Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Tuesday 31 July 2012

Kisah Ramadhan - Fitnah Itu Membunuhku


Kisah tentang Fitnah


Mendapatkan pekerjaan di perusahaan swasta besar yang memiliki cabang hampir di seluruh Indonesia, memang membanggakan. Tapi resikonya adalah kita harus siap dipindahkan ke manapun apalagi kalau masih menjadi karyawan baru.

Saya mendapatkan pekerjaan tersebut dan ditempatkan di posisi keuangan. Pekerjaan tersebut membawa saya berkeliling di beberapa daerah di Indonesia, bahkan menemukan jodoh saya di belantara Kalimantan.


Pada prakteknya, di semua perusahaan sama saja. Ada tikus-tikus kotor yang berusaha mengambil kesempatan mengeruk keuntungan dari perusahaan. Inilah kesalahan terbesar saya saat itu, meskipun tahu aksi para tikus-tikus kotor itu, saya membiarkan semua itu terjadi karena tak ingin bermasalah dengan orang-orang kuat di belakang aksi tersebut. Saya memilih diam karena tahu kalau terbongkar, maka aksi ‘kejahatan terselubung’ itu akan menghancurkan hampir keseluruhan karyawan di departemen saya. Walaupun begitu, saya memilih untuk tidak menjadi bagian dari pekerjaan kotor itu dan tetap istiqomah dengan apa yang saya tuju, membina keluarga sakinah ma waddah warohmah bersama istri tercinta. Saya bahkan tak pernah menceritakan apapun pada istri, orang yang paling dekat pada saya saat itu.

Ternyata kebisuan saya itu menjadi bumerang. Dalam satu bulan, kapal kehidupan saya bagai dihempas di lautan terdalam dan karam. Saya mengalami percobaan pembunuhan dan hampir meninggal. Di tengah kemalangan itu, kami dihantam pula sebuah fitnah keji. Bahwa mantan pacar istri sayalah yang merencanakan semua itu. Padahal saya tahu betul, dua hari bahkan beberapa menit sebelum kejadian itu terjadi, sudah ada beberapa hal yang membuat saya tahu siapa sebenarnya di balik percobaan pembunuhan itu. Sayangnya, saya tak sempat mengumpulkan bukti-bukti dan ancaman itu makin jelas ketika saya melihat justru orang-orang itu berusaha keras mengaburkan fakta-fakta selama saya berada di rumah sakit.


Fitnah itu ‘membunuh’ kami berdua. Karier istri saya hancur dalam sehari, saya dipindahkan kembali ke kantor pusat. Belum lagi akibatnya, karena dugaan itu teman-teman istri saya yang rata-rata laki-laki semuanya diinterogasi oleh pihak kepolisian hingga membuat dia dijauhi teman-temannya. Padahal sebelum menikah, istri saya belum pernah berpacaran dan awalnya kami pun disatukan oleh persahabatan. Itu pula yang akhirnya membuat saya meminta pihak kepolisian menghentikan penyelidikan, karena saya merasa takkan ada gunanya melanjutkan tanpa bukti-bukti dan saya kuatir akhirnya malah membuat keluarga semakin terpuruk dengan fitnah-fitnah yang lebih kejam. Apalagi setelah kejadian yang menimpa saya, karyawan lain juga banyak yang mengalami hal-hal yang hampir mirip dan akhirnya memilih hengkang dari cabang perusahaan tersebut.


Secara tak langsung, fitnah itu juga membunuh karakter saya, mengubah kepribadian saya. Saya sudah merasakan kematian itu sekali, dan saya tak mau suatu hari nanti saat ajal benar-benar menjemput, saya justru berada dalam lingkaran setan. Saya tak mau menyembunyikan fakta penting sendirian, hingga membuat para tikus itu semakin merajalela.


Bertahun-tahun kemudian, saya mulai menyaksikan kejatuhan mereka. Orang-orang yang saya tahu terlibat di balik kejadian yang menimpa saya. Ada yang dipenjara, ada yang dipecat dan bahkan akhirnya duduk di kursi kantor tanpa memiliki jabatan atau fungsi apapun. Tapi entah mengapa tetap saja rasa dendam ini tak bisa hilang dari hati saya. Seseorang menasehati saya bahwa memaafkan orang-orang yang menyakiti kita memang sangat sulit, namun setelah itu insya Allah hati kita akan jauh lebih tenang dan lebih bahagia. Saya tersentuh dengan kata-kata itu, dan berusaha untuk memaafkan orang-orang yang selama ini telah menyakiti saya walaupun mereka tak pernah sekalipun memintanya. Kehadiran anak-anak dan istri serta teman-teman baru akhirnya bisa mengobati rasa sakit itu.


Hikmahnya saya mulai bisa merasakan ketenangan yang selama ini berusaha saya dapatkan. Istri saya juga mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik. Mungkin ini bisa disamakan seperti hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah, karena kami juga melakukannya. Pindah ke kota lain agar bisa menjalani hidup yang baru. Kami memang memulai segalanya dari awal, tapi pelan-pelan kami memulainya dengan meluruskan niat dan menegakkan kebenaran.

Sekarang, setelah bertahun-tahun menghindari departemen yang sama, saya kembali dihadapkan pada posisi yang hampir sama yaitu menyelidiki kebobrokan keuangan. Kali ini dengan niat Lillahi Ta’ala, saya tak lagi merasa takut. Lebih baik mati dengan membela kebenaran, daripada mati konyol karena diam melihat kesalahan. Apalagi saya tahu bahwa iman yang paling lemah adalah saat kita mengetahui sebuah kesalahan tapi hanya menegurnya di dalam hati.


Istri saya hanya tersenyum miris ketika mendengar saya membuat seorang ibu hamil menangis. Saya juga sebenarnya kasihan, tapi ini demi menjaga kelurusan niat saya. Akan lebih baik saya menjaga agar ibu tersebut memelihara dirinya dari uang atau makanan yang haram agar anaknya lahir dengan darah yang benar-benar ‘suci’. Ketika saya selesai mengatakannya, istri saya berkata. “Ternyata memang benar kenapa fitnah itu disebut lebih kejam dari membunuh ya, sayang. Karena suamiku yang lama sudah mati bersama ketakutan dan kekuatirannya, suamiku yang sekarang adalah suami yang berani menegakkan kebenaran. Entah aku harus berterima kasih atau tidak, tapi yang jelas aku merasakan kebenaran Allah sekali lagi.”

Ya, fitnah itu memang lebih kejam dari pembunuhan.

Ingin berbagi pengalaman hidup yang bisa menginspirasi orang lain? Kirim email ke kisah.ramadhan@yahoo.co.id.
Read More

Friday 27 July 2012

I Wanna Be Emak - Sholat

Emak pengen banget sholat bareng bersama anak-anak dan Ayah. Selama ini sejak Ade lahir, Emak selalu sholat bergantian dengan Ayah atau Kakak dan Abangnya karena mereka tak punya pembantu untuk menjaga Ade.

Tentu saja Ayah senang mendengar niat Emak. Ayah juga kangen mengimami Emak, mengaji bersamanya dan lalu memberi tausyiah buat anak-anak beserta Emak. Ayah langsung mengangguk setuju dan Ayah sangat bersedia membantu Emak.
Read More

Kisah Ramadhan - Ikhlas

Kisah tentang Ikhlas, ikhlas dalam menghadapi ujian dunia, baik ujian susah maupun senang.

Dulu seperti kebanyakan orang, saya juga memiliki tujuan hidup. Tentu saja meraih keberhasilan dunia dengan paling tidak memiliki jabatan dan menjadi kaya karenanya. Tujuan yang sebenarnya cukup beralasan mengingat masa kecil saya yang selalu hidup dalam kesulitan ekonomi. Saya ingin menjadi kaya, agar orang-orang yang saya cintai akan mendapatkan kemudahan dalam melakukan apapun yang mereka inginkan, tidak seperti saya yang untuk sekedar hidup saja harus berjuang setengah mati.
Pepatah yang mengatakan bahwa hidup itu bagai sebuah roda, kadang di atas dan kadang di bawah itu ternyata benar terjadi pada saya. Dalam kehidupan, saya mengalami banyak perubahan. Terkadang memang perubahan itu baik untuk saya tapi terkadang kehidupan itu membawa saya pada perubahan yang buruk.
Suatu kali saya pernah merasakan kenikmatan dunia yang disebut harta. Harta berlimpah, apapun bisa saya beli saat itu. Saya merasakan betapa seluruh dunia ada di genggaman saya. Anehnya, saya sama sekali tidak merasa bahagia seperti dugaan saya. Yang terjadi justru sebaliknya. Keluarga saya yang selama ini memang saya utamakan akhirnya malah berubah jadi pemalas. Mereka hanya ingin meminta dan terus meminta pada saya. Adik-adik saya tak ada satupun yang bekerja atau berusaha, semuanya sepenuhnya menggantungkan hidup pada saya. Sampai lelah saya menasehati bahkan pernah saya memutuskan untuk tidak memberi uang lagi, mereka malah berhutang ke rentenir yang akhirnya terpaksa saya lunasi juga. Saya juga hampir tak punya waktu untuk menikmati kekayaan itu, karena hampir sepanjang hari waktu saya dihabiskan untuk mengejar ’harta’ itu. Bahkan ketika malam telah larut, kadang-kadang saya masih di kantor untuk menyelesaikan pekerjaan.
Saya jauh dari istri dan anak-anak saya. Ketika mereka mengajak untuk sekedar menghabiskan waktu bersama, saya selalu menganggapnya sebagai pemborosan waktu. Saya selalu menunda-nunda semua yang seharusnya bisa saya nikmati.
Sampai kemudian, kejenuhan melanda. Saya mulai lelah dan bosan menghadapi rutinitas pekerjaan kantor yang padat. Belum lagi jenuh itu meledak, timbullah hal lain. Saya jatuh sakit, jantung mengalami gangguan. Selama beberapa bulan, saya terpaksa beristirahat total dan berhenti bekerja. Kami sekeluarga berada pada titik terbawah dalam putaran roda kehidupan. 
Adik-adik yang selama ini menggantungkan seluruh hidupnya pada saya, marah dan mulai menjauhi. Satu persatu adik-adik saya mendapat masalah tapi kali ini saya hanya bisa melihat saja. Istri saya yang selama ini hanyalah ibu rumah tangga biasa, terpaksa turun tangan dengan berdagang serabutan. Apapun dia lakukan agar empat anak kami bisa tetap bersekolah.
Antara rasa malu karena hidup ditopang oleh istri, marah karena keluarga saya tak mau membantu dan akhirnya bermuaralah kemarahan itu pada Allah SWT yang merampas segalanya dari saya.
Untunglah, kesabaran istri menghadapi semua penderitaan itu membuat saya lebih kuat. Setiap hari, dengan sabar ia mengajak saya sholat dan bersujud pada Allah SWT. Awalnya karena saya malu pada anak-anak yang begitu rajin sholat dan mengaji. Lalu tanpa saya sadar, setiap hari saya juga duduk ikut mendengarkan anak dan istri yang mengaji setelah sholat. Terkadang istri saya menjelaskan satu dua ayat pada anak-anak dan saya ikut mendengarkan.
Dalam masa-masa sulit itu, saya akhirnya menyadari satu hal setelah sering mendengar istri menjelaskan satu dua ayat pada anak-anak. Hidup di dunia bukanlah untuk mengejar kebahagiaan sejati. Kunci kehidupan adalah keikhlasan. Hidup di dunia berarti hidup dengan ujian, ujian kesenangan dunia atau ujian kesusahan dunia. Apapun yang kita jalani kunci tetap sama yaitu ikhlas. Harus tetap tawaddu saat senang dan sabar ketika susah. Kalau kita bisa memberikan keikhlasan untuk semua ujian yang kita dapat, insya Allah kita akan tahu artinya bahagia.
Sampai di situ, saya berhenti marah. Saya berusaha memaknai keikhlasan itu dengan kembali berpikir untuk melakukan sesuatu yang paling sederhana untuk keluarga. Mereka mungkin tak memerlukan saya bekerja dan mencari uang untuk mereka lagi, tapi mereka membutuhkan kehadiran saya sebagai kekuatan batin.
Dengan mencoba ikhlas, saya membantu pekerjaan istri di rumah ketika ia sibuk berjualan. Ketika adik-adik saya tak mau berkunjung, saya datang ke rumah mereka untuk melihat keadaan mereka dan mulai berbicara. Awalnya memang berat, tapi saya terus berusaha sabar. Ternyata pelan-pelan apa yang saya lakukan, terlihat hasilnya. Istri jadi lebih tenang saat bekerja dan perlahan ia mulai memperlihatkan keberhasilan dalam usahanya. Adik-adik juga akhirnya mau mendengarkan nasehat saya, dan mulai mencari pekerjaan. Entah karena kasihan, atau karena akhirnya ikut tersentuh karena kata-kata saya yang tak jarang membuat mereka berurai airmata penyesalan.
Kini, kehidupan saya hampir kembali normal. Usaha istri saya sekarang sudah cukup berhasil dan sebagian digunakan untuk membuka usaha saya yang baru. Usaha yang memungkinkan saya untuk tidak terlalu bekerja keras karena jantung saya masih sangat bermasalah hingga kini. Sementara adik-adik saya sudah berpencar untuk bekerja dan sebagian telah menikah.
Saya mendapat jawaban dari kesimpulan apa yang saya dapat dari mencoba agar ikhlas ketika mendapatkan ujian. Ketenangan. Sesuatu yang tak pernah saya dapatkan sebelumnya. Ketenangan lahir dan batin.

Kebahagiaan yang ingin saya rasakan ternyata asalnya bukan dari harta atau barang yang saya miliki, tapi justru berasal dari orang-orang di sekitar saya. Saya bahagia karena senyum istri saya ketika melihat saya melakukan sesuatu untuknya, saya bahagia ketika melihat anak-anak tertawa karena saya hadir untuk mereka dan saya bahagia ketika melihat orang-orang di sekeliling saya berterima kasih karena saya memberi mereka petunjuk dan bantuan berdasarkan pengalaman saya di masa lalu, berbagi keberhasilan yang dulu pernah saya raih. Itulah bahagia yang sesungguhnya selama ini saya cari.

Ingin berbagi pengalaman hidup yang bisa menginspirasi orang lain? Kirim email ke kisah.ramadhan@yahoo.co.id.


Read More

Wednesday 25 July 2012

Kisah Ramadhan - Hikmah Mengaji


Kisah tentang makna di balik perintah mengaji
"Jen, udah ngaji beluuum?"
"Jangan lupa, selesai sholat ngaji dulu. Jen."
"Hapalanmu sudah sampai mana? Kok gak maju-maju sih?"
Read More

Monday 23 July 2012

Kisah Ramadhan - Tunggu Saya di Pintu Surga!


Seandainya saja bunuh diri itu halal, saya pasti lakukan dulu sebelum jenazah putra saya satu-satunya dan istri dikuburkan. Untuk apa lagi saya hidup ketika seluruh keluarga saya yang selama ini menjadi penghibur hati dan harapan saya telah pergi meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Ketika saya bertanya pada Pak Haji yang membesarkan hati waktu itu, ia hanya diam saja. Saat histeris dan berteriak-teriak marah pada diri sendiri yang tak bisa mencegah musibah itu, tetap saja tak seorangpun berkata apa tujuan hidup saya berikutnya selain kata-kata membujuk untuk sabar. Sabar? Untuk apa?

Saya seorang suami, menikahi wanita Aceh yang baik hati. Ia tak terlalu cantik, tapi orangnya sangat baik dan benar-benar polos. Saat menikahinya, gadis Aceh itu masih sangat muda. Umurnya saja baru 17 tahun dan baru tamat SMU. Saya memboyongnya ke Jakarta setelah berhenti bekerja di Aceh. Sayangnya saat bencana tsunami melanda Meulaboh, seluruh keluarga istri saya menghilang tanpa jejak. Waktu saya dan istri berhasil mencapai kota itu beberapa minggu setelah bencana, tak ada yang tersisa selain lantai keramik rumah yang juga terkelupas sebagian. Istri saya sempat shock hebat. Tapi akhirnya kami bisa melewati masa-masa itu dengan saling menguatkan.

Lama sekali kami baru dikaruniai seorang anak, karena istri saya memiliki kista endometrium. Kami sempat berobat di dokter, tapi harus dioperasi. Istri saya tidak berani menjalani operasi, lalu kami pun pindah ke pengobatan alternatif. Setelah menjalani pengobatan lebih dari setahun, barulah istri hamil. Tepatnya lima tahun setelah menikah, istri saya melahirkan seorang anak laki-laki. Saya bangga bukan main karena anak itu terlahir dengan ukuran tubuh hampir 4 kg. Hebatnya lagi, istri saya melahirkan normal.

Pekerjaan saya yang baru juga sekarang benar-benar mengangkat ekonomi keluarga kami. Saya bisa membeli rumah dan mobil di tahun yang sama setelah Raihan lahir. Kebanggaan saya makin lengkap ketika Raihan terpilih sebagai pemenang lomba bayi sehat.

Dua tahun berlalu, Raihan tumbuh jadi anak yang aktif. Dia sudah pandai bicara, hanya bisa tidur kalau saya yang menidurkannya. Makanya saya pun membeli rumah dekat kantor, agar tiap siang bisa pulang sebentar untuk mengurus Raihan. Kata orang-orang, Raihan mirip sekali dengan Bapaknya. Setali tiga uang dalam segala hal. Raihan memang manja sekali sama saya. Kalau hanya bersama Ibunya, dia biasa-biasa saja tapi begitu saya datang, maka penyakit manjanya langsung kambuh. Maunya digendong saja. Saat itu Raihan suka sekali kalau digelitiki, tertawanya bisa kedengaran sampai ke seluruh kompleks. Saya sering membawanya digendong di pundak sambil berkeliling kompleks dan menyapa para tetangga. Semua orang bilang, duh cakepnya Raihan ini. Raihan memang mewarisi mata Ibunya dan rambut ikal saya yang tebal. Kulitnya putih dan badannya tak terlalu gemuk.

Saya pikir hidup saya sudah sangat sempurna. Istri yang manis, anak yang ganteng dan tambah lengkap lagi ketika istri saya memberitahu kalau ia sudah terlambat haid dua bulan. Waktu itu saya berniat mengajaknya ke dokter untuk periksa. Saya berharap, kali ini dia melahirkan anak perempuan agar melengkapi kebahagiaan saya. Tapi karena di kantor lagi sibuk, saya memintanya pergi sendiri dengan taksi.
Istri saya bilang saat itu, dia maunya saya yang mengantar. Karena itu saya pun mengalah dan berjanji nanti akhir minggu itu kami ke dokter.

Siapa sangka itulah awal malapetaka. Saat tidak ada orang di rumah, istri dan anak saya mengalami musibah. Saya tak bisa dihubungi karena saat itu berada dalam pesawat. Saya melakukan perjalanan dinas ke Nusa Tenggara Barat. Ketika sampai, saya hanya dikabari kalau istri dalam keadaan koma di rumah sakit. Detik itu juga saya memburu tiket untuk pulang ke Jakarta. Di bandara, saya menghubungi handphone istri. Tapi yang menjawab Bapak saya yang meminta saya pulang ke rumah. Padahal saya mau langsung ke rumah sakit melihat istri. Bapak hanya meminta saya pulang dulu anak saya di rumah yang katanya memerlukan saya.

Sampai di rumah, lemas lutut saya ketika melihat bendera kuning kecil sudah berkibar di pagar rumah saya. Ketika itu saya mengira hanyalah istri yang pergi meninggalkan saya untuk selamanya. Tapi ternyata ketika masuk, dua jenazah berjajar menanti kepulangan saya. Saya bingung, jenazah siapa ini?

Bapak mencegah saya melihat kedua jenazah, tapi saya terus memaksa. Dan ketika melihat jenazah anak saya juga terbaring di samping jenazah istri saya, rasanya hati saya hancur bukan main menyaksikan dua orang yang paling saya sayangi sudah tiada. Bapak pun menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya, kalau Istri saya mengalami pendarahan hebat, lalu ia meminta tolong tetangga kami untuk dibawa ke rumah sakit. Karena terburu-buru, mereka melewati lintasan kereta api tanpa mendengar sinyal kereta mau lewat. Dan ketiganya tewas di tempat, tertabrak kereta.

Saya marah sekali. Menyesali diri sendiri karena tak bisa mencegah musibah terberat dalam hidup saya. Minggu-minggu pertama itu, saya seperti orang gila dan terus berteriak-teriak marah. Bapak dan Ibu berkali-kali menyuruh saya untuk sholat. Tapi saya malah marah pada mereka dan menyalahkan mereka karena tak mau menemani istri saya saat saya tinggal keluar kota. Ibu dan Bapak sampai menangis mendengar kata-kata saya.

Setelah empat puluh hari lewat, Bapak tetap tak mengizinkan saya hidup sendirian di rumah. Dia masih tinggal bersama ibu. Bedanya ibu di kamarnya yang biasa kalau menginap di rumah saya, sementara saya dan Bapak selalu tidur di kamar tempat Raihan biasa bermain. Saya memang tidur melingkar terus di kasur tipis tempat Raihan biasa bergulingan sendiri. Beberapa kali timbul keinginan untuk mati menyusul mereka. Tapi  Bapak terus mendampingi saya. Dia sholat di samping saya, berzikir kalau sedang duduk menemani bahkan sesekali dia mencoba berbicara dengan saya. Tapi pikiran saya benar-benar kosong melompong, hati dan jiwa saya seperti ikut mati bersama keluarga saya.

Suatu subuh, saya terbangun dan sayup-sayup mendengar Bapak berzikir di dekat saya yang lagi tidur. Saya mendengar Bapak juga berdoa lama sekali, entah apa isi doanya tapi Bapak sampai terisak-isak menangis. Saya juga ikut meneteskan airmata dan baru menyadari kalau Raihan juga adalah cucu satu-satunya Bapak. Saya memang punya tiga orang adik, tapi baru saya yang sudah menikah dan punya anak.

Saya duduk dan menyentuh bahu Bapak. Bapak menoleh, tapi berusaha keras tersenyum. “Sholat, nak. Doakan anak dan istrimu, ya!”

Saat itulah, saya seperti disadarkan dari kesedihan. Saya pun bangkit dan untuk pertama kalinya setelah musibah saya sholat kembali. Saya menangis ketika berdoa, menyesal dan memohon ampun.

Bapak duduk di samping saya menunggu saya selesai sholat. Ketika selesai, Bapak dan saya duduk berdampingan seperti saya masih kecil dulu. Pelan-pelan Bapak menasehati saya.

“Kehilangan anak dan istrimu memang musibah besar dalam hidupmu, Nak. Tapi terus menerus menangisi mereka, itu perbuatan yang sia-sia. Di dunia ini kita hanya bersentuhan dengan dua hal, perbuatan baik atau perbuatan buruk. Itu saja. Karena Allah lebih mencintai anak dan istrimu, agar mereka berdua tak berbuat buruk dan berdosa lebih banyak itu sebabnya Allah mengambil dan menjaga mereka berdua. Ini juga sebagai ujian untukmu dan untuk kita sekeluarga. Apakah kita bisa bersama-sama keluar dari ujian kesabaran ini dan menjadi semakin beriman, atau malah jatuh menjadi hambaNya yang berputus asa?”

“Kalau mau jujur, Bang. Andaikata Bapak ini bisa menangis darah, maka darahlah yang keluar dari mata ini, Nak. Bapak juga sakit di dalam hati sini karena Bapak juga sayang pada menantu Bapak yang soleha dan anakmu yang gagah itu. Tapi seluruh kebahagiaan dunia itu fana. Kebahagiaan sesungguhnya nanti di surga, anakku.  Almarhumah istri dan anakmu sudah menantimu di pintu surga. Maukah kau bertahan tetap hidup di dunia dan menjalani hidup yang lebih baik agar nanti bisa bertemu mereka lagi? Dengan mendekatkan diri pada Illahi, insya Allah kau juga bisa melewati ujian ini dengan mudah. Jangan sia-siakan penantian mereka di sana dengan membuat dirimu terjerumus dosa, Bang.”

Saya menangis, kali ini bukan karena kehilangan tapi menyesali perbuatan saya selama ditinggalkan orang-orang tercinta. Saya bukannya mendekatkan diri dengan mereka, tapi malah semakin menjauhi mereka. Mereka menanti saya di pintu surga, saya malah berjalan menuju neraka. Saya pun berjanji pada Bapak untuk berubah. Dan sekarang sudah berbulan-bulan berlalu dari hari yang malang itu, saya masih belum bisa melupakan kenangan indah keluarga saya itu, hanya sekarang saya terus berupaya tetap berada di jalan yang lurus, jalan di mana kelak berujung dengan surga tempat kedua orang yang saya cintai menunggu.

Tunggu saya di pintu surga, sayangku dan kebanggaanku! Nanti kita berjalan bersama menuju kebahagiaan sejati itu.

*****
Read More

Sunday 22 July 2012

Kisah Ramadhan - Mama & Sepotong Roti


Kisah tentang ketulusan hati

Sepuluh tahun yang lalu, di awal Ramadhan. Ketika semua orang bersiap menyambut kedatangan bulan penuh berkah. Saya juga sedang bersiap menyambut kedatangan ‘berkah’ yang sudah lama dinanti-nantikan seluruh keluarga. Empat tahun telah berlalu sebelum berkah itu menghampiri kami. Bahkan jatuh bangun, mencoba segalanya hanya agar senyum ceria seorang anak bisa menghiasi rumah tangga kami yang sunyi.

Dan saya masih ingat dengan jelas malam-malam yang terasa panjang setelah dokter mengumumkan jadwal operasi. Jadwal itu tepat dua hari sebelum Ramadhan tiba. Kami tak lagi bisa mundur karena kehamilan saya saat itu sudah lewat dua minggu dari tanggal kelahiran sseharusnya.

Ramadhan itu, saya menjadi Ibu, namun baru memahami arti ketulusan itu bertahun-tahun kemudian. Ketulusan dari seorang Ibu.

Hari itu, ketika semua orang bersiap-siap menyambut bulan puasa. Saya, Mama dan suami sibuk mengurus administrasi untuk operasi. Saya tegang sekali karena baru pertama kali dioperasi. Mama dengan setia, tak pernah sedikitpun, sama sekali meninggalkan saya yang manja. Sedikit saja Mama beranjak, saya langsung merengek ketakutan. Saya takut, this is my last time to see her.

Saya, sibuk memikirkan diri sendiri. What will happen to me? Dan sama sekali tak memikirkan Ramadhan. Ah boro-boro memikirkan Ramadhan, memikirkan suami dan Mama yang sudah berpuasa sejak jauh-jauh hari sebelum Ramadhan pun tidak. Mereka berpuasa dan berbuka seadanya, bahkan terkadang hanya segelas teh saja yang sekedar menyinggahi tenggorokan mereka berdua. Suami menjalani puasa senin kamis sejak satu tahun sebelum saya hamil, dan makin efektif ketika menjelang saya melahirkan. Saya tak tahu, saat itu suami dan Mama berpuasa untuk keselamatan saya.

Saya benar-benar sadar dari pengaruh obat bius, satu hari menjelang Ramadhan. Rasa sakit plus manja membuat Mama tak bisa bergerak ke mana-mana. Karena saya dan suami baru pertama kali memiliki anak, maka kebingungan pun melanda kami. Saya panik dan takut saat pertama kali menyusui, suami bingung mencari keperluan bayi dengan aneka benda-benda yang baru pertama kali dilihatnya. Mama menjadi orang satu-satunya yang bersikap rasional saat itu, tetap tenang dan mengajari kami berdua dengan sabar. Sampai-sampai kami melupakan persiapan sahur malam pertama Ramadhan itu.

Sebelum tidur, saya kelaparan (mungkin pengaruh berpuasa sebelum operasi dan menyusui). Tak ada makanan yang ada di situ kecuali sebongkah roti. Mama memberi saya roti itu dan saya melahapnya, tanpa bercerita kalau roti itu adalah satu-satunya makanan tersisa untuknya pada saat sahur nanti. Ia bahkan meminta saya menghabiskannya, dan saya bersyukur saat itu saya menolak ketika roti tinggal separuh. Setelah makan, saya tertidur lelap bahkan ketika Mama sahur sendirian dengan sepotong roti sisa saya itu. Tak ada warung atau restoran buka pukul 3 pagi di rumah sakit itu, bahkan air panas untuk menyeduh teh pun tidak tersedia. Mama dengan kesabarannya, memilih tetap berpuasa meskipun dari sore ia belum melahap apa-apa selain setengah potong roti itu.

Esok paginya, awal Ramadhan. Lagi-lagi Mama memperlihatkan ketulusan yang takkan pernah saya lupakan. Tanpa peduli ia sedang berpuasa, Mama melayani semua kebutuhan saya yang tidak berpuasa. Mama menyediakan makan dan minum saya tepat waktu. Mama juga tetap membantu saya mengurus bayi saya, meski suami datang untuk menggantikannya menjaga saya. Tetap saja Mama tidak mau meninggalkan saya. Mama tahu, saya masih sangat muda saat itu dan manjanya bukan main. Dengan sabar, Mama terus mendampingi dan mengurus saya. Tak pernah sekalipun saya mendengar Mama mengeluh. Selama setengah Ramadhan, Mama masih mendampingi saya. Mengantar saya ke rumah sakit, bangun tengah malam mengurus bayi menggantikan saya yang kelelahan bahkan ketika harus pulang karena saya merasa sudah bisa mengurus anak, Mama begitu berat meninggalkan kami.

Berbulan-bulan kemudian, saya baru tahu cerita itu dari Papa. Mereka mengenangnya sebagai sebuah pengalaman biasa saja. Tapi tidak untuk saya.

Setiap Ramadhan, saya teringat pengalaman Mama. Mama yang tetap menjaga saya, Mama yang tetap berpuasa dan Mama yang tetap menyimpan kesulitannya tanpa sedikitpun mengeluh. Saya akhirnya memahami, ketika apa yang kita lakukan itu adalah kebaikan dan tidak dihargai, Allah sedang mengajari kita arti ketulusan. Dan saya melihat ketulusan itu pada Mama. Pelajaran yang ingin saya ajarkan pada anak-anak.

Jika suami mengajarkan anak-anak tentang ketulusan para Nabi, maka saya memberi contoh ketulusan Mama pada anak-anak. Orang yang juga sangat dekat dengan cucu-cucunya. Anak-anak mungkin tidak tahu, tanpa sadar pengalaman Mama dan sepotong rotinya juga membuat saya belajar banyak. Ketulusan Mama sebagai seorang Ibu, takkan bisa diukur kedalamannya. Ketulusan Mama sebagai seorang muslimah, takkan bisa diukur berapa besarnya karena Mama melakukannya bersamaan tanpa peduli deritanya sendiri.

Saya baru memahami betapa berbedanya kalau tanpa Mama saat melahirkan anak kedua. Lebaran hari kedua, satu bulan lebih cepat dari rencana. Saat itulah saya merasa sendirian, walaupun suami juga tak pernah meninggalkan saya. Satu-satunya yang menjadi kekuatan saya saat itu adalah ketulusan yang pernah Mama tunjukkan. Ketulusan untuk berjuang meskipun tak seorangpun bahkan anak yang saya lahirkan tahu seberapa banyak yang harus saya lakukan. Pikiran dan tenaga saya semua hanya untuk memperjuangkan kelahiran anak kedua agar lahir dengan selamat.

Dan ketika saya bercerita tentang ini sekali lagi. Mama pasti tertawa saja. “Ya itulah kodrat seorang perempuan, Nak. Jadi Ibu, harus tulus mengurus putra putrinya, sebagai umat dia juga harus tulus beribadah pada Tuhannya dan sebagai seorang istri dia harus tulus mengurus suaminya.”

Saya ingin menjawab. Tidak semua perempuan seperti itu Ma, tidak semuanya. Kalau Mama tak mengajari saya, saya takkan pernah belajar untuk tulus menjadi seorang Ibu, tulus menjadi hamba Allah dan tulus menjadi seorang istri.

Ramadhan, adalah bulan dimana kita belajar arti ketulusan. Ayah yang tetap bekerja meski sedang berpuasa karena tulus mencari rezeki untuk keluarganya, Ibu yang tetap memasak meski hidangan dengan wangi menggoda karena tulus menghidangkan masakan terbaik untuk keluarga, dan anak-anak yang berpuasa karena belajar ketulusan melihat kedua orangtua dan orang-orang dewasa di sekitar mereka.

Ingin berbagi pengalaman hidup yang bisa menginspirasi orang lain? Kirim email ke kisah.ramadhan@yahoo.co.id.
Read More

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena