Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Sunday 20 April 2014

Cinta Murni

Istirahat kelas baru saja selesai dan sebagian anak-anak berlarian menuju tempat cuci tangan, bersiap-siap untuk pulang. Para ibu guru bergerak ke sana ke mari untuk mengawasi tingkah anak-anak yang terkadang lepas kendali. Beberapa anak dari kelas Ara, putriku sudah mulai keluar satu persatu. Tapi Ara belum juga nampak.
Aku berdiri di dekat gerbang. Sebentar lagi, giliran Ara pasti tiba. Sambil menunggu, aku memandangi sekelilingku. Melihat ke arah bangku khusus orangtua yang penuh dan kuputuskan untuk menunggu di dekat gerbang itu saja.
Tak jauh dari tempatku berdiri, ada Yozi. Anak berumur lima tahun itu, menyatukan kedua tangannya. Sebentar ia melirik padaku, sesaat kemudian ia kembali menatap Mamanya. Entah apa yang mereka bicarakan. Jarakku terlalu jauh untuk mendengarkan pembicaraan antara ibu dan anak itu. Raut wajah anak itu tampak kusut, dan semakin bertambah kusut mendengar ucapan Mamanya yang terus menunjuk padaku. Sepertinya ia sedang memohon sesuatu. Entah apa.
Karena penasaran, kakiku pun melangkah mendekati mereka. Mungkin aku bisa membantu anak yang terus berdiri seperti robot dengan mata melirik ke sana ke mari.
“Kenapa, Yo? Pengen apa?” tanyaku santai.
Bukannya menjawab, wajah Yozi malah memucat. Mamanya yang tadi membuang muka dari anaknya, melihat ke arahku dengan tersenyum. Lalu melemparkan tatapan tajam pada Yozi.
“Tuh, Mama Ara sudah di sini! Minta maaf sana!” kata Mama Yozi dengan oktaf ditinggikan.
Dengan wajah takut-takut, Yozi menyodorkan tangan kanannya padaku. “Ma.. maafin Yo, Tante.”
Aku terkejut. “Loh untuk apa?” tanyaku sambil berjongkok. Aku bisa melihat dengan jelas wajah Yozi yang masih pucat.
“Ta.. tadi Yozi numpahin bekal Ara. Tapi Yozi gak sengaja, Tante. Sungguh!” jawabnya cepat sambil mengangguk-angguk.
Aku melepaskan senyum untuk menenangkannya. “Ya gak papa, Yo. Tadi udah bilang sama Ara?”
Anak laki-laki malah kelihatan kecewa. “Iya, tadi Yozi sudah bilang maaf sama Ara. Tapi Aranya malah nangis, Tante. Trus Yozi kasihin bekal Yozi tapi Ara masih nangis terus. Kata Mama, Yozi disuruh minta maaf sama Tante aja.”
“Memangnya kenapa Yozi tumpahin bekal Ara?” selidikku tanpa berhenti tersenyum.
“Yozi gak sengaja, Tan. Yozi gak sabar mau makan bekal sama Ara, terus tangan Yozi nyenggol kotak makan Ara. Terus jatuh deh… “Anak itu mengakhiri penjelasannya dengan tertunduk lesu.
“Sekarang Yozi sudah makan?”
Dia menggeleng. Tak berani menatap wajahku.
“Terus kotak makan Yozi di mana?” tanyaku lagi.
Tanpa menjawab, Yozi menunjuk ke arah kelas. Keningku berkerut. Kulemparkan tatapan penuh tanda tanya ke arah Mama Yozi yang ikut mendengarkan pembicaraanku dengan putranya. Ia hanya tersenyum simpul.
“Kita cari Ara yuk!” ajakku. Tanpa peduli raut wajah kuatir yang tergambar jelas di wajah anak laki-laki setinggi pinggangku itu, aku menggandeng tangannya. Mamanya tetap duduk masih sambil tersenyum-senyum. Ia membiarkan Yozi menghadapiku sendiri, karena ia mungkin memahami kalau aku juga sayang pada putranya.
Putriku masih duduk di bangku kelasnya yang sudah kosong, bersama salah satu ibu guru yang terus membujuknya untuk tidak menangis. Mata Ara masih basah. Dadanya masih turun naik menyisakan sesegukan yang belum berhenti. Samar tercium aroma nasi goreng ayam yang kumasakkannya pagi tadi dari tubuh putriku. Ada noda bekas tumpahan nasi di bagian dada seragamnya.
Tangan anak laki-laki yang kugenggam makin terasa berat. Mungkin ia takut bertemu Ara. Meski setengah menyeretnya, akhirnya aku bisa mencapai meja tempat Ara duduk. Ara mendongak, menatapku lalu tangisnya pecah lagi. “Mamaaa!” dan ia pun menyerbu dalam pelukanku. Menangis tersedu-sedu. Spontan aku berjongkok memeluknya. Tanpa sadar aku melepas genggamanku dari tangan Yozi.
“Maaf, Ma. Tadi nasi bekal Ara tumpah. Jadi… “ Ibu guru berdiri menjelaskan tapi aku mengangkat tangan untuk memotongnya. Mataku melihat ke meja, sebuah kotak makan bening  berstiker Spiderman tergeletak di sana dan isinya terlihat utuh.
“Gak papa, Ra. Gak papa. Nanti di rumah kan bisa mama masakin lagi nasi gorengnya,” bujukku di telinga Ara.
“Tapi Ara maunya makan sama Kak Zi! Huhuhu…. “isaknya lagi.
Aku tersadar. Kini aku menyadari apa yang sedang terjadi. Antara Ara dan Yozi, mengapa Ara menangis dan mengapa ia tak menyentuh kotak makan pengganti dari Yozi. Kulepaskan pelan-pelan pelukanku dari Ara.
“Jadi Ara nangis bukan karena nasi gorengnya tumpah? Tapi karena gak bisa makan bareng Kak Zi?” tebakku.
Tebakanku tepat. Kepang Ara bergerak naik turun mengiyakan. Sesegukannya mulai berkurang. Ia sedikit lebih tenang mendengar kata-kataku. Kulemparkan senyum pada Ara.
“Ara tahu tidak? Tadi Kak Zi sedih juga waktu lihat Ara nangis. Ya kan Kak Zi?” Aku menoleh pada Yozi yang masih berada di belakangku. Yozi mengangguk cepat dan berulang kali meyakinkan.
“Kak Zi juga belum makan, Ra. Kak Zi gak bisa makan kalau Ara sedih. Ara gak kasihan sama Kak Zi?”
Ara menatap Yozi. Mata polosnya tampak kuatir. Ia bergerak mengambil kotak makan berstiker spiderman itu dan menyerahkan kembali pada Yozi. “Kak Zi! Makan!”
Aku tersenyum pada Yozi. “Tuh, Zi. Dibalikin sama Ara. Yozi makan saja. Yozi belum makan, kan?”
Yozi masih kelihatan ragu. “Ara juga belum makan,” ucapnya pelan.
“Nanti Tante beliin sosis goreng di kantin saja. Hari ini Ara boleh jajan.”
“Gak usah, Tan!” potong Yozi cepat. Lalu ia menatap Ara dengan tulus. “Aku mau bagi bekalku buat Ara. Ara mau gak?”
Mata Ara membulat. Bersinar gembira. Ia mengangguk dua kali.
Tak lama, dua anak itu sudah duduk lagi di meja mereka. Makan bersama dalam piring berbeda namun menu yang sama. Spageti dengan bakso. Keduanya tersenyum-senyum, sambil mengobrol tentang mainan. Ara sudah ceria lagi. Mata sembabnya sudah bersinar kembali. Yozi tak lagi tampak pucat ketakutan karena kini ia memamerkan mimik lucu pada Ara yang tertawa melihatnya. Aku dan Mama Yozi hanya berdiri mengawasi keduanya dari balik kaca jendela ruang kelas. Kami hanya bisa ikut tersenyum melihat keduanya.
Mereka masih duduk di bangku TK. Ara masih empat tahun setengah dan Yozi yang baru saja merayakan ulang tahun kelimanya. Aku tak tahu mengapa kedua anak itu lebih akrab daripada dengan teman-teman mereka yang lain. Seringkali ketika Ara lagi enggan ke sekolah, aku memakai nama Yozi untuk membuatnya bangkit dan bersemangat lagi. Ternyata Mama Yozi pun demikian. Tanpa kami sadari, kedua putra putri kami berubah menjadi dua orang sahabat dekat yang sangat akrab.
Mereka, mungkin tak paham artinya cinta. Apalagi cinta dewasa. Aku juga tidak tahu harus berkata apa. Tapi yang aku tahu, inilah persahabatan sejati. Cinta yang murni antara sepasang anak yang tak tahu arti kata dari setia, cinta apalagi kasih sayang. Yang mereka tahu, hanyalah bagaimana mengekspresikan perasaan mereka. Seperti pada saya, Ara juga memberikannya pada sahabatnya. Pada Yozi, ia melihatnya sebagai sosok adik yang harus ia jaga.
Masih panjang waktu mereka. Banyak yang akan berubah. Kalaupun berubah, suatu hari akan kuceritakan pada Ara yang sudah dewasa, gadisku yang sudah mengenal seluruh dunia seperti apa dirinya ketika masih TK. Tentang seorang anak laki-laki bernama Yozi, yang mau membagi makan siangnya, yang selalu menggandengnya, yang selalu duduk di sampingnya, yang selalu membujuknya saat menangis, yang meminta maaf karena membuatnya menangis da membuatnya tersenyum bahagia lagi. Tentang sebuah cinta murni sepasang anak TK.
******
Read More

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena