kataku sambil menepuk kap. Nisa tak menjawab, ia hanya tersenyum sembari mencopot headsetnya, turun lalu masuk ke dalam mobil yang kuncinya telah kubuka. Ia sibuk memakai safety belt sementara aku sibuk menstarter mobil.
“Ke mana kita, Mas?” tanya Nisa. Aku menyebutkan nama sebuah gedung ternama di daerah Bekasi.
“Waah, jalan-jalan dong! Hmmm..” ujar Nisa tersenyum kecil.
“Uh, yang benar saja. Paling tidak kita butuh sekitar satu jam untuk sampai ke tempat itu, itu kalau tidak macet. Jakarta bagian mana sih yang gak macet? Apalagi jam-jam begini.” Keluhku.
Nisa terkekeh, “Macet itu jangan dikeluhkan Mas, tapi disyukurin.”
Kini aku yang tertawa kecut, “Yang bener aja kamu, Nis. Macet kok syukur.”
“Lah iya, macet itu kalau kita pandang secara positif pasti ada manfaatnya. Coba sekarang tuh kita pasti setop di depan karena ada lampu merah. Macet nih ceritanya. Ayo, mas!”
Aku hanya mengangguk kecil, sedikit bingung tapi kami memang terjebak di lampu merah, “Sudah. Terus?”
“Lihat, sekarang kita setel musik pasti lebih menyenangkan.” Gadis itu mencari-cari lagu di pemutar radio di dashbord dan ketika sebuah lagu pop dangdut mengalun, kami tertawa berbarengan. “Ini aja ya, kan cocok buat mas.” Aku hanya tertawa kecil tapi tak urung kepalaku ikut bergoyang.
“Kita ini macet yang enak mas, gak kepanasan, bisa sambil dengerin musik. Kalau gak karena macet, apa bisa mas nyantai dengerin musik gini?” katanya.
“Kamu bener, Nis. Aneh tapi emang bener. Pantas saja kamu disebut aneh sama teman-teman.” Kataku pelan.
Nisa kembali tertawa, “Aneh apa sih? Karena aku selalu memandang segalanya dengan bersyukur? Kok aneh?”
“Begitukah? Mmm.. aku pernah dengar kamu dimarah-marahi oleh Pak Yunus karena terlambat, lalu pernah juga aku dengar katanya kamu gagal dilibatkan dalam proyek, trus waktu adik kembarmu meninggal. Kata teman-teman, kamu justru santai-santai saja menanggapinya. Bahkan menurut mereka lagi, seperti orang yang sedang bahagia.”
“Karena begitulah hidup, Mas. Bersyukur. Aku menganggap teguran Pak Yunus karena dia peduli sama aku, walaupun dengan nada marah. Bagiku itu seperti orangtua yang sedang memarahi anaknya. Soal aku gagal ikut proyek, aaah… aku bersyukur karena mungkin kalau aku memaksakan ikut ada hal-hal yang aku lewatkan di jakarta, atau mungkin aku bisa membuat kesalahan. Aku selalu percaya ada rencana Allah yang jauh lebih baik untukku. “ kata Nisa, lalu matanya menatap keluar jendela mobil, “Kalau soal Alliya, mungkin itu pilihan terbaik Allah untuknya. Alliya itu seperti aku mas. Pasti dia sekarang bersyukur karena dengan kematian, ia tak lagi berbuat dosa.” Aku menangkap mata Nisa terlihat berkaca-kaca.
Aku terdiam, ada perasaan tak enak karena membangkitkan kenangan yang pasti tak menyenangkan untuknya. Tapi baru saja mulutku ingin berucap, tiba-tiba Nisa berkata, “Coba tuh orang bersyukur, pasti dia gak marah-marah gitu hanya karena lecet diserempet.”
Aku melirik arah tempat Nisa baru saja menunjuk. Tampak dua orang sedang bertengkar mulut di trotoar, saling menyalahkan disaksikan kerumunan orang. Dua  mobil di dekat mereka tampak tergores cukup lebar di bagian samping. “Yang benar saja, bersyukur karena terserempet?”
“Iyalah. Paling gak mereka masih hidup. Dengan terserempet, mereka pasti lebih berhati-hati menyetir sekarang. Harusnya bersyukur dan saling memaafkan, kalau perlu berterima kasih karena sama-sama diingatkan.” Ujar Nisa sambil mengeluarkan sebatang coklat dari tasnya. Dia membuka bungkusnya dan membaginya padaku.
Aku membuka mulut dan Nisa menyodorkannya tanpa canggung, “Nah ini juga bersyukur, sarapan pagi manis dari gadis manis.” Goda Nisa. Aku kembali tertawa kecil.
Kami sampai ke lokasi kerja kami  hampir dua jam kemudian. Berkendara bersama Nisa ternyata menyenangkan, dia selalu membuatku tertawa dan meskipun kami telat hampir empat puluh lima menit, aku tak merasa lelah atau cape. Mungkin karena sepanjang jalan Nisa mengajariku tentang cara bersyukur.
Saat kami melewati jalan bergelombang karena ada perbaikan, dia bilang kita harus bersyukur karena jalan itu memakai uang yang kita bayarkan. Lalu ketika aku mendebatnya dengan berkata bahwa artinya ada orang yang akan korupsi, dia malah bilang orang korupsi itu gak ada hubungannya dengan syukur. Mereka akan dihukum dengan cara Allah sendiri, tapi sebagai manusia kita tetap harus berpikir positif dengan bersyukur karena masih bisa memberi kontribusi untuk negara yang fasilitasnya kita juga yang pakai.
Ketika melihat anak jalanan, Nisa bilang kalau tanpa kehadiran mereka aku pasti takkan bisa minum air mineral setelah terlalu banyak makan coklat. Waktu melihat orang yang menyetop mobil untuk meminta sumbangan, Nisa bilang harusnya kita bersyukur karena diingatkan untuk berbagi dan bahkan ketika kami harus menggunakan ojek 3in1, Nisa bilang itu artinya kita harus bersyukur karena masih diberi kesempatan bersosialisasi dan berbagi dengan orang lain.
Tapi ketika kami sedang bekerja, Nisa justru berbeda. Dia tampak serius dalam menyelesaikan perbaikan dan hanya berbicara kalau perlu. Keringat yang membasahi tubuhnya pun tak ia pedulikan meskipun membuatnya jadi kelihatan kusut. Baru kali ini aku melihat seorang gadis yang tak mempedulikan penampilan dan justru lebih mempedulikan pekerjaannya.
Ketika aku tanyakan soal itu, dia menatapku serius, “Karena pekerjaan kita ini beresiko, Mas. Listrik itu berhubungan dengan kepentingan orang banyak. Kita boleh bercanda, boleh bermain tapi kalau bekerja, kita harus serius. Pekerjaan yang dijalani tidak dengan serius berarti tidak bersyukur. Kita bersyukur bukan hanya karena mendapatkan sesuatu, tapi juga ketika menjalankan sesuatu dengan sukses.”
Nisa memang beda, tapi entah kenapa aku justru suka melihatnya. Kurasa aku jatuh cinta sama gadis itu, itulah dalam benakku setelah hampir seharian bersamanya. Kami menyelesaikan pekerjaan kami dan kembali ke kantor. Aku menawari Nisa pulang bersama setelah pulang kerja nanti dan gadis itu hanya mengangguk.
“Gimana, Dan? Aneh kan tuh cewek!” kata Jacky ketika aku menghempaskan tubuh di kursi. Aku tak menjawab, hanya tersenyum-senyum.
“Yah, dia ketularan aneh nih kayaknya!” sambung Sinaga, rekan kerjaku yang lain.
Jacky tertawa, “Dia nyatain cinta sama lu, Dan?”
Aku menegakkan punggung dan menatap Jacky berkerut, “Cinta? Maksud lo apa, Jack?’
“Eh, Dan. Nisa itu suka sama lu. Dia pernah bilang sama si Nurul.” Sergah Jacky sambil menepuk bahuku. Sinaga mengangguk-angguk setuju.
“Oh ya, lu semua kok gak bilang sama gue?” sesalku sambil merengut pada Jacky. Jacky dan Sinaga sama-sama tertawa.
“Mana kita tahu kalau lu suka model dia. Biasanya kan pacar-pacar lu tipenya kayak si Nurul. Mana kita nyangka, yo Jack! Kami kira kamu lagi kejar si Nurul.” Sambung Sinaga
Dan Jacky pun mengiyakan, “Ho oh! Jadi lu gak tahu? Ya ampun, Dan..” Ketika aku menggeleng bingung, mereka malah tertawa bersama-sama.
****
Sore itu aku pulang bersama Nisa. Ternyata tadi di kantor ia berganti pakaian, jadi tak terlihat sedekil aku. Jadi menyesal juga aku karena tadi malah asyik mengobrol dengan Jacky dan Sinaga. Kalau tidak, aku pasti lebih pede bicara dengan cewek ini. Tapi bukankah semua hal harus disyukurin? Tapi apa yang harus disyukurin dari badan bau dan tampang dekil begini? Apa aku harus bersyukur karena berhasil menghemat sabun mandi dan baju bersih? Tanpa sadar aku tertawa kecil.
“Yaah, dia ketawa sendiri. Ada apa sih Mas Danu?” tanya Nisa ingin tahu.
“Sedang belajar bersyukur, tapi jadinya malah lucu.” Jawabku sambil berpikir mencari strategi yang tepat untuk mengajak Nisa berkencan.
Nisa hanya tersenyum, “Mas, aku setop di depan situ aja ya.”
“Hah! Kok cepat amat?” tanyaku. Duh, padahal aku belum sempat bicara apa-apa sama dia. Aku tak tahu kalau ternyata rumahnya dekat dari kantor.
“Rumah kost saya masuk agak ke dalam, tapi saya pengen turun di sini aja Mas.” Jawab Nisa. Aku menepikan mobil di tepi jalan.
“Saya antar sampai ke dalam aja deh. Mobil bisa masuk kan?” tanyaku mencari kesempatan.
Nisa tersenyum, “Bisa sih. Tapi saya lebih suka jalan dari sini. Bersyukur… karena punya dua kaki sempurna.” Kilahnya. Dia akan beranjak keluar ketika aku menggamit lengannya.
“Boleh saya belajar bersyukur juga, Nis?” tanyaku pelan. Nisa mengangguk bingung.
“Saya ingin bersyukur karena bertemu orang yang mengajariku tentang arti kata itu dengan mengajaknya makan malam bersama besok jam tujuh malam. Boleh?”
Nisa terdiam menatapku, senyumnya tetap mengembang dan ia pun menjawab, “Dan saya dengan penuh rasa syukur akan menjawab tentu saja. Mari kita bersyukur sama-sama.”
Dan dia pun keluar dari mobilku, melambai-lambaikan tangan padaku dengan wajah bahagia sebelum menghilang di balik gang. Malam yang sungguh menyenangkan, bertemu gadis muda yang mengajariku tentang bersyukur dan terus terang aku rasa aku ingin segera menjadikannya istriku. Gadis yang selalu bersyukur adalah wanita yang paling tepat untuk menemani hidupku.

0 comments:

Post a Comment

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena