Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Friday 25 May 2012

Sobekan Kertas


Kisah ini saduran dari sebuah dongeng internasional tentang Bulu Angsa (saya lupa pengarangnya krn menghafalnya di luar kepala sejak 10 thn lalu), saya menggantinya dengan versi Indonesia. Jika ada kesamaan dengan inti cerita, ini dimaksudkan untuk diambil manfaatnya saja.

“Hari ini kita belajar tentang Fitnah,” ucap Ibu Hanifah saat memulai pelajarannya.

“Buka halaman berapa bu?” tanya anak-anak hampir bersamaan.

Ibu Hanifah menggeleng, “Gak perlu, kalian cukup mengeluarkan selembar kertas kosong. Boleh kertas bekas, boleh kertas kosong. Apa saja, masing-masing anak hanya boleh satu lembar. Lalu sobek-sobeklah kertas itu sekecil-kecil mungkin. Siapa yang paling kecil dan paling banyak menghasilkan sobekan kertas, akan mendapat kesempatan pertama melakukan langkah selanjutnya. Tampung hasil sobekan kalian nanti di sini!” Ibu Hanifah memberi kode ketua kelas untuk membagikan puluhan kotak kosong yang tadi dibawanya masuk pada seluruh murid.

“Memangnya langkah selanjutnya apa bu?” tanya Aswan ingin tahu. Pelajaran PPKN dari Ibu Hanifah selalu menarik untuk diikuti dan Aswan sangat suka hal-hal menyenangkan seperti ini. Mana ada kan guru menyuruh menyobek kertas kecil-kecil?

“Mmm… baiklah, dia akan mendapatkan kesempatan pertama menyebarkan sobekan kertas itu nanti,” jawab Ibu Hanifah.

“Hah? Yang benar bu?” Ibu Hanifah mengangguk. Melihat anggukan itu, anak-anak langsung melakukan perintah si Ibu guru dengan cepat. Suara mereka ribut saat mulai menyobek-nyobek kertas, memamerkan pada temannya dan saat melihat temannya jauh lebih banyak, mereka kembali menyobek kertas-kertas itu hingga hampir menjadi seperti butiran.

“Ckckck! Kalian memang hebat kalau diajak main ya? Coba kalau belajar juga seperti itu juga.” Ibu Hanifah tertawa kecil saat melihat betapa bersemangatnya para murid diajak seperti itu.

“Ini juga kan lagi belajar, bu,” jawab Siti Farida sambil tertawa geli. Ibu Hanifah hanya tersenyum-senyum.

“Oke, sekarang siapa yang paling banyak? Ayo maju satu persatu biar Ibu periksa! Nanti setelah itu jadikan satu dalam tas plastik itu ya!”

“Baik, Bu!”

Satu persatu semuanya maju. Dan seperti perkiraan Bu Hanifah, Aswanlah pemenangnya. Aswan girang sekali. Dia tak pernah juara kelas, tapi soal beginian dia paling suka.

“Oke, sobekannya sudah kita kumpulkan semua. Aswan, kamu bawa tas plastik ke lapangan ya. Dan anak-anak yang lain, kita ke lapangan bola dulu.”

“Eh, jangan-jangan mau ditebar di lapangan bola nih?” celetuk Kasih saat rombongan itu berjalan beramai-ramai.

“Masak boleh sih? Entar siapa yang mau bersihin?”

“Memangnya apa hubungannya dengan fitnah ya?”

Meski ikut mendengar celetukan anak-anak didiknya, Ibu Hanifah tak berkomentar apapun. Ia tetap meneruskan langkahnya dengan yakin. Begitu tiba di tepi lapangan bola yang berangin, Ibu Hanifah meminta anak-anak berjejer rapi. Aswan dipanggil ke sisi Ibu Hanifah.

“Sekarang, ambil sebanyak yang kamu, Wan. Genggamlah, lalu tiuplah sesukamu!”

Mata Aswan membulat. “Benar nih, Bu?” Ibu Hanifah mengangguk.

Tangan Aswan membuka tas plastik dengan cepat, mengambil segenggam besar sobekan kertas sementara teman-temannya yang lain memintanya menyisakan untuk mereka. Dengan penuh semangat ia meniup sekencang mungkin sobekan kertas itu, dibantu oleh angin dengan cepat sobekan kertas itu menyebar ke mana-mana.

Kepala Sekolah dan Guru Olahraga ikut menyaksikan dari kejauhan. Melihat kejadian itu. Pak Hasim si Guru Olahraga berang. “Eeeh, apa-apaan mereka itu?” Ia hendak beranjak menuju lapangan ketika tangannya ditarik oleh Kepala Sekolah.

“Biarkan saja, Pak Hasim. Tadi Bu Hani sudah minta izin sama saya. Dia janji akan membereskannya. Kita lihat saja.”

Aswan puas saat memandang hasil sobekan yang menyebar cukup banyak. Ibu Hanifah menatap ke arah anak-anak yang lain dan satu persatu mereka melakukan hal yang sama seperti Aswan walaupun tak sebanyak yang Aswan sebar.

Setelah sobekan kertas habis, anak-anak saling tertawa lepas. Mereka senang melihat hasil “permainan” mereka yang menyenangkan.

“Nah, sekarang! Tugas kalian yang terakhir adalah… ” Ibu Hanifah tersenyum manis. Anak-anak diam mendengarkan. “Kumpulkan lagi semua sobekan kertas yang kalian tebar, dimulai dari yang paling pertama menebarnya!”

“Apa??” Anak-anak berteriak kaget.

“Kata Ibu, tadi boleh. Kok sekarang harus mengumpulkan sih?” tanya Aswan merengut kesal.

“Memangnya tadi Ibu bilang habis menebarkan kertas itu maka tugasnya selesai?” Anak-anak menggeleng. Mereka melotot pada Aswan, si tertuduh yang paling banyak menyobek kertas.

“Bu, pakai sapu boleh ya bu?” rayu Aswan. Ibu Hanifah menggeleng. Wajah kecewa terlihat di wajah murid-murid yang lain.

Meskipun bersungut-sungut anak-anak memungut sobekan kertas itu, beberapa dari mereka mengomel pada Aswan. Beberapa kali Aswan disalahkan teman-temannya karena sobekan kertas Aswanlah yang paling kecil hingga sulit untuk diambil, Maka setiap kali mereka menemukannya, Aswan pun dipanggil untuk memungutnya. Tak heran dia nampak kelelahan sebelum selesai melakukannya.

“Sudah cukup!” kata Bu Hanifah. Lapangan belum bersih benar, tapi karena melihat anak-anak sudah lelah maka Ibu Hanifah menyudahi tugasnya.

“Fitnah itu seperti sobekan kertas-kertas yang kalian tebar itu. Ia begitu ringan dan mudah sekali tertiup, dihembuskan oleh sedikit angin maka dengan cepat ia akan menyebar ke mana-mana.” Ibu Hanifah menunduk, mengambil satu sobekan kertas yang berada di dekatnya. “Kadang-kadang karena terlalu kecil dan hanya karena nafsu, fitnah tak lagi jelas apa bentuknya. Contohnya sobekan ini, apa kalian tahu ini sobekan ini tadinya apa jika tadi tak melihat bentuknya dari awal? Tidak. Karena yang kalian lihat hanyalah potongan kecil dari sebuah kertas. Entah apa kertas ini sebelumnya ada tulisannya atau masih kosong? Tak ada yang tahu.”

Anak-anak terdiam mendengarkan.

“Sekarang, saat kalian harus mengumpulkan kembali sebaran kertas itu. Tidak mudah, bukan? Padahal ini tak seberapa dibandingkan fitnah atau gosip bohong yang terlanjur menyebar. Jika mengumpulkan kertas masih bisa dilakukan, memperbaiki fitnah itu benar-benar sangat sulit. Jadi kalian bisa memetik pelajaran hari ini?”

“Bisa!!” teriak anak-anak bersamaan.

“Apa itu? Coba Aswan kamu jawab, pelajaran apa yang kamu dapat hari ini?” tanya Ibu Hanifah sambil tersenyum menggoda. Sejak tadi wajah muridnya yang paling keras kepala itu sudah cemberut terus.

“Mmm… Nanya dulu sampai selesai sebelum mengerjakan tugas bu Hani!” jawab Aswan seenaknya yang disambut gelak tawa teman-temannya. Ibu Hanifah juga tertawa.

“Iya bu, kami paham. Membuat fitnah itu segampang menyobek kertas, lalu gosip atau fitnah itu mudah sekali dihembuskan atau ditiupkan, tapi kalau sudah tersebar maka akan sulit diperbaiki lagi,” jawab Farida setelah mereka berhenti tertawa, memperbaiki jawaban Aswan yang asal-asalan.

“Ya, bagus. Itu kesimpulan pelajaran yang ingin Ibu berikan buat kalian. Semoga kalian tetap mempertahankan kesimpulan ini benar-benar sampai kapanpun dan paling penting benar-benar mempraktekkannya. Sekarang kalian boleh mengambil sapu dan bersihkanlah sisa sobekan kertas ini sampai bersih. Pelajaran selesai setelah kalian menyelesaikannya, setelah itu kalian boleh istirahat!”

Pekik riang anak-anak pecah seketika, termasuk Aswan yang dari tadi masih terlihat kesal. Sementara dari kejauhan, tatapan kagum terpancar dari sepasang mata milik Kepala Sekolah dan Pak Hasim yang menyaksikannya dari kejauhan sedari tadi. Ibu Hanifah memang unik, seringkali memberi pelajaran dengan cara yang aneh tapi apa yang diajarkannya benar-benar mengena dalam hati.


*****





Read More

Saturday 19 May 2012

Lelaki Untuk Perempuan Berhati Mulia

Gadis itu kembali tersenyum padaku, malu-malu dan memberikan selembar kertas. “Tolong ditandatangani, dok!” pintanya. Aku membalas senyuman dan mengambil kertas itu, menandatanganinya sebelum mengembalikan padanya lagi.

“Ibu bagaimana?” tanyaku. “Bisa makan? Bisa istirahat?” sambungku lagi.

Wajahnya yang tadi memerah malu-malu, berubah drastis. Senyum lenyap berganti dengan kemurungan. Ia menggeleng pelan. “Ibu susah makan, dok. Setiap kali saya suapin ibu selalu muntah.”

Hatiku iba melihat wajah murungnya itu. “Tenang ya, jangan sedih. Jangan menyerah! Tetap semangati Ibu supaya terus berjuang. Nanti saya minta suster untuk membantu memberi makanan yang lembut dulu, supaya pencernaan Ibu tidak kaget. Nana yang sabar ya.”

Gadis itu mengangguk. “Terima kasih dok, untuk tandatangannya. Dan untuk nasehatnya. Selamat siang dokter! Saya ke Ibu dulu.”

Aku mengangguk, mengawasi kepergian gadis itu keluar dari ruang praktekku.

Mariana, putri seorang Ibu yang sedang kurawat. Kami biasanya memanggil dia Nana. Gadis itu baru berusia 18 tahun, baru lulus SMU. Putri satu-satunya Ibu Eliana, pasien rujukan dari sebuah RS di Bandung. Ibunya adalah pasien miskin yang mendapat bantuan dana dari sebuah yayasan Kanker. Saat dirujuk, Ibu Eliana diduga terkena Kanker Payudara.

Sayang, Ibu Eliana sudah berada di grade 3 saat dibawa ke rumah sakit ini. Kami sudah mengoperasinya dua kali, tapi Allah menentukan lain. Kanker itu sudah menyebar ke seluruh tubuh Ibu Eliana, semakin mengecilkan peluang hidupnya. Satu-satunya yang membuatnya tetap hidup hingga hari ini, adalah semangat hidup yang tinggi. Semangat hidup yang ia dapatkan dari Nana, putri Ibu Eliana satu-satunya.

Aku sendiri punya Mama. Tapi belum tentu kalau Mamaku berada dalam posisi yang sama, aku akan bisa melakukan hal yang sama. 

Nana, gadis itu begitu menyayangi Ibunya. Saking sayangnya, ia tak pernah lepas seharipun dari sisi Ibunya. Menyuapinya, mengelap tubuhnya, membantu memakaikan baju, memijat bahunya yang pegal, membantu saat akan buang air besar, saat buang air kecil. Bahkan pernah beberapa suster menyaksikan sendiri, Nana menampung muntahan Ibunya dengan tangan sambil menangis terisak. Tak ada rasa jijik selain kesedihan yang begitu dalam. 

Sesekali ada saat Ibu Eliana tak tahan menerima pengobatan kemoterapi yang melelahkan dan menyakitkan. Namun meski sang Ibu membentaknya, memarahinya bahkan terkadang meneriakinya, dengan penuh kesabaran, Nana melayani Ibunya tanpa suara. 

Tadinya aku tak pernah memperhatikannya dan menganggapnya sebagai salah satu keluarga pasienku saja. Sama seperti ratusan keluarga pasienku yang lain. Sampai suatu ketika, ia datang ke rumahku. Aku kaget bukan main melihat kedatangannya, sungguh hal tak biasa ketika seorang keluarga pasien mendatangiku.

Ternyata, ia datang bukan untuk meminta belas kasihanku. Bukan untuk meminta dana seperti dugaan orangtuaku yang juga sama kagetnya denganku. Justru sebaliknya, ia ingin belajar. Belajar tentang Kanker, bagaimana merawatnya setelah operasi, saat kemoterapi, bagaimana mengurus pasiennya, apa yang boleh, apa yang tidak boleh, sampai obat-obat yang harus diberikan. Aku terkesima melihat kesungguhan hati gadis muda itu.

Aku bersedia membantu. Biasanya aku malas melayani keluarga pasien yang ngotot seperti itu, tapi Papa yang memang aktif di berbagai yayasan sosial itu memaksaku menerima permintaan itu. Apalagi waktu Mama ikut mendengar ceritaku soal Ibu Nana dan profil gadis itu. Mama langsung “crying in the rain” mendengar kisah gadis muda itu. Keduanya bahu membahu meyakinkan kalau aku harus membantu gadis itu.

Awalnya Nana datang ke rumahku setiap dua hari sekali. Tapi kemudian karena Ibunya mulai semakin parah, aku memintanya “belajar” di rumah sakit saja. Lalu berhenti sama sekali ketika aku merasa ia sudah cukup bisa memahami apa yang harus dilakukan untuk membantu kesembuhan Ibunya.

Hubunganku akrab dengan Nana, tak ada seorangpun di rumah sakit yang tahu. Semua mengira kedatangan Nana sekedar meminta tandatangan atau mengurus keperluan Ibunya untuk Kemoterapi dan meminta resep obat. Nana pun tak pernah menceritakannya pada siapapun. Ia terlalu sibuk mengurus Ibunya.

***

Kakiku berhenti melangkah masuk ke kamar tempat Ibu Eliana dirawat. Suara-suara di dalam kamar itu membuatku tertarik untuk berhenti sejenak, mendengarkan.

"Kamu yakin, Na?" suara lirih itu seperti suara Ibu Eliana.

"Yakin, bu. Nana dan dokter Ramadhan tidak ada apa-apa kok. Dokter Ramadhan hanya membantu Nana, dia mengajarkan Nana cara merawat ibu. Itu saja, tidak lebih." Suara yang kuyakini berasal dari Nana itu menjawab dengan lugas. Hatiku ciut mendengar jawabannya yang berlawanan dengan keinginanku.

"Terus kalau ibu tidak ada siapa yang bakal jagain kamu, Na?"

Diam sejenak kemudian sebelum terdengar suara lembut Nana sekali lagi. "Ibu, Nana akan selalu bersama Ibu. Walaupun Ibu dan Nana nanti terpisah, pasti Ibu akan menjaga Nana kan?"

"Tentu saja, Na. Ibu pasti akan menjagamu walaupun sudah tak ada lagi di dunia ini. Tapi terus terang sama Ibu, benar kamu tidak punya perasaan suka sama dokter Ramadhan?"

Tawa kecil Nana terdengar. Aku mulai memasang telinga baik-baik. Ini penting bagiku.

"Untuk Nana, dokter Adhan itu terlalu sempurna. Nana ini siapa, Nana sadar banget kalau Nana tidak sesuai dengan dokter. Nana takut, Bu. Biarlah perasaan ini Nana simpan saja baik-baik. Suatu hari nanti pasti ada lelaki yang baik yang akan menjaga Nana. Ibu jangan kuatir, Insya Allah Nana akan menemukan lelaki itu."

"Jadi kamu suka sama dokter?"

Telingaku makin mendekat ke pintu. Please, Na. Jawablah. 

"Suka? Tidak bu." Bahuku langsung merosot. Kecewa. "Bukan suka, Bu. Tapi Nana mencintai dokter Adhan. Suka dan cinta itu beda. Kalau suka berarti sekedar menyukai salah satu dari penampilannya, kalau cinta, ya cinta saja karena kita tak bisa menyebutkan apa yang menyebabkannya."

Dan aku hampir melompat mendengarnya. Yes, yes, yes! Tanganku teracung, berkali-kali mengucapkan syukur. Alhamdulillah ya Allah.

"Dokter Ramadhan?" sapaan itu menyadarkanku bahwa dua suster yang mendampingiku telah datang dan tatapan heran mereka cukup membuatku kembali berpijak ke bumi.

Kami masuk ke ruang Ibu Eliana. Kali ini yang makin membuatku yakin adalah Nana kelihatan terkejut melihat kehadiranku dan ia sama sekali tak berani menatapku. Hanya Ibu Eliana tersenyum padaku. 

***

Aku menatap notes kecil di tanganku. Pesan dari salah satu suster yang berjaga sore, yang mengatakan kalau Ibu Eliana ingin bicara padaku. Sementara di atas mejaku, tergeletak laporan evaluasi terakhir mengenai perkembangan penyakit Ibu Eliana yang semakin buruk. Tak tega rasanya sekali lagi melihat pasienku harus berhadapan dengan maut, apalagi untuk pasien yang memiliki anak seperti Nana. 

Aku berjalan menuju kamar Ibu Eliana. Apapun harus kuhadapi meski Ibu Eliana nanti menanyakan keadaannya.

"Dokter?" Nana mendongak heran melihat kedatanganku di luar jadwal biasa.

"Katanya Ibu mau bertemu saya," jawabku sambil tersenyum. Wajah Nana terlihat lebih pucat, lebih berantakan dan di bawah kelopak matanya ada bayangan hitam.

Tangan Ibu Eliana terangkat memanggilku. Aku mendekat. Suaranya sangat lemah hingga aku tak bisa mendengarnya. Aku mendekatkan telinga ke mulut Ibu Eliana yang bergetar.

"Ja..ga..Na...Na," bisiknya terbata-bata. Nana berlari keluar. Entah kenapa. Aku mengangguk mengerti dan wajah Ibu Eliana kelihatan tenang. Dia tersenyum sebelum memejamkan mata.

Sambil menghembuskan nafas lega, aku memeriksa keadaan Ibu Eliana. Rupanya ia tertidur lagi. 

"Ibu bilang apa dok?" tanya Nana ketika aku melangkah keluar dari kamar.

Aku menoleh. Gadis itu tampak kusut dan sisa-sisa airmata masih menggenang di kelopak mata Nana. "Hanya meminta saya untuk menjaga Nana. Nana, kamu memang kelihatan kurang sehat. Jangan lupa meminum vitaminmu agar kamu bisa tetap sehat ya."

Nana hanya mengangguk lemah. "Kira-kira berapa lama lagi, dok?" tanyanya dengan nada putus asa.

"Hei, kamu tidak boleh bilang begitu. Hanya Allah yang tahu umur seseorang," sergahku. Tanpa sadar aku merangkulnya dan anehnya ia membiarkan. "Jagalah ibumu sekarang, lakukan yang membuatnya bahagia. Ayo tersenyum!" Aku menunggu senyumnya, dengan susah payah akhirnya Nana tersenyum.

***

Sampai suatu malam...

“Dan, Ramadhan! Ada telepon dari rumah sakit, Nak!” suara Mama membangunkan aku.

“Aah, Adhan capek bu, Baru juga tidur, tanyain ada apa,” keluhku






“Pasienmu koma, Eliana namanya.” jawab Mama cepat.






Mataku langsung terbuka lebar, kantukku lenyap tak bersisa. Kuraih telepon itu dan bertanya. Suara suster menjawab pertanyaan dengan singkat dan jelas. Aku langsung mengenakan pakaian yang kudapat paling pertama dari dalam lemari, meninggalkan Mama yang sibuk memunguti pakaianku.






Ibu Eliana sekarat. Ya Allah, jangan dia... tolong jangan dia. Doaku berkali-kali sepanjang perjalanan menuju rumah sakit.






Tapi aku terlambat. Saat tiba di rumah sakit, Nana sudah menangis meraung di sisi Ibunya yang sudah terbujur kaku. Tangisnya terdengar memilukan memecah kebisuan malam di lorong rumah sakit. Wajahnya yang bersimbah airmata seakan menyiratkan kehilangan yang begitu besar.






Aku ingin sekali memeluknya, aku ingin sekali membujuknya. Tapi Nana tak memandangku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa gagal menjadi dokter. Aku gagal menyelamatkan pasien yang teramat penting bagi putrinya.






***






“Selamat siang, dokter!” sapaan akrab itu mengagetkanku. Nana, tersenyum di ambang pintu mengenakan pakaian yang rapi. 






“Nana? Hei, Selamat siang! Ayo duduk!” jawabku, sambil berdiri menyambutnya. Dua perawat yang sedang membantuku membereskan dokumen rekam medik para pasienku tampak kaget. Aku tak peduli. Toh, Nana sudah lama tak muncul di rumah sakit ini.






Nana menyalamiku lalu duduk dan aku pun duduk. Kami duduk berhadapan. Ia tampak berbeda dari biasanya. Dulu ia selalu memakai baju kaus tangan panjang dan rok sepan panjang berwarna gelap. Kerudungnya pun kerudung praktis yang tinggal pakai, sementara kali ini ia mengenakan long dress warna putih dihiasi bunga dengan kerudung kain panjang berwarna senada. Ia lebih manis dan dewasa mengenakan pakaian seperti itu.






“Apa kabar, Na? Sudah lama tidak ketemu. Mm... Tiga bulanan ya?” tanyaku tersenyum.


Nana tertawa kecil. “Iya, dok. Kurang lebih segitu. Saya baru seminggu lalu menyelenggarakan 100 hari meninggalnya Ibu.”






“Saya minta maaf ya Na, saya gagal menyelamatkan Ibumu. Saya.. “






“Ah, dokter. Dokter sudah melakukan semua yang terbaik buat Ibu. Kenapa sekarang merasa bersalah? Justru saya yang belum sempat berterima kasih,” kata Nana. Senyumnya mengembang di bibirnya yang kini terpoles lipstick warna salem.






Aku menghembuskan napas. Sedikit sesak setelah mendengar kalimat penghargaan itu. Entah kenapa aku merasa tak pantas mendapatkannya.






“Dok, saya datang ke sini ingin bertanya. Kira-kira dokter bisa bantu saya tidak?” tanya Nana lembut.






“Apa itu, Na?”






“Saya ingin mengabdikan hidup saya untuk membantu semua ibu yang ada di sini. Saya ingin meringankan beban Ibu saya yang dulu pernah menggugurkan kandungannya dan akhirnya tak bisa punya keturunan. Saya beruntung mendapatkan Ibu angkat sebaik beliau hingga memberi kesempatan pada saya menjadi anak yang berbakti. Bolehkah dokter mencarikan saya pekerjaan apa saja agar saya bisa bekerja di sekitar rumah sakit? Jadi pembantu rumah tangga atau apa sajalah, asalkan saya diperbolehkan membantu Ibu-Ibu yang sedang dirawat disini. Paling tidak mengobati kerinduan saya terhadap Ibu. Apalagi sekarang saya tidak punya siapa-siapa lagi, dok.”






Aku terdiam, terpana mendengar permintaan Nana. Anak angkat? Jadi Nana anak angkat Ibu Eliana? Aku tak bisa berkata-kata. Seorang anak angkat yang bersedia mengurus ibu angkatnya begitu setia. Nana benar-benar di luar dugaanku.






“Dok, dokter?” suara Nana membuyarkan lamunanku. 






Aku berdiri. “Ayo ikut saya!” ajakku.






“Ke mana?”






“Loh, tadi kamu bilang mau pekerjaan kan?”






Nana mengangguk cepat. Aku segera meraih kunci mobil, berpamitan pada dua suster yang tadi ikut menguping pembicaraan kami dan menggiring Nana keluar. Nana tampak kebingungan, tapi ia tak bertanya-tanya lagi.






Sesampainya di depan rumahku, Nana melongok. “Ini kan rumah pak dokter. Kita ngapain di sini?”






“Ayo masuk saja! Nanti kau juga tahu,’ ajakku sambil keluar dari dalam mobil.






Mama menyambut kedatangan Nana dengan gembira. Ia memeluk gadis itu dan aku tetap berdiri di belakang Nana. Aku ingin menyiapkan diriku sendiri sebelum memberitahu pekerjaan yang akan kuberikan untuk Nana. Tapi aku perlu Papa untuk hadir menyaksikannya.






Papa keluar tak lama kemudian. Sama seperti Mama, ia menyambut Nana dengan ramah. Lalu bertanya, “tumben Na, kamu datang berdua Ramadhan. Ada apa ini?”






“Nana datang ke sini mencari pekerjaan, Om, Tante. Dokter bilang ingin memberi saya pekerjaan,” kata Nana polos. Mama dan Papa menatapku, “Pekerjaan? Pekerjaan apa, Dhan?”






Aku menarik napas, menghembuskannya perlahan dan berusaha tenang meskipun tiga pasang mata menatapku penuh tanda tanya. “Saya ingin memberi Nana pekerjaan sebagai istri saya, Pa, Ma. Boleh kan?”


Ketiganya terdiam. Nana terbelalak. Mata indahnya melotot tak percaya. Tapi Papa dan Mama malah tersenyum lebar dengan mata berkaca-kaca.






“Nana, anakku!” bisik Mama dengan air mata meleleh di pipinya. Papa memelukku, penuh rasa syukur mengucap Alhamdulillah berulang kali.






Allah pasti tahu, Nana gadis yang tepat untukku. Untuk perempuan yang mengabdikan hidupnya untuk seorang Ibu, Untuk perempuan yang menghargai arti seorang Ibu, untuk perempuan yang menyayangi Ibu melebihi dirinya sendiri. Dan aku ingin menjadi lelaki beruntung untuk perempuan berhati mulia itu.
Read More

Tuesday 15 May 2012

Kematian Takkan Bisa Merampas Cinta

Tak ada jawaban ketika aku mengetuk pintu kamar Fani, meski sudah berulang kali dan hampir membuat buku-buku jariku sakit semua. Aku menyerah, tapi tatapan mata memohon Tante Siska mengurungkan niatku. Aku kembali mengetuknya.

“Siapa sih? Berisik! Kalau mau masuk, ya masuk saja!” Akhirnya terdengar juga jawabannya. Dengan senyum lebar, aku membuka pintu kamar sepupuku itu.

Astaghfirullah al adzim!! Ini kamar apa kapal pecah? Aku terperangah menatap seantero kamar. Pantas saja Tante Siska panik tadi saat meneleponku, pantas saja kalau melihat perubahan 180 derajat kamar Fani seperti itu aku bisa memahami apa yang dikuatirkan Tante. Pakaian, buku, gelas bekas minuman, cd dan berbagai barang berserakan di lantai kamar, belum lagi tempat tidur yang berantakan. Benar-benar mirip kapal pecah. Mana kamar ini juga gelap dan ehem… bau.

Kupindahkan baju kaos putih lusuh ke pinggir agar bisa berdiri dengan baik di dekat televisi. Kucari sepupuku itu. Ternyata dia sedang duduk melamun di balkon kamarnya. Sambil menyingkirkan beberapa benda yang menghalangi langkahku, akhirnya aku sampai juga di balkon.

“Gila, baru kali ini aku melewati kamarmu kayak lagi mendaki gunung aja! Berantakan amat sih neng!” keluhku sambil menghempaskan tubuh ke kursi lain yang kosong di dekat Fani.

Fani tak menjawab, dia bahkan tak menoleh. Aaah, bingung juga memikirkan apa yang harus kukatakan padanya. Akupun mengeluarkan sebatang rokok dari kantong baju. Sudah hampir patah. Sejak “dipaksa” Papa berhenti merokok, aku memang hanya menyimpan satu batang di kantong. Bukan untuk merokok, tapi sekedar memegang sampai aku bisa benar-benar berhenti nanti. Aku perlu batang rokok itu sebagai cara agar bisa berpikir. Rokok itu kupilin-pilin di jemariku, menyibukkan tangan dan mencari bahan pembicaraan.

“Entah berapa kali aku mau lompat dari balkon ini, Li! Tapi selalu tidaak jadi,” kata-kata Fani meluncur tanpa kusangka. Kaget. Tapi aku berusaha tetap santai, meski batang rokok itu semakin cepat bermain di tanganku.

“Terus kenapa tidak jadi?” tanyaku. Aaah, sekarang aku menyesal. Dasar bego! Kenapa aku bicara begitu? Bagaimana kalau dia berpikir aku menyuruhnya melakukan itu? Wah, aku bisa dibunuh sama Tante Siska.

Fani melirikku lalu tersenyum, “Begini-begini aku takut dosa juga, Li! Lagian kasihan Mama kalau tinggal sendiri. Aku tak tega ninggalin Mama sendiri.”

Dengan gaya sok benar, aku mengangguk-angguk. “Baguslah, aku kira kamu sudah kehilangan otakmu yang cerdas itu. Trus kenapa kamu begini terus? Mamamu tuh, dia bingung menghadapimu.”

Mata Fani tampak kosong dan menerawang jauh.”Aku juga bingung harus bagaimana. Aku hidup tapi jiwaku mati. Mati bersama Papa, Li. Benar-benar sudah mati!”

Aku terdiam.

“Bagaimana aku mau kerja? Tiap kali pakai baju kerja, aku ingat tiap pagi Papalah yang mengantarkanku kerja. Sepanjang jalan kami selalu bicara tentang banyak hal. Tiada hari tanpa ingat kalau tiap makan siang, Papa selalu menelponku sekedar mengingatkan. Aku mau nonton tipi, tapi yang kuingat hanyalah saat aku nonton pertandingan bola kesukaan kami. Makan kacang dan minum sirup sampai diomelin Mama karena begadang tengah malam dan berisik tiap kali gol. Mau dengerin musik, aku malah ingat Papa yang suka banget sama lagu-lagu dangdut. Mau sholat, aku ingat kalau dulu setiap malam Papalah imamku selama ini. Bahkan melihat nasi saja, aku ingat nasi goreng buatan Papa. Semuanya Papa, Papa, Papa. Bagaimana aku bisa hidup lagi, Li? Aku tak bisa melupakan bayangan Papa. Sampai hari ini pun aku masih belum bisa nerima ini.”

Airmata Fani mengalir lagi. Aku masih membisu. Benar-benar kehilangan kata-kata yang tadi kusiapkan. Kesedihan Fani memang wajar. Sebagai putri tunggal, ia sangat dekat dengan Papanya. Sayangnya, beberapa waktu lalu serangan jantung merenggut nyawa sang Papa. Kepergiannya sudah satu bulan, tapi Fani masih menangisinya hingga saat ini. Ia mengalami depresi. Depresi yang mulai menakuti Mamanya dan sekarang juga aku. Fani benar-benar berubah. Kami tak pernah lagi melihat senyum di bibirnya, apalagi candanya yang dulu selalu membuat rumah ini ramai. Rumah ini seakan ikut redup bersama kematian Papa Fani.

“Sakit rasanya Papa dirampas seperti ini, benar-benar tak adil buatku. Tiap malem aku selalu berharap langit terbelah dan Papa turun dari surga dan bilang kalau dia hanya bercanda. Aku tak bisa melupakan kejadian hari itu, Li. Aku ingat bagaimana senyum lebar Papa tiba-tiba langsung berganti jadi kesakitan. Semuanya dirampas dariku dalam hitungan detik. Aku tak bisa, aku benar-benar tak bisa melupakan Papa. Aku rindu sekali padanya, Li. Papa sangat sehat hari itu, sangat sehat, semuanya tak ada yang berbeda, semuanya sama seperti biasa, lalu dalam sekejap… ” suara Fani menghilang diantara sedu sedannya. Tangannya gemetar menepuk dada berulang kali, sesak mengingat sang Papa yang telah tiada. Pelan namun benar-benar membuatku paham betapa menyakitkan bagi dirinya kehilangan Papanya. Satu-satunya yang kulakukan akhirnya bangkit dan memeluk sepupuku yang sudah kuanggap seperti adik kandungku itu.

“Aku tahu, kau pasti mau bilang… Papa sudah tenang di sana. Tapi aku… aku yang tak bisa hidup lagi. Papa membawa separuh jiwaku, separuh hidupku. Papa itu hidupku, Li. Huhuhu….. ” Fani terus mengisak dan mengeluh di pelukanku. Aku berusaha tidak menangis, tapi tak urung mataku ikut berkaca-kaca merasakan kesedihannya.

“Sudah, de. Sudah ya. Tenanglah! Kalau memang kamu ingin menangis, menangislah. Luapin seluruh emosimu, jangan ditahan-tahan lagi!” bisikku. Dan tangis Fani semakin nyaring, pecah di dadaku. Samar kulihat di dekat pintu keluar kamar Tante Siska juga sedang menangis diam-diam. Ia tampak sama terlukanya seperti Fani. Dua perempuan ini benar-benar kehilangan pegangan mereka, kapal mereka benar-benar sangat oleng saat ini. Ya Tuhan, biarkan aku memperbaikinya.

Aku tak bisa bicara malam itu dan hanya membiarkan Fani menangis hingga tidur kelelahan. Tante Siska sangat berterima kasih padaku karena mau meluangkan waktu kerjaku untuk menjenguk Fani. Selain dengan Papanya, akulah sepupunya yang paling dekat. Sebenarnya sepupu kami banyak, tapi aku dan Fani itu satu kantor dan kami hampir terlalu sering bersama sejak kecil karena Papa adalah kakak kembar Tante Siska. Apalagi kami juga sama-sama anak tunggal dan sekarangpun nasib kami sama. Hanya bedanya aku kehilangan Mama saat masih bayi dan Papa menikah lagi ketika aku masuk TK hingga aku hampir tak merasakan kehilangan seperti dirinya. Apalagi hubunganku dengan Ibu tiriku juga sangat baik.

“Ali, tadi gimana kondisi Fani?” tanya Ibu saat makan malam.

“Parah, Bu. Dia bener-bener berubah banget!” jawabku seadanya.

Tatapan mata Ibu jadi murung mendengar jawabanku. Namun ia tak bicara lagi dan sibuk melayani Papa. Sambil memperhatikan keduanya, aku mulai makan. Pikiranku melayang kemana-mana. Berusaha mencari solusi bagaimana bicara agar Fani keluar dari depresinya itu.

“Pa, waktu Papa kehilangan Mama dulu apa seperti Fani?” tanyaku tiba-tiba. Sendok Papa langsung terhenti. Secara otomatis ia menoleh pada Ibu yang juga menatapku bingung. “Aduh, maaf Bu. Ali hanya ingin cari cara buat menyembuhkan Fani. Maaf,” sergahku cepat melihat delikan mata Papa.

Ibu tersenyum. “Tak apa-apa, Li. Tanya saja sama Papa. Mungkin bisa ketemu jalan keluarnya.” Dengan penuh pengertian, Ibu menatap Papa dan mengangguk.

Meski terlihat tidak enak, Papa mau juga mengatakan sesuatu yang membuat mataku terbuka lebar. Aku baru menyadari bahwa Papa sangat mencintai Mama dan bahkan hingga kini menurut Papa, meski juga sangat mencintai Ibu tapi buat Papa selalu ada cinta untuk Mama yang takkan pernah ia lupakan. Papa membuatku memahami makna cinta dan kematian dalam kata-kata sederhana yang sangat dalam. Cinta itu takkan bisa dipisahkan oleh kematian.

Tanpa membuang waktu, esok harinya aku kembali berkunjung ke rumah Fani. Tante Siska kaget sekaligus senang saat membukakan pintu. Kali ini aku langsung masuk ke kamar sepupuku itu. Kamar Fani memang agak rapi sedikit dari kemarin, tapi lagi-lagi aku menemukannya di balkon. Aku mencari-cari di dalam lemari pakaian Fani dan menemukan yang kucari, baru kudekati dia.

"Fan, sholat dhuhur yuk! Udah lama kamu tak sholat kan? Aku jadi imammu deh!” kataku tak peduli melihat apannya sambil menyodorkan mukena, benda yang tadi kucari-cari.

“Kamu aja, aku gak mau!” jawab Fani, kembali bertopang dagu menatap kosong entah ke mana. “Buat apa sholat? Papa aja diambil dariku.”

Aku menghela nafas. “Kamu gak cinta sama Papamu, Fan?”

“Pake nanya, iya iya iya iya…. aku cinta banget sama Papa. kalau tidak karena apa aku jadi kayak orang gila begini? Kamu jahat banget sih, Li!” pekik Fani marah.

“Kalau begitu kenapa kamu begini?” Sinar mata Fani membara antara marah dan bingung. Aku tak peduli, aku hanya ingin dia sembuh.

“Cinta memang tak bisa menghentikan perpisahan, apalagi kematian. Tapi Fan, cinta itu kalau memang benar-benar kamu rasakan di dalam hatimu, takkan bisa membuat kamu melupakan Papamu. Kematian tak bisa merampas cinta dari hatimu. Sampai kamu menyusul Papamu di akheratpun, cinta itu tak bakal mati kecuali kamu sendiri yang membunuhnya. Cinta itu kuat dan sanggup bertahan lebih dari kematian. Umurnya lebih panjang daripada kehilangan.” Kata-kataku membuat Fani terdiam dan mencernanya.

“Kalau kamu begini terus, apa gunanya cinta yang kamu rasakan itu? Bertahun-tahun dari kamu kecil, Papamu berusaha keras mengajarimu tentang dicinta dan mencintai. Dia ingin kamu merasakan apa yang dia rasakan. Dia mengajarkan semua kebaikan cinta buat kamu. Buat apa, Fan? Supaya kamu tahu kalau cinta itu indah, dan Papamu ingin kamu menikmati keindahannya lalu hidup bahagia. Papamu pasti tahu itu. Dia tahu, cinta itu takkan pernah mati, hatimu dan Mamamu pasti akan tetap mengenang cinta yang diberikan Papamu. Tak ada yang bisa buat cinta itu mati kecuali kamu tak mau bangkit dan hidup seperti ini. Ayo, Fan! Bangun dari tidurmu! Cintai Papamu seperti dulu. Cintai dia dengan mendoakannya agar bahagia dia di sisi Allah. Ingat, Fan! Doa anak soleha adalah pengantar langkah orangtua mereka ke surga. Kalau kamu cinta Papamu, cintailah Allah terlebih dulu. Hiduplah demi cinta itu. Kamu takkan bisa mempertahankan cinta itu kalau kamu melupakan semua yang diajarkan oleh Papamu. Buktikan kalau karena mencintai Papamulah, kamu bisa mewarnai dunia dengan indah. Lebih bagus kalau kamu juga bisa membagi cinta itu sama orang lain, sama orang-orang di sekitarmu. Agar Papamu bahagia di sana. Kamu tak benar-benar sayang Papamu kan? Apa kamu tidak mau doakan dia? Apa kamu mau jadi anak yang jahat setelah semua cinta yang ditinggalkan Papamu, Fan?” cecarku.

Bibir Fani bergetar dan ia menangis. Tangisnya tak bersuara, hanya terisak. Tapi ia mengangguk-angguk, memahami kata-kata yang kucopy paste dari papa itu dan perlahan Fani mengambil mukena yang kupegang. Ia memeluknya di dada dan berbisik berulang kali. “Maafin Fani, Pa! Maaf, Papa sayang.” Dengan langkah pelan, ia bangkit. Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa membuatnya kembali beribadah. Kembali menjadi Fani yang dulu.

Itu terakhir kali aku melihat Fani duduk merenung di balkon kamarnya. Hari-hari selanjutnya, seiring waktu Fani mulai bisa menghadapi kesedihannya. Aku tahu itu tak mudah baginya, tapi Fani “melarikan” kesedihannya melalui berbagai kegiatan. Ia mulai mengikuti beberapa kegiatan yang dulu tak pernah diminatinya dan yang paling penting, ia semakin dekat dengan Allah. Ia tak lagi menghabiskan waktu melamun atau berkurung diri sia-sia. Ia memilih mengajak Mamanya terlibat dalam sebuah yayasan anak cacat dan terkadang menjadi volunteer di sana. Aku senang, sepupuku sudah kembali. Ia melanjutkan lukisan kehidupan yang dulu dipenuhi oleh Papanya, ia mewarnai dunianya dengan hati dan cinta yang takkan bisa dirampas oleh siapapun lagi.

&&&&&&&
Read More

Tuesday 1 May 2012

Pesan Dari Syam


Dengan lembut aku menggenggam tangan yang terkulai itu lalu menciumnya lembut. Seakan menyadari kehadiranku, ia membuka matanya dan tersenyum tipis. “Sudah datang, Nur?” kuanggukkan kepala dan dia menatapku penuh rindu. Tak ada suara, hanya semilir angin sepoi-sepoi melalui jendela yang mengisi kamar kecil tempat wanita tua itu terbaring, namun seketika mengembalikan seluruh ingatanku tentangnya, tentang wanita tua yang kini terbaring di tempat tidur itu.

“Jangan pernah berhenti berusaha, karena manusia yang berhenti berusaha dan putus asa takkan pernah memenangkan atau mendapatkan apapun.” Itu pesan pertama yang dia katakan saat aku masih duduk di kelas lima SD, ketika aku menangis karena tak mampu mengerjakan tugas sekolah. Tangisku makin kencang, dan ia sama sekali tak membantuku. Namun kuingat malam itu, wanita tua itu duduk di belakangku sepanjang malam sampai kuselesaikan tugasku itu. Lalu sambil terisak, aku memperlihatkan catatan padanya. Dia tak mengkoreksi ataupun melihatnya, hanya tersenyum dan kembali berkata, “nah kan kalau diusahakan pasti bisa. Di dunia ini gak ada orang bodoh, sayang. Yang ada hanyalah orang malas. Lain kali kerjakan tugasmu dulu baru main.”

Aku memang menghabiskan setahun bersama. Setahun melanglang banyak tempat bersama wanita tua yang bernama Syam. Aku sayang padanya dan memilih tinggal bersamanya. Syam berbeda dengan orangtuaku yang sangat memanjakanku. Dia membesarkanku dengan cara yang sungguh-sungguh berbeda. Aku menemukan banyak hal baru saat bersamanya, bahkan hingga dewasa banyak pesannya yang membuatku tetap tangguh menghadapi dunia.

Tangannya selalu bergetar sejak Parkinson menyerangnya. Langkahnya tertatih saat berjalan dan tubuhnya yang rapuh seakan menunjukkan betapa lemahnya dia. Tapi tidak semangatnya. Meski kelihatan selalu lelah, kakinya tak pernah berhenti melangkah. Ia tak pernah absen mengajar meski tangannya harus bertumpu pada pundakku saat pergi ke sekolah. Ia tak pernah lupa mendatangi secara rutin semua anaknya yang tinggal dalam satu kota meski baru saja berkurang sakit kepala yang menyerangnya. Aku tak pernah paham mengapa ia begitu penuh semangat sementara aku sendiri saja sering merasa lelah.

“Kenapa harus jalan terus sih? Nur capek nih!” keluhku suatu hari.

Ia mengelus kepalaku sambil tersenyum. “Kewajiban seseorang itu salah satunya ya ini, Nur. Menjaga silaturahmi keluarga. Saling mengunjungi dan saling membantu jika diperlukan. Apalagi jika kau seorang Ibu, anak-anak takkan pernah berhenti meminta tolong bahkan setelah mereka menikah. “

Kala libur dan ia benar-benar sedang tak sanggup lagi berjalan, ia menghabiskan waktu di depan rumah. Dengan mata menerawang jauh menembus birunya awan, ia akan mulai mengenang sebuah cerita yang kerap diulang-ulangnya padaku. Kisah tentang seorang wanita pejuang bernama Syam.

Syam, seorang gadis yang dilahirkan dengan feodalisme yang begitu kental. Kakeknya seorang patih gagah berani yang sudah melanglang negeri hingga ke Belanda, kedigdayaan sang Patih begitu disegani kawan maupun lawan. Bahkan menurut kisahnya itu, kekuatan sang Patih sanggup membalik sebuah kapal perang. Dan Syam sangat bangga pada sang Kakek. Kakeknya pula yang membuka mata dan pandangan Syam tentang dunia. Semangatnya dan prinsip hidup sang Kakek yang membuat Syam muda ingin sekali seperti beliau, ingin menjadi seorang pejuang negara dan wanita yang bebas.

Syam membuktikan ucapannya. Ia menjadi perawat saat perang melawan Penjajah Belanda untuk para tentara Indonesia. Lalu ketika Jepang datang, Syam menjadi seorang pemekik tanda perang saat meletus perang dahsyat melawan Jepang. Keberhasilan para tentara itu terbukti dengan tenggelamnya sebuah kapal di tengah-tengah sungai yang memisahkan Bulungan dan Tg. Palas.

Saat itu aku mengira wanita tua itu sedang berkisah tentang legenda dongeng walaupun setiap kali selesai bercerita ia selalu mengakhirinya dengan lantunan lagu-lagu Belanda bahkan lagu kebangsaan Jepang yang terkenal itu, Kimigayo. Sampai bosan telingaku mendengarnya, tapi kalau melihat kebahagiaan yang terpancar di wajahnya yang berkeriput, aku memilih untuk diam dan mendengarkan dengan seksama.

Di lain hari ia bercerita tentang hidupnya yang nyata tanpa sadar. Ketika menonton televisi dan menayangkan sebuah kota, tanpa sadar ia bercerita kalau ia pernah ke sana dan mengalirlah semuanya. Ia dengan riang bercerita tentang berbagai hal menarik yang pernah ia temui di sana.

Lama baru aku mengerti, kisah-kisah yang diceritakannya bukanlah dongeng. Ia memang seorang pejuang kemerdekaan, meski akhirnya Orde Baru mempetieskan prestasinya karena sesuatu hal. Ketika kutanya mengapa ia membiarkan, ia hanya tersenyum dan berkata, “saat itu saya hanya ingin mewujudkan cita-cita menjadi seorang Indonesia yang merdeka dan membuktikan kalau saya adalah seorang rakyat Indonesia yang mencintai negerinya. Bukan untuk sebuah gelar, apalagi untuk dipamerkan. Untuk apa mempertanyakan apa yang negara berikan buat kita, tanyalah apa yang kita berikan buat negara?”

Dan akupun sama seperti yang lain, diam dan hanya bisa termangu mendengarkan.

Syam, seorang pejuang yang meneruskan perjuangannya dengan menjadi seorang guru. Pekerjaan yang tak pernah ia tinggalkan bahkan ketika sakit parah menyerangnya. Pekerjaan yang demikian ia cintai, hingga setiap kali aku pulang ke kampung halaman menengoknya maka setiap orang yang mengenalnya pasti mengingatkan aku betapa Syam telah menjadi guru tak cuma di ingatan tapi juga di hati mantan murid-muridnya. Meski akhirnya pekerjaan menjadi guru itu membawanya menjadi salah satu anggota DPRD, dan kemudian membuatnya bisa berkeliling daerah, ia tak pernah menghilangkan cintanya pada profesi guru. Ia bahkan bilang “Menjadi Guru membuat kita tak hanya akan diingat, tapi juga dihargai sepanjang hidup seseorang.“

Aku bangga pada Syam, karena bukan hanya itu yang ia lakukan sepanjang hidupnya. Ia membesarkan 12 orang anaknya bersama beberapa keponakannya yang lain. Di tangannya, ia berhasil mencetak para pejabat negara yang akhirnya terjun membangun kota kecil tempatnya dilahirkan. Salah satunya bahkan menjadi pemimpin daerah selama dua kali pemilihan. Syam pasti bangga kalau saja ia tahu bahwa semua perjuangannya telah berbuah.

Namun ketika kusinggung tentang masa-masa hidupnya kala aktif sebagai seorang wakil rakyat, justru mendung di matanya yang kulihat tergambar jelas di sana. “Politik itu adalah candu, candu yang nikmat namun kalau berlebihan itu akan menghancurkan hidup seseorang.” Dan aku tetap tak pernah memahami, hingga sempat memilih untuk meneruskan pendidikan ke bidang politik. Syam murka. Ia memintaku memilih bidang lain. Saat itu melalui telepon, Syam memintaku melupakan keinginanku itu. Aku tak pernah mengerti kenapa, namun karena rasa cinta dan hormat pada wanita tua itu aku menuruti keinginannya.

“Kau memiliki kemampuan berbicara dan menulis dengan baik, kemampuan yang sangat diperlukan untuk terjun ke dunia politik. Tapi ingatlah satu hal, sayangku, pemimpin seorang perempuan tetaplah laki-laki. Tangan perempuan hanya ada dua dan kodratnya dia makhluk yang lemah dibandingkan laki-laki, dan ia tak bisa memikul beban menjadi tiga atau empat. Pilihlah apa yang menjadi kodratmu di tangan yang paling kuat dan genggamlah cita-cita yang paling mulia di tangan yang lain. Politik itu kejam dan menghancurkan, bahkan seorang perempuan paling baik di dunia bisa berubah menjadi seorang setan yang jahat. ” Itu penjelasannya suatu ketika saat aku bertemu langsung padanya dan bertanya mengapa ia melarangku memilih dunia politik.

Akhirnya karena Syam, aku memilih dua hal yang menurutku itulah yang terbaik. Aku berhasil mendapatkan sesuatu yang kutahu tak pernah dimiliki Syam. Syam tak pernah berhenti menyesali perpisahannya dengan suami tercinta dan aku bersyukur Syam mengajarkanku untuk mempertahankannya.

Syam, wanita tua itu selalu memberiku semangat saat rumah tanggaku goyah dengan berbisik penuh makna. ”Penderitaan itu adalah bumbu kebahagiaan, takkan ada rasa yang nikmat saat mencicip kebahagiaan jika kita tak pernah merasakan penderitaan. Setiap kali kau menderita, ingatlah itu baru satu hari dan kenanglah 100 harimu yang bahagia. Begitu terus setiap kali kau menderita dan deritamu takkan lagi terasa lama. Justru saat bahagia itu datang maka kau akan sangat menghargai dan merekamnya dengan baik dalam ingatan.”

Suara helaan nafas Syam membuatku kembali menjejak dunia nyata. “Mana suamimu, nak?” tanyanya lembut. Aku menoleh ke belakang dan memperkenalkan suamiku padanya. “Ini nek, ini suami Nur,” bisikku pelan. Dia tersenyum, menyalami suamiku yang langsung mencium tangannya dengan hormat. Aku meninggalkannya bersama suamiku untuk mengobrol berdua dan berharap nenekku tak menceritakan tingkah konyolku saat masih kecil dulu.

Dari balik pintu, tanpa sengaja telingaku menangkap kata-katanya saat berbicara dengan suamiku.

“Nur adalah cucu kesayanganku, dia sangat mirip saya dan saya sangat tahu jalan pikirannya. Jagalah dia baik-baik. Karena dia menyerahkan seluruh dunia yang bisa dimilikinya untuk kamu. Kamu harus bisa menghargainya dan dia pasti jadi istri paling patuh yang kau miliki.” Aku tak bisa menahan tetesan airmata berjatuhan setelah mendengar itu. Apalagi sesaat kemudian, ia juga berkata pada kami berdua. “Untuk meminta maaf itu memang sulit sekali, tapi menunggu maaf jauh lebih sulit. Jadi kalau kalian berdua merasa berbuat salah, jangan malu meminta maaf karena itu jauh lebih mudah dibandingkan menunggu maaf.”

Itu pesan terakhir Syam yang kudengar. Setahun sebelum akhirnya ia menutup matanya tanpa kehadiranku. Saat itu aku menangis di kantor, sendirian di dalam toilet. Hari itu aku harus tetap terbang, menghadiri sebuah tender meeting yang tak bisa kutinggalkan. Lidahku terasa kelu saat harus berbicara di depan umum, tapi aku berhasil menyelesaikan pekerjaan dengan baik meski setelah itu aku menangis berjam-jam, menyesal karena tak bisa datang untuk melihat Syam. Bahkan kata-kata suamiku yang mengingatkanku tentang pesan Syam tak bisa menghilangkan penyesalan itu, “Nenek pasti ngerti, sayang. Dia pasti lebih suka begini daripada kau datang dan kehilangan kesempatan memenangkan tender dimana banyak orang bergantung pada hasilnya.”

Syam sudah tiada, lama sekali. Sebelum aku sempat berkata padanya kalau aku selalu mengingat semua pesannya. Syam membuatku memahami banyak hal, dan aku ingin menulari semua itu pada semua orang yang kusayangi. Syam memang sudah tiada, tapi semangat juangnya selalu ada di hatiku hingga kini. Penyesalan Syam adalah pelajaranku yang paling penting. Pesan Syam akan selalu kuingat di sepanjang hidupku.

*****
Read More

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena