Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Wednesday 21 December 2011

Kisah Inspirasi - Ajari Aku Cinta! (3)


Aku belajar dari Ayah Faizal kalau cinta adalah memaafkan. Dengan memaafkan, kita belajar mencintai jauh lebih baik. Maaf membuka hati lebih luas dan cinta akan datang dengan mudah.
Dari kak Amira, kakak Faizal aku mempelajari ketulusan cinta. Cinta yang tulus yang kulihat saat ia mendidik putra-putranya. Pertama kali juga aku tahu kalau ketulusan bisa diperlihatkan melalui kemarahan.  Sekali kulihat kak Amira marah pada putranya tapi bukan jenis kemarahan yang sama saat aku kecil dulu, kemarahan di mata kak Amira terkendali dan teramat singkat tapi efeknya jauh lebih dahsyat. Putranya meminta maaf dengan penyesalan sebelum akhirnya kak Amira memeluknya dengan hangat. Hatiku tersentuh melihat cara kak Amira itu.

Najwa, si bungsu adik Faizalpun mengajariku kejujuran cinta. Tanpa segan dan malu, ia bermanja pada kedua orangtuanya. Ketika akrab denganku, iapun tak segan bergelayut memelukku. Kecanggunganku yang tak terbiasa dipeluk justru mencair dengan cara Najwa. Ia mengajariku cara menyentuh penuh kasih sayang dan cinta.
Dan setelah bertahun-tahun, aku melangkahkan kakiku kembali pada orangtua angkatku. Untuk pertama kalinya, aku tak lagi melihat pintu rumah itu sebagai pintu menuju penjara penuh siksa. Bagiku kini rumah itu hanyalah salah satu rumah yang sedang kekurangan. Kekurangan cinta dan kasih sayang.
Aku mengetuk pintu dan menunggu sesaat. Pintu terbuka dan seraut wajah yang kukenal berdiri di sana, Mama. Ia menatapku lama sekali sebelum menangis, tanpa menjawab salamku lagi, ia memelukku begitu kencang. Ia merindukanku dan itu tergambar jelas. Aku memeluknya, berbisik meminta maaf dan berterima kasih karena ia tak pernah melupakanku begitu saja. Mama, orang yang mengajariku mengendalikan emosi selama ini ternyata manusia biasa yang bisa lepas kendali, semuanya karena ia merindukanku, merindukan putri angkatnya.
Mama menggiringku masuk. Ada ketidakramahan menyambutku saat masuk dan menemui dua dari tiga adik angkatku. Kecurigaan di wajah datar mereka sudah menggambarkan betapa keluarga angkatku tak pernah melupakan masa lalu dan masih menyimpannya rapat-rapat. Tapi aku sudah belajar, belajar banyak hal dari kehidupan di luar dan akupun memandang mereka dengan sayang. Kukatakan maaf karena pergi tanpa pernah mengirimkan pesan. Tak ada jawaban, sampai aku memeluk mereka. Dan luluh juga hati mereka yang membatu, sambil menangis mereka menumpahkan kemarahan padaku. Kemarahan karena aku pergi tanpa membawa mereka, kemarahan karena mereka harus kehilangan, kemarahan karena harus menahan rindu dan sedih sendirian. Sepertiku dulu, mereka juga tak terbiasa meluapkan emosi tanpa kendali. Tapi hari itu semuanya luruh jadi satu, kami memang tak sedarah tapi kami saling sayang.
Banyak cerita yang disampaikan Mama dan adik-adikku setelah kami duduk bersama menikmati sore hari itu. Papa sudah lama pergi, tak lama setelah aku pergi. Papa membawa serta semuanya, kecuali rumah warisan dari orangtua Mama. Ia meninggalkan Mama dan menikah lagi dengan perempuan yang lebih muda duapuluh tahun darinya. Mama berhasil mempertahankan surat rumah karena mencurinya dari koper Papa saat berkemas. Mama sama sekali tidak menangis, malah seperti bersyukur karena lelaki kejam itu lenyap dari sisinya.
Ketika aku bertanya tentang adik angkatku yang paling kecil. Airmata Mama mengalir dan tak tertahankan. Adik-adikku yang lain pun menyambung kisahnya. Ternyata adikku yang paling kecil sudah lama meninggal setelah berkecimpung lama dalam dunia narkoba. Ia melarikan diri dari teror trauma Papa dengan obat-obatan, yang sayangnya merenggut nyawanya.
Penyesalan terselip di hatiku, kenapa  tak kembali secepatnya dan menolong mereka? Aku menunduk, menyesali diri ketika Mama menggenggam tanganku. Ia bersyukur aku mau kembali setelah sekian lama, ia meminta maaf karena selama ini tak pernah mencariku atau memberiku perlindungan. Mama selalu berpikir, pelarianku adalah hal terbaik untukku dan ia tak ingin aku menyesalinya.
Mama pula yang mempertemukanku pada keluarga kandungku. Pada Ayah yang kini sudah duduk di kursi roda dan pada Bunda kandungku yang juga sudah terbaring karena stroke. Dengan hati pilu, aku meminta maaf pada mereka karena dulu pernah menyalahkan keduanya. Aku berterima kasih, paling tidak Bunda masih mau melahirkanku, masih mau memberiku nafas kehidupan meskipun tak punya keberanian mengasuhku hingga besar. Pada saudara-saudariku, aku mengulurkan tangan dan kartu namaku. Kapanpun mereka ingin menemuiku, mereka bisa menghubungiku. Meskipun tak kulihat ada cinta di mata mereka, aku menyadari masih perlu waktu yang lama untukku menulari mereka dengan cintaku. Dengan tulus, aku meminta izin sesekali agar bisa menghubungi mereka dan kulihat walaupun keraguan tergambar jelas mereka mau memberiku kesempatan itu.

Bersambung :

0 comments:

Post a Comment

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena