Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Tuesday 13 December 2011

Pasar Yang Terbakar


Kepulan asap terlihat dari kejauhan, dari balik atap-atap rumah. Aku berlari keluar mencari tahu, mengedarkan pandangan pada sekeliling rumah. Para tetanggaku pun ikut berhamburan keluar, sama-sama terbawa rasa penasaran dari mana datangnya asap hitam besar yang baunya tercium hingga ke rumah-rumah kami.
“Kebakaran di mana, mas?” tanyaku ketika melihat seorang pria yang berlari-lari melewati gang sempit rumah kami.
Pria itu menoleh,”Di pasar bu, habis. Semuanya kena,” kata pria itu sambil kembali berlari. Entah ke mana dia pergi, tapi kurasa ia ingin melaporkan peristiwa itu pada seseorang.

Aku terkejut. Pasar itu terletak sekitar 500 meter dari rumah kami. Tapi efek api yang terasa sampai ke rumahku, membuatku membayangkan apa yang terjadi. Pastilah ini kebakaran besar. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang biasa berjualan di sana?
“Ada apa, Bu?” tanya suamiku yang tergopoh-gopoh keluar bersama putra kami. Mereka baru saja selesai sholat Dhuha.
“Kata orang tadi, yang kebakaran itu pasar, pak,” jawabku.
“Innalillahi Wa inailahi rojiun. Do, kamu jaga Ibu ya. Bapak ke sana dulu. Siapa tahu ada yang perlu dibantu,” kata suamiku lagi sambil memakai sandal, berjalan menuju pasar. Beberapa laki-laki yang sebaya suamiku juga tampak sibuk lalu lalang menuju ke pasar.
“Hati-hati, pak,” pesanku seraya melepas kepergiannya menuju pasar itu.
***
Suamiku pulang menjelang Dhuhur. Ia terlihat letih, basah dengan keringat dan baju kaos yang dikenakan terkena jelaga di sana sini. Begitu masuk rumah, ia minum air setelah itu mandi dan membersihkan tubuhnya.
Setelah ia makan siang dan menunggu waktu dhuhur di depan rumah, aku mendekatinya.
“Gimana keadaannya, pak?” tanyaku ingin tahu. Kuletakkan secangkir teh manis di atas meja.
“Parah bu, hampir semua isi pasar habis terbakar,” jawabnya dengan nada prihatin. “Tadi bapak bantuin ibu-ibu tua ngangkatin jualannya. Kasihan ibu itu, hanya bisa teriak dan menangis,” sambungnya lagi. Mata suamiku menerawang.
“Kira-kira bapak tahu gak karena apa?” tanyaku lagi.
Suamiku berpikir sejenak, “Kata orang-orang sih korsleting listrik. Tapi anehnya, waktu kebakaran itu terjadi terlalu cepat kalau misal penyebabnya korsleting. Bau bensin itu tercium tajam sekali. Padahal setahu bapak, di pasar itu kan sudah lama tidak ada lagi yang berjualan bensin. Tapi ya bapak gak berani ngomong, bu. Bapak takut kalau bapak ngomong dikira fitnah dan juga malah bikin mancing emosi para pedagang yang sedang bingung. Jadi bapak cuma nolong siapapun di situ yang perlu bantuan. Biarlah tugas polisi saja yang menyelidiki kejadian itu,” ujar suamiku panjang lebar. Aku hanya mengangguk-angguk.
Aku pun terdiam mendengarnya. Pasar itu adalah tempat aku biasa berbelanja. Dari aku kecil dulu ibu selalu mengajakku ke sana sampai kemudian aku menikah dan pindah tak jauh dari rumah Ibu, aku tetap sering berbelanja ke pasar itu. Aku mengenal beberapa orang penjual, yang juga sebagian mewarisi usaha mereka dari orangtuanya.
Sepasang suami istri setengah baya yang berjualan ikan, yang memiliki tujuh orang anak. Lima dari anak mereka sudah sarjana dan bekerja di tempat yang bagus. Sedangkan yang dua lagi masih kuliah. Mereka selalu bercerita tentang kemajuan anak-anak mereka pada para langganannya termasuk aku. Bahkan aku menghadiri semua pernikahan anak-anaknya. Tapi mereka juga tak pernah lupa bertanya tentang kami. Aku selalu menjadikan mereka sebagai contoh orangtua pekerja keras yang bisa mengantarkan anak-anak mereka sampai jenjang pendidikan tertinggi.
Yang membuatku sedikit heran adalah anak-anak mereka, jika sedang libur dari kerja atau kuliahnya mereka tak segan ikut membantu orangtuanya berjualan ikan yang berbau amis. Tiap kali kugoda, anak-anak itu sama sekali tidak merasa risih atau malu. Bagi mereka, karena ikanlah mereka bisa sekolah jadi soal bau dan kotor bukanlah masalah. Oh Tuhan, sungguh mulianya hati anak-anak itu.
Lalu aku teringat tukang jamu yang sering mangkal di pasar itu. Tukang jamu yang seumuran denganku itu mewarisi usaha jamunya dari ibunya. Mbak itu memiliki seorang anak cacat mental yang ia asuh sendiri setelah suaminya pergi meninggalkannya. Ia hafal jenis jamu yang biasa kubeli tanpa pernah kuingatkan lagi, bahkan karena jamu temulawak buatannya aku berhasil membuat Ridho yang sulit makan akhirnya mau makan dan pertumbuhannya pun cukup baik.
Atau Bapak tua penjual mainan itu. Veteran perang yang memilih berjualan mainan itu adalah langganan Ridho waktu dia masih kecil. Dulu setiap kali aku ke pasar, aku tak pernah lupa membeli mainan darinya. Dari harga masih lima ratus perak sampai lima ribu rupiah. Kami memang tak mampu membelikan Ridho mainan mahal saat itu, tapi ketika itu Ridho selalu gembira menyambut mainan yang kubelikan. Aku dan bapak tua itu pun jadi saling kenal dan selalu bertegur sapa, walaupun kemudian aku tak lagi sesering dulu membeli mainan darinya karena Ridho sudah beranjak remaja. Sesekali aku masih membeli mainan, itupun untuk kuhadiahkan pada keponakanku atau terkadang pada anak teman-temanku yang berulangtahun. Aku membelinya karena kupikir tak baik memutuskan rezeki orang sama sekali. Lagipula senang rasanya membuat wajah tuanya tersenyum saat ada dagangannya yang laku.
Dan si ibu penjual nasi uduk itu. Suamiku paling doyan tempe bacem buatannya. Kata suamiku, “tempe bacemnya seperti buatan ibuku, Bu.” Dan setiap kali ke pasar, suamiku tak pernah lupa singgah membeli tempe bacem padanya. Kadang-kadang, aku yang membelikannya kalau tugas mengantarkanku ke pasar digantikan oleh Ridho. Sementara Ridho menggemari urap buatannya.
Terlalu banyak kenanganku pada orang-orang di pasar itu. Orang-orang kecil yang ramah dan polos itu. Aku pernah sekali ketinggalan dompet di rumah, tapi masih bisa berbelanja. Suamiku heran saat itu. Jangankan dia, aku sendiri juga bingung. Kenapa mereka bisa begitu percaya padaku?
“Ga papa, Ibu kan langganan saya bertahun-tahun. Sesekali hutang ya ga masalah. Ibu mau apa lagi? Nanti saya bantu ngomongin sama yang dagang, jadi ibu gak usah bolak balik cuma buat nganter duitnya. Entar biar saya ambil uangnya di rumah ibu saja, rumah ibu dekat aja kan? Atau anak ibu aja yang ke sini, saya kenal kok.” Dan aku hanya bisa berterima kasih karena mereka mau memakluminya. Hari itu dengan keranjang penuh belanjaan, aku tetap bisa memenuhi kebutuhan makan keluargaku. Hanya Ridho yang merengut kesal karena kusuruh kembali ke pasar, membayar semua tagihanku.
Pernah aku kelimpungan takut tidak kebagian bahan makanan terutama daging dan ayam saat lebaran padahal pekerjaan di rumah juga banyak, karena biasanya di saat lebaran mau tiba pasar sangat ramai tapi tak  banyak penjualnya karena rata-rata sudah pulang kampung. Kesiangan dikit, pasti kita takkan kebagian. Salah satu penjual ayam langgananku mengatakan, “ibu pesan berapa? Jam berapapun ibu ambil nanti saya simpenkan.” Saat aku datang setelah mengurus rumah dulu, ternyata penjual ayam itu masih menungguku dengan daging ayam yang ia janjikan padahal dagangannya sudah habis dari tadi dan ia sama sekali tidak menaikkan harga. Kalaupun saat itu aku menambahkannya karena memang aku tahu itulah harga yang wajar untuknya.
Ada banyak penjual yang kukenal di sana. Pasangan suami istri perantau dari Padang yang menjual bumbu, anak muda penjual sepatu dan sandal, bapak penjual telur yang kujuluki Bapak Beta, adik tukang sayur yang sudah dua kali menikah dan selalu curhat padaku, ibu penjual ketan yang ramah dan murah senyum, pedagang alat-alat rumah tangga yang selalu membandingkan dengan supermarket, atau pria penjual kosmetik yang paham benar mengenal hampir semua produk kecantikan wanita. Entah apa kini  yang terjadi pada mereka setelah pasar tempat mereka berjualan sudah terbakar habis? Besok, jadwalku biasa berbelanja. Hari minggu pagi bersama suami atau anakku yang mengantar, sekalian melihat keadaan pasar. Aku berharap orang-orang itu masih ada dan berjualan di sana.
***
“Kenapa gak ke mal aja, bu?” tanya Ridho saat melihatku bersiap-siap ke pasar bersama ayahnya. Ridho sedang menyelesaikan tugas kuliahnya, merancang bangunan. Putraku memang kuliah di jurusan arsitektur design.
“Ibu pengen ke pasar aja, sekalian ngeliat apa pasar sudah normal lagi atau belum? Kalau ke mal, ibu gak biasa,” jawabku sambil mengambil tas belanja daur ulang yang kutaruh di samping kulkas. “Hati-hati di rumah ya Dho.”
Aku menghampiri suamiku yang sudah menunggu di halaman dengan motor tuanya. Aku naik dan motorpun melaju. Kami  tak banyak mengobrol karena angin agak kencang dan jalanan agak lengang. Biasanya macet baru setelah dekat dengan pasar. Suamiku mempercepat laju motornya.
Sampai di depan pasar, aku turun. Tampak pita larangan melintas garis polisi membentang mengelilingi lokasi pasar yang sudah berganti rupa jadi abu hitam dan jelaga berhamburan di mana-mana. Boro-boro melihat pedagang, aku justru melihat sekumpulan pemulung asyik memunguti sampah sisa kebakaran. Tanpa sengaja mataku melihat sebuah spanduk besar yang tergantung seadanya di atas puing-puing bangunan yang tersisa.
“DI SINI AKAN DIBANGUN GEDUNG PT. XXX. DENGAN IJIN IMB NO. XXX/TAHUN 20XX, PROJECT PT. XXXXXXXXXXXXXXX”
Aku menoleh ke sana ke mari. Aku melihat beberapa orang ibu-ibu keluar dari sebuah gang seperti habis berbelanja. Gang itu berada di sebelah lokasi pasar itu. Aku berjalan ke gang tersebut dan melihat sekumpulan orang menggelar dagangan seadanya, memenuhi gang sempit itu. Aku berjalan pelan mengamati para pedagang, sebagian mereka adalah orang-orang yang kukenal dulu biasa berdagang di pasar. Aku mendekati salah satu dari mereka, penjual ayam langgananku itu.
“Eh ibu, bingung ya bu nyari pasarnya?” tanya pedagang itu saat mengenali wajahku.
Aku mengangguk, tanganku sibuk memilih ayam. “Pasarnya pindah ya bang?” tanyaku.
Pedagang itu tampak masygul, “Iya bu. Sebenarnya sudah lama pasar mau dipindahkan tapi pedagang nolak terus. Eh tahunya begini deh jadinya. Kami terpaksa harus pindah karena pasar gak akan dibangun lagi. Yang punya aja sudah ganti. Kami ini orang kecil bu, mau ngelawan pakai apa? Modal aja habis kebakar semua,” keluhnya.
“Kenapa gak ikutan pindah, bang?” tanyaku.
“Tempat yang baru itu jauh sekali dari sini, bu. Di sini saya punya banyak langganan. Kata teman-teman saya yang pindah ke sana, di sana masih sangat sepi. Sudah begitu, anak-anak saya semua sekolah di sini, rumah saya biar kecil juga punya saya sendiri. Kalau kami pindah ke sana, kami terpaksa harus memindahkan sekolah anak-anak dan mencari rumah baru. Semuanya perlu biaya, padahal kami sudah kehilangan banyak,” jawab pedagang itu. T
“Ini aja bang, dua ya. Harganya naik ga?” tanyaku sambil menyodorkan dua daging ayam yang kupilih.
Pedagang itu menggeleng, “Gak bu, saya nggak naikin harga. Saya sudah kehilangan banyak pelanggan. Boro-boro mikirin naikin harga, menjual stok yang ada saya juga gak yakin bisa habis hari ini.”
Aku terdiam, tak tahu lagi harus berkata apa. Kuangsurkan selembar seratus ribuan padanya. Pedagang itu hendak mengambilkan kembalian, tapi aku menggeleng. “Ambillah, bang. Saya ikhlas. Pakai buat membangun usaha abang lagi, ya,” kataku.
Mata pedagang itu menatapku penuh rasa terima kasih, “Makasih bu, makasih banget. Nanti kalau saya sudah dapet tempat buat dagang dekat-dekat sini, saya pasti kasih ibu diskon eh… nggak, saya kasih gratis. Ibu cari saya ya kalau ke sini.”
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Kuputuskan untuk mencari bahan-bahan masakan di “pasar” kaget itu, membayar tanpa menawar lagi. Tujuanku membantu orang-orang itu agar bisa membangun usaha mereka lagi walaupun tidak di pasar yang sama. Penjual ayam itu memang benar, hampir semua tak berani menaikkan harga karena merasa sudah kehilangan banyak pelanggan.
Rupanya suamiku juga sibuk mencari tukang nasi uduk langganannya. Ia tampak kecewa karena tak berhasil menemukannya. Kami pulang dalam kebisuan dan kekecewaan karena sekarang aku harus putar otak mencari pasar tradisional yang lain. Menurut sebagian pedagang tadi, “pasar” kaget itu hanya bersifat sementara. Kalau gedung besar yang akan berdiri di bekas pasar akan dibangun, maka pasar itupun akan segera dibubarkan karena tak berijin.
Aku masuk ke rumah dengan langkah gontai. Kulihat putraku tampak puas telah menyelesaikan gambar rancangannya. Kudekati putraku setelah meletakkan belanjaanku di dapur.
“Bikin apa sih, Do?” tanyaku ingin tahu. Kulihat gambar gedung tinggi yang dirancangnya, rapi sekali hasilnya.
“Mal, bu. Bagus kan?” jawabnya sambil memamerkannya padaku.
Senyumku langsung lenyap, “Memang bagus, Do. Tapi kalau suatu hari kamu membangun mal yang sesungguhnya, boleh ibu meminta satu hal padamu?”
“Apa tuh bu?” tanya putraku ingin tahu.
“Pikirkan dulu apakah gedung yang kau bangun itu berguna untuk orang banyak atau malahan menggusur kepentingan orang banyak ya nak. Mengerti?” anakku tampak kebingungan, tapi aku tak peduli. Aku bangkit dari kursiku dan menuju dapur. Sudah waktunya aku mengolah sayur dan lauk untuk makan siang nanti.
Ridho akan memahami maksudku suatu hari nanti. Tak perlu meminta dari pemerintah dan orang-orang pemilik kekuasaan itu saat ini karena mereka sudah kehilangan hati nurani, hati mereka telah diganti dengan batu karang yang bahkan lautan pun tak bisa menghancurkan. Biarlah aku memulainya dari Ridho, putraku sendiri saja.

0 comments:

Post a Comment

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena