Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Friday 20 January 2012

Sakit Hati Berbuah Neraka

Hapus airmatamu itu, sayang. Janganlah engkau menangis. Kumohon, tolong berhentilah!

Aku berteriak meminta padanya agar berhenti menangis, namun sia-sia. Suaraku tak terdengar lagi. Bukan karena aku bisu, bukan karena kau tuli. Karena kini, aku hanyalah ruh yang bisa mendengar dan melihatmu tapi kau tidak. Dunia kita berbeda.

Kemarin aku masih bisa memelukmu, kemarin aku masih bisa menciummu, kemarin aku masih bisa menggodamu. Dan kau tersenyum, Cantik sekali. Siapa yang tak kenal model cantik yang kunikahi dua tahun lalu? Perempuan yang digilai banyak lelaki dan aku pria beruntung yang berhasil memenangkan hatimu. Kecantikanmu, ditambah santun dan kesabaranmu saat menghadapiku kala aku berjuang di saat-saat terakhir menambah kemulianmu sebagai istri.

Siapa yang sangka ciuman kemesraan yang kuberikan kemarin adalah hal terakhir yang bisa kuberikan padamu? Aarrggh… sungguh aku ingin waktu bisa kembali dan aku bisa memperbaikinya. Akan kubuat kau menjadi istri paling bahagia. Hanya kau, ya cuma kamu… kekasihku.

Aku selalu berterimakasih karena Tuhan membiarkanku hidup lebih lama dari dugaan semua orang. Kau merawatku dengan baik, mengurusku penuh cinta meskipun kau tak pernah tahu darimana kudapatkan penyakit itu. Tapi dengan kasih sayangmu, kau tetap menjalani tugasmu sebagai istri. Aku benar-benar mencintaimu.

Ketika akhirnya malaikat maut menjemputku, tak henti mulutmu berdoa untukku, tak henti hatimu memohon ampunan untukku. Airmatamu memang masih mengalir, deras membasahi pipimu. Tapi tak pernah sedetikpun saat kau bangun kau berhenti mendoakan suamimu.

Ya Tuhan…. itulah kenapa aku bisa melihatmu walaupun dari kejauhan. Itulah kenapa aku begitu bahagia mendapatkan istri yang begitu tabah sepertimu, istri yang begitu menyayangi dan menghormatiku. Kesolehanmu meringankan langkahku menghadap Sang Pencipta. Karenamu, aku bahagia di sini. Di alam lain yang berbeda denganmu. Kau lapangkan kuburku dengan doa-doa yang kau lantunkan, dengan tangis penuh rasa syukur karena bisa memiliki diriku. Terima kasih istriku… terima kasih…

Kuburanku masih merah, tinggal kau sendiri di sana duduk sambil terus berdoa. Matahari sudah tinggi tapi kau terus di sana. Hatimu berat meninggalkanku. Seakan-akan hatimu sudah ikut terkubur bersama jenazahku. Betapa beruntungnya aku.

Tapi doamu terhenti. Kau mendongak melihat kedatangan seseorang. Dia datang tergesa-gesa, dengan perut besar dipapah seorang wanita setengah baya. Kau berdiri dan menatap perempuan muda itu dengan bingung.

“Kamu siapa?” tanyamu. Aku terperanjat. Dia… Dia… Bukankah dia….

“Kamu siapa?” perempuan muda itu balik bertanya. Ia menatap istriku dengan sinis dan dagu terangkat angkuh.

Kau terdiam sejenak, memperhatikan dari ujung kaki hingga kepala perempuan itu. Airmatamu tiba-tiba mengering. Kerudungmu melambai-lambai di tengah pemakaman itu.

“Saya… saya istri Jacky. Kamu?” suaramu menjawab penuh keraguan.

Aku ketakutan.

Ya Tuhan, jangan bertanya siapa dia, sayang. Pergilah, tinggalkan perempuan itu! Dia laknat duniaku! Dia pembunuhku! Pergilah! Jauhi dia!

Aku berusaha memberitahu istriku. Namun ia tetap diam, menunggu jawaban dari perempuan muda itu. Aku mulai harap-harap cemas. Semoga perempuan sial itu tak mengatakan. Kumohon, jangan ucapkan.

“Aku Vivian, aku istri Jacky. Dan ini…” Ia menunjuk perutnya. “Anaknya Jacky.” Dan aku terpuruk jatuh. Dia mengatakannya, dengan jelas, pamer dan bangga.

Kau termangu, mulutnya menganga tak percaya. Lalu perlahan kau menggeleng-geleng. “Tidak mungkin! Kau pasti bercanda!”

Iya sayang, dia bercanda. Dia bukan istriku, dia hanyalah simpananku. Dia mengaku hamil dan aku terpaksa menikah dengannya. Jangan percaya padanya, sayang. Aku sudah berencana meninggalkannya seandainya saja maut tak menjemputku.

“Kau tak percaya, hai istri yang mandul?” Vivian merampas tas yang dipegang wanita setengah baya di sampingnya. Dengan kalap ia mengeluarkan beberapa foto, foto-foto saat aku dulu menikahinya di depan penghulu. Foto pernikahan yang teramat sederhana.

Airmata istriku mengalir. Bukan karena menangisi kepergianku lagi. Ia sakit… sakit hati karena dibohongi. Sakit hati karena dihina sebagai perempuan mandul. Aku tahu, dia pasti sakit hati padaku.

Maafkan aku, sayang. Aku bukannya tak sabar untuk menanti buah hati darimu. Bukannya aku tak mencintaimu. Tapi karena suatu malam aku berbuat kebodohan, aku menenggak minuman keras terlalu banyak hingga lupa daratan dan mabuk dalam pelukan perempuan bernama Vivian. Gadis pelacur yang kutemui di diskotik tempatku menghibur diri. Perempuan yang menyebabkan aku terkena penyakit, perempuan yang membunuhku dengan menularkan Aids dalam tubuhku.

Aku masih mencintaimu, istriku sayang. Karena cintalah, aku tak mau lagi menyentuh dirimu. Aku takut menyakitimu dengan menularkan virus itu. Aku memilih tetap bertahan sebagai suami Vivian, agar dia tidak mengadu padamu. Sungguh ini semua kulakukan karena aku mencintaimu.

Tapi kau tak mendengar semua itu. Matamu melotot penuh amarah. Dengan penuh kebencian, kau lemparkan semua foto itu kembali pada Vivian. Vivian yang tersenyum puas karena berhasil membuatmu terluka.

Dan aku… apa itu yang tiba-tiba datang? Bayangan hitam tanpa wajah dan tampak mengerikan itu mendekatiku. Mereka tak mau mendengar permintaanku agar membiarkanku tetap di sisi istriku. Mereka merantai tangan, kaki dan bahkan suaraku tak bisa kudengar lagi. Ada apa ini? Kenapa ini?

Kulihat di kejauhan saat tubuhku mulai melayang pergi bersama dua bayangan hitam itu, istriku meninggalkan pemakaman. Sayup-sayup aku mendengar ia berkata. “Semoga kau membusuk di neraka, Jacky!!! Aku membencimu!”

Dan aku tak bisa berteriak, tubuhku diseret menjauh. Rasa sakit mulai mendera… aah siksa ini.

Istriku, tolong aku!!!! Maafkan aku!! Aku tak mau ke neraka!! aku tak mau!!!

**************
Read More

Saturday 14 January 2012

Penyesalan Tiada Akhir

“Menikah lagi?” mata Rafika mulai berkaca-kaca. Dengan enggan, aku kembali menganggukkan kepala.

Rafika terdiam. Ia menatapku tak percaya seakan permintaanku tadi adalah sesuatu yang amat tidak mungkin.

“Maafkan aku, Rafika. Aku harus menikahi Diana,” pintaku sekali lagi. Lembut dan pelan.

Rafika menggigit bibirnya, airmata mulai jatuh setetes demi setetes menganaksungai di pipinya yang mulai berkerut. Aku menunduk, mungkin perasaan cintaku padanya mulai tawar tapi tetap saja aku tak tega melihat ia menangis.

“Kenapa mas? ” tanya Rafika pelan. Lalu ia mengulangi lagi pertanyaannya, “Kenapaaa?” teriaknya.

Aku ingin menjawab. Aku ingin berterus terang. Pada Rafika, pada istriku yang dulu pernah begitu kucintai bahwa cintaku padanya sudah pudar lama sekali sebelum aku meminta izin menikah lagi. Entah mulai kapan, aku bahkan tak tahu. Tapi tangisan dan teriakan Rafika yang histeris hanya membuatku terdiam.

Rafika, istri yang kunikahi puluhan tahun lalu. Dia dua angkatan lebih muda dariku, sama-sama suka panjat tebing dan kuliah di fakultas yang berbeda di universitas yang sama. Tapi ada yang membuatku mengaguminya. Dia gesit, lincah, riang dan satu hal yang paling kusuka, kemandiriannya. Fika, begitu panggilannya. Lahir dan dibesarkan sebagai anak tunggal pengusaha katering. Tapi tidak membuatnya menjadi anak yang manja dan selalu mengharap pada orangtuanya. Di usia mudanya, Fika sudah memiliki usaha sendiri, sebuah toko pakaian di mal di Jakarta.

Aku menikahi Fika beberapa bulan sebelum kami diwisuda. Setelah menikah, kami tinggal berdua di rumah yang kami beli dari hasil patungan. Dan sesuai komitmen kami sejak awal, Fika tetap dengan usahanya dan aku mulai bekerja sebagai staf keuangan di sebuah pabrik sepatu.

Dalam beberapa tahun, jenjang karirku meningkat seiring dengan hadirnya anak-anak kami. Titania, Sandra, Andrew dan terakhir Donny. Kehadiran keempat putra-putriku tak mematikan semangat kerja Rafika, malah ia berhasil membuka beberapa counter dan toko cabang di beberapa mal yang dibuka di tempat-tempat strategis di Jakarta.

Pernikahan kami awalnya sangat membahagiakan. Semua berjalan lancar, kami jarang sekali bertengkar karena Rafika selalu memegang janjinya sebagai istri dengan baik. Dia selalu berada di rumah ketika aku sudah di rumah, sebisa mungkin memasak untukku tanpa bantuan pembantu dan setiap kali pula ia selalu meluangkan waktu untuk putra-putri kami. Tak heran anak-anakku selalu bisa menjadi kebahagiaanku, sekaligus kebanggaanku.

Aku tak pernah sadar kapan cintaku pada Rafika memudar. Apakah ketika kerut merut mulai mewarnai wajah kami? Apakah ketika satu persatu putra-putriku memilih berkuliah, bekerja dan berumah tangga jauh dari kami? Atau saat aku berhenti kerja dan membuka perusahaanku sendiri? Apakah saat kesuksesan terus membayangi langkah-langkahku? Entahlah, aku sudah lupa kapan tepatnya cintaku pada Rafika sedikit demi sedikit terhapus dari hatiku.

Aku bertemu Diana, sekretarisku yang cantik, yang mampu melumpuhkan jantungku setiap kali melihatnya. Ia menutup seluruh hatiku dengan cintanya yang segar dan baru. Aku jatuh cinta lagi. Jatuh cinta hingga kebablasan. Aku terjebak dalam sumur cinta yang kugali sendiri. Aku lupa diri dan akhirnya aku terpaksa meminta izin untuk menikah lagi.

Kutawarkan pada Rafika, aku akan tetap menjadi suaminya, aku akan menjaganya seperti dulu meskipun kini aku harus membaginya. Aku akan berusaha adil dan satu-satunya yang kuinginkan hanya izin Rafika agar aku bisa menikahi Diana.

Tapi… malam ini, Rafika seperti tak mau mengerti posisiku. Aku ingin Rafika mau memahamiku seperti biasanya. Bukannya berteriak, marah dan melempariku dengan berbagai benda seperti ini. Tapi jika itu artinya ya, maka aku bersedia menerimanya. Aku tak mungkin pergi sebelum mendapat kepastian, karena Diana memintanya malam ini juga atau dia akan menggugurkan buah cinta kami yang telah berada di dalam perutnya sejak dua bulan lalu.

“Kalau disuruh pilih, siapa yang mas pilih. Aku atau dia?” tantang Rafika, menatapku penuh emosi.

Aku menatap Rafika ragu dan bergumam pelan. “Maafkan aku, Fika. Aku harus memilih Diana.”

“Baiklah, terserah kamu mas. Nikahilah perempuan itu sesukamu. Tapi ada yang akan kukatakan padamu.”

“Apa itu?” tanyaku bingung.

“Kau takkan pernah bahagia dengannya,” kata Rafika sambil sesegukan. “Kau akan menyesal, kau akan menyesal.”

“Aku menyesal, Fika. Sekarangpun aku sangat menyesal.”

Rafika tertawa pahit. “Penyesalanmu akan berlangsung selamanya, seumur hidupmu. Sampai kau mati.”

Aku menghembuskan napas. Aku ingin memeluknya sebagai tanda permintaan maaf dan penyesalan pada Rafika. Tapi dia melengos, bahunya masih berguncang bertanda ia masih menangis. Tapi aku harus pergi, Diana sedang menantiku. Kehamilan membuat Diana lebih sensitif, aku takut kehilangan jabang bayiku yang sedang tumbuh. Aku tahu nanti Rafika pasti mau memahamiku, seperti biasanya.

Anak-anak marah padaku. Tapi kemarahan mereka tak bertahan lama. Mereka mau memahamiku, memahami kalau Papi mereka memang membutuhkan Diana. Diana pelan-pelan bisa mencuri hati anak-anakku dan anehnya… Rafika membiarkannya. Anak-anak juga tak mempedulikan Rafika yang seperti membangun tembok mengelilingi dirinya, ia seperti tak ingin hidupnya diketahui oleh aku dan anak-anak kami.

Rafika berubah. Dia masih sesibuk dulu, tapi dia lebih sering menghabiskan hidupnya di Villa keluarga di Bogor, tempat kami bersama anak-anak dulu biasa berlibur. Aku sering menengoknya, tapi ia selalu menghindariku. Ia hampir tak pernah berlaku seperti Rafika, istriku dulu. Kebiasaan lamanya merokok dan minum minuman beralkohol sudah kembali, seperti dulu saat kami masih pacaran. Berkali-kali aku menegurnya, tapi ia hanya tertawa dan memintaku pergi.

Dua tahun berlalu, ketika aku sedang memangku Randy, anakku dan Diana, mengobrol di depan rumah baruku, sebuah telepon masuk. Putriku Sandra menelepon sambil mengisak. Suaranya parau memberitahu. “Papi, Mami sakit. Datanglah segera!” Segera aku menghambur ke rumah sakit ke tempat Diana dirawat, ditemani Diana.

Putra-putriku berdiri di depan ruang ICU. Mata mereka semua sembab. Bahkan aku melihat Donny, putraku masih mengenakan pakaian sekolah dan ada darah di dadanya. Darah? Ada apa ini? Ada apa dengan Rafika? Dengan tergesa-gesa, kudekati anak-anak.

Dua anak perempuanku langsung menghambur dalam pelukanku. “Papi, Mami kena kanker!!” jerit mereka hampir bersamaan. Aku terhenyak.

“Kanker?” ulangku tak percaya. Ingatanku kembali pada almarhum mertua yang dulu pernah terkena kanker usus. Tapi beliau sembuh dan bahkan berumur panjang, beliau meninggal justru karena serangan jantung beberapa bulan lalu. Anak-anak mengangguk. Airmata berjatuhan dari mata mereka.

“Kanker apa? Kanker kan masih bisa disembuhkan,” ucapku berusaha optimis.

Tangis anak-anak semakin menjadi. “Tenang! Tenang! Papi juga panik jadinya. Jelasin dulu sama Papi!”

Dan Andrewpun bercerita. Dua tahun lalu, dokter telah memberitahu pertumbuhan awal Kanker Payudara pada Rafika. Dua tahun lalu tepat seminggu sebelum hari pernikahanku dengan Diana. Tapi Rafika menolak pengobatan dan memilih melanjutkan hidupnya seperti biasa. Anak-anak tak ada yang tahu, bahkan diriku juga. Kanker itu bertambah parah hari demi hari. Sampai hari ini, Donny yang menyusulnya ke Villa karena telah berhari-hari Rafika tidak pernah pulang ke Jakarta menemukan Maminya muntah-muntah darah. Setelah dibawa ke rumah sakit di Bogor, Rafika segera dirujuk ke rumah sakit kanker di Jakarta. Setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata kanker itu telah menyebar hampir ke seluruh jaringan tubuh Rafika.

Lututku terasa lemas, mataku langsung berkunang-kunang. Ya Tuhan! Rafika, istriku! Aku tak sanggup berdiri lagi, tubuhku terasa bagai seringan kapas apalagi saat aku mengingat pola hidup Rafika yang buruk selama dua tahun terakhir ini. Dia sedang bunuh diri, dia menyakiti dirinya sendiri dengan membiarkan kanker menyerang seluruh tubuhnya. Dia merokok, minum alkohol dan memakan segala macam makanan agar kematian menjemputnya melalui penyakit ini.

Sepanjang malam aku menangis di depan kamar ICU Rafika. Diana menemaniku, memelukku tapi aku mengusirnya. Ini salahku, ini salah Diana. Tak ada yang paling bersalah selain aku dan Diana. Kematian itu seharusnya merenggutku bukan Rafika.

Anak-anak memohon padaku. Meminta bantuan agar aku membujuk Rafika. Tapi tubuh kurus penuh dengan berbagai jarum di seluruh tubuhnya itu tak bergeming. Rafika terus menggeleng dan hanya matanya yang masih setajam dulu menatapku. “Kau… akan… menyesal… ” hanya itu yang terucap di bibirnya berkali-kali kalau dia sedang sadarkan diri.

Aku menangis meminta maaf, mencium tangan dan kakinya yang menghitam. Rambutnya yang kini beruban, merontok helai demi helai saat aku mengusapnya lembut. Tangan yang tak pernah kusentuh selama dua tahun, sekarang bagai tulang kering yang perlahan-lahan mengerut.

Sungguh, Rafika. Aku mohon ampunanmu. Maafkan aku, sungguh maafkan aku. Aku memang kejam, jahat dan tidak setia. Aku melupakan kebaikan hatimu, keteguhan hatimu mendampingiku, aku lupa kau istriku yang mengurus segalanya untukku sehingga aku bisa bekerja dengan baik. Aku memperoleh semuanya karenamu. Aku lupa kalau semua lelaki pasti akan sangat bersyukur memiliki istri yang begitu memahami suaminya sepertimu. Aku egois, mencari cinta lain dan akhirnya menjadi pembunuh cinta istriku yang setia.

Hanya tiga hari Rafika di sana, terbaring dan sadar sesekali mengucapkan kemarahannya. Aku berusaha keras membujuknya, bahkan tak pernah aku beranjak dari sisinya tapi kata maaf tak pernah terdengar dari bibir Rafika. Aku berusaha keras membujuk Rafika menjalani pengobatan di Singapura. Tapi hanya tawa kecil yang susah payah ia keluarkan seakan menertawakan kebodohanku. Aku menangis dan Rafika hanya menatap kosong, hidupnya sudah lama hancur jauh sebelum maut itu merenggutnya. Aku yang menghancurkannya dan aku tak pernah tahu kalau itu begitu menyakitkan untuknya. Rafika meninggalkan aku dengan rasa bersalah, dengan membawa kemarahan dan kebencian pada diriku. Membiarkan aku bagai melompat di jurang terdalam dunia ini.

Donny memberiku selembar kertas yang ia temukan dalam genggaman Rafika. Selembar kertas yang ditulis dengan tangan gemetar.

Kau cinta aku satu kali. Kau janji pada aku satu kali. Tapi kau akan menyesal, lebih dari sekali.

Dan aku memang tak pernah berhenti menyesal hingga detik ini. Aku memiliki segalanya, harta, wanita, kekuasaan, dan anak-anak, tapi aku tak pernah bisa menikmatinya. Tanpa Rafika-ku, aku mati.


(terinspirasi oleh kisah nyata yang diceritakan oleh seorang Ibu penderita kanker usus dari Padang)
Read More

Tuesday 3 January 2012

Ollie & Bejo - Cinta


“Gue titip ponakan gue ya, Li,” ujar Bejo berharap sambil mengerlingkan matanya memohon pada Ollie.

Ollie diam, satu belum selesai eh ini lagi. Dia belum memberi perhitungan waktu Bejo membohonginya karena penyamarannya waktu itu. Tapi Ollie suka anak-anak dan gadis kecil mungil berkepang dua berambut keriting itu terlalu manis untuk ditolak. Ollie suka sekali padanya, hanya dengan sekali lihat Ollie tahu anak itu gambaran dirinya saat masih kecil dulu. Mungil, manis dan lucu.. ehem.

“Please, Oli. Gue ada kerjaan yang ga bisa ditinggal. Maminya Polie juga ada meeting. Pengasuh Polie minta berhenti waktu gue datang ke rumah tadi pagi. Gue ga sempat ngontek Maminya. Sementara ini gue titip Polie sama lo ya,” Bejo terus memohon.

Ups, namanya Polie. Hampir mirip nama gue… tuh kan gue juga bilang apa. Ini anak mirip banget sama gue.
“Mmmm… dia nakal ga?” tanya Ollie akhirnya.

Senyum Bejo merekah. “Gak, gak. Polie manis banget, ya kan Pol?” kata Bejo sambil menatap Polie. Polie diam, hanya mata indahnya yang memperhatikan Bejo dan Ollie bergantian.

“Oke, tapi jangan lama-lama ya,” dan Bejo tanpa menunggu dua kali, langsung berlari menuju mobil besar hitamnya.

Kini, tinggal Polie dan Ollie saling bertatapan. Ollie berjongkok dan tersenyum pada Polie.

“Hai! Namaku Ollie. Aku… calon tantemu!” kata Ollie sok akrab. Polie masih menatapnya.

“Kamu pacar om yang keberapa?” tanya Polie. Ollie melongok. “Pacar om cantik-cantik, gak mungkin tante jelek seperti kamu jadi pacar omku yang ganteng.” Toeng!

Wajah Ollie berasa seperti dibakar. Bagaimana mungkin anak sekecil ini punya lidah setajam silet? Untuk sesaat Ollie ingin sekali menjawab, Heh Om lu yang naksir gue. Gue mah korbaaaan.. Korban yang kebetulan jatuh cinta sama pelakunya

Tapi Ollie teringat sesuatu. Mata Polie yang indah tapi melotot, mulut yang berbentuk bunga tapi setajam silet itu mengingatkannya pada seseorang. Ollie tersenyum, Polie memang benar-benar mirip dirinya.

Dulu, Papa selalu meninggalkan Ollie bekerja. Puluhan pengasuh keluar masuk rumahnya, semua hanya berorientasi pada uang atau berharap menjadi nona beruntung yang akan dipilih papa jadi pengganti Mama. Ollie begitu membenci semua orang, kecuali Papa. Bagi Ollie, semua orang hanyalah ingin menginginkan sesuatu darinya. Sampai Bik Simin datang.

Ollie duduk di sofa, tetap menatap Polie. “Sudah berapa pengasuhmu, Pol?”

Polie menatapnya, ada heran di mata bulat itu. Ollie tersenyum, oke aku berhasil menarik perhatiannya. Ollie mengacungkan tangannya, berpura-pura mengingat jumlah pengasuhnya, lalu ia tersenyum lagi lebih lebar lalu berkata pada Polie, “17 orang!! ya tujuh belas orang! Hebat kan!”

“Aku sudah 4 orang!” jawab Polie tak mau kalah. Ia melangkah mendekati sofa Ollie.

Ollie mendelik. “Wow! Umurmu baru segini sudah empat orang. Waaah, bukan main!”

Senyum tipis terlihat di bibir Polie. Tanpa menunggu, Polie duduk di sofa di depan Ollie. Wajahnya tak lagi setegang tadi. “Mereka bodoh!” ujar Polie pendek.

“Oh ya, sama dong. Dulu para pengasuhku juga bodoh, ” timpal Ollie. “Lalu seseorang yang sangat pintar datang ke rumahku,” sambung Ollie.

Polie memiringkan kepalanya, ia tertarik mendengar kalimat Ollie. Ollie tahu itu, dan ia sengaja menunda kata-katanya.

“Kamu mau susu?” tanya Ollie mengalihkan perhatian Polie. Polie merengut. Ia menggeleng.

“Siapa orang pintar itu? Mamiku pasti bisa menggajinya,” kata Polie sombong. Ollie tertawa kecil

“Dia memang pintar. Saking pintarnya, dia gak bakalan mau kerja sama sembarangan anak.”

“Oh ya, memangnya dia sepintar apa?”

Mata Ollie menerawang, mengingat almarhumah Bik Simin yang mengajarinya tentang cinta. “Dia ahlinya cinta,” jawab Ollie.

Polie diam. Ollie kembali berkata, “dulu aku tak tahu caranya mendapatkan perhatian Papa. Dulu aku juga suka marah-marah. Sampai orang ini mengajariku caranya supaya semua orang mencintaiku.”

“Caranya?”

“Hmm, kamu benar pengen tahu?”

Polie mengangguk. Ollie harus menahan napas. Polie benar-benar perlu diajari, dia haus dan lapar karena butuh cinta.

Ollie mendekati Polie. “Tapi kalau aku ajarin Polie, Polie juga harus mau belajar. Harus dipraktekin, kalau nggak entar ilmu cintanya ngilang. Serius mau belajar?”

“Iya, tante. Aku mau… mau, cepat tante ajarin. Aku anak pintar kok. Sebentar saja pasti bisa ngerti. Aku janji.”

Ollie tersenyum, ia makin mendekati pada Polie. “Oke, caranya begini. Kalau kita memandang orang lain, anggap saja seperti memandang cermin. Kalau kita melotot padanya, maka orangpun akan melotot pada kita. Kalau kita memandang orang dengan sayang, maka orangpun akan memandang kita dengan sayang.”

“Masak sih?” Polie terlihat tak percaya. Ollie mengangguk dengan yakin.

“Kalau kamu gak percaya coba aja. Coba sekarang pandangi tante, terserah mau merasa marah atau merasa sayang.”

Polie menatap Ollie. Raut wajahnya melembut dan senyum tipis tersembunyi di bibir mungilnya. Ollie harus menahan diri untuk tidak memeluk wajah memelas di hadapannya. Tapi teringat pesan Bik Simin, Ollie pun hanya tersenyum.

“Polie sedang memandang tante dengan sayang. Nah, tante juga sayang Polie,” ujar Ollie. Ia menjawil dagu mungil Polie.

Polie tertawa, giginya yang ompong terlihat membuatnya kelihatan seperti anak pada umumnya. Yah, aku berhasil. Sedikit lagi.

“Sekarang, satu lagi. Masih mau lanjut gak?” Polie mengangguk kuat-kuat. Kuncirnya bergoyang-goyang.

“Kalau kita sayang sama orang, kita harus belajar cara membuatnya agar tetap subur. Tanaman aja kan gak cukup kalau hanya diperhatiin, tapi juga harus disiram. Nah cinta juga begitu.”

“Gimana caranya, tante? Ayo ajarin Polie!” kata Polie tak sabar.

“Caranya begini. Pertama kita belajar saling menyalami, seperti ini.” Ollie meraih jemari Polie. “Lalu mencium pipinya seperti ini,” Ollie mencium pipi Polie lembut. “Dan terakhir kita harus mengakhirinya seperti ini.” Ollie memeluk tubuh mungil Polie, menggoyang-goyangkannya.

Ollie melepaskan pelukannya. Wajah Polie tampak bingung. “Kenapa? Rasanya beda kan?” Polie mengangguk ragu.

“Naah, sekarang Polie coba sama tante ya. Habis itu Polie rasakan sendiri lagi. Oke?”

Polie mengulangi semua pelajaran Ollie dengan benar. Ia menyalami Ollie, mencium, lalu memeluk Polie dengan hangat. Ollie harus menahan keharuannya. Anak kecil ini begitu merindukan kasih sayang. Dia bahkan tak ingin melepaskan pelukannya.

“Tante, aku pengen jadi anak tante saja. Boleh gak?” pinta Polie saat Ollie membalas pelukannya.

Ollie terdiam, ia meneguk liur. Polie benar-benar haus kasih sayang. Bahkan hal sekecil ini saja bisa begitu menyentuh perasaannya.

“Boleh Papa join, Ollie?” suara Papa yang tiba-tiba muncul, membuat Ollie dan Polie menoleh padanya. Senyum ingin tahu Papa membuat Ollie memiliki ide baru.

“Pol, tadi udah tante ajarin kan caranya?” Polie mengangguk. “Sekarang Polie coba sama Opa itu, dia itu Papanya tante. Polie bisa?” Kembali Polie mengangguk.

Polie melangkah mendekati Papa, menyalaminya lalu melanjutkannya sesuai dengan ajaran Ollie, mencium dan memeluk Papa. Papa juga membalas pelukan Polie dengan hangat. Sudah lama ia ingin merasakan pelukan seorang anak kecil, sekarang seorang anak semanis Ollie saat masih kecil dulu mau memeluknya tentu saja Papa menikmatinya.

Ollie menatap keduanya berpelukan dengan mata berkaca-kaca. Polie memang benar-benar mirip seperti dirinya. Anak-anak yang dipelihara dari satu pengasuh ke pengasuh lain. Yang lebih tahu cara memerintah orang lain, daripada belajar mencintai. Ollie beruntung bertemu Bik Simin, yang lebih berlaku seperti ibu dibandingkan pengasuh. Almarhumah yang memilih hidup tanpa anak dan suami karena pacarnya meninggal dalam kecelakaan kerja itu memang telah mengajarinya banyak hal dan belajar tentang cinta adalah salah satunya. Ollie berjanji, jika ia benar-benar jadi tante Polie, maka ia akan mengajari semua cara memberi cinta yang diajari Bik Simin padanya.

“Tante, Opa ngajak Polie berenang. Kita berenang yo, Tan!” ajak Polie. Dia sudah tak sependiam tadi. Sekarang gadis kecil itu sibuk melonjak-lonjak di hadapan Ollie, tak sabar ingin berenang. Ollie akan mengangguk tapi tiba-tiba….

“Yaaaah, kok hujaaan sih!” keluh Polie. Wajahnya kecewa sekali. Ollie juga kecewa, tapi Papa justru tersenyum.

“Oh tidak, Pol. Ini justru tambah asik. Ayo lepas sepatumu! Kita main hujan!” ajak Papa. Ia sudah melepas sepatu, jas dan dasinya. Ia juga mulai menggulung celananya. Orangtua bertubuh tambun dan berambut hampir botak itu terlihat seperti anak kecil saat mengajak Polie bermain hujan.

Papa dan Polie berlarian keluar rumah dan mulai berlompatan di rerumputan. Menikmati derasnya hujan sambil tertawa-tawa. Dan Ollie pun sudah terlalu lama tidak melakukannya. Ia segera melepas sweater dan sepatu sandal yang dikenakannya. Bergabung bersama Papa dan Polie, menikmati hujan, mencurahkan kasih sayang dan menyambung cinta di hati Polie. Semoga Polie, mampu mengajari orang-orang di sekitarnya.

Aku cinta kamu, Bejo. Aku juga cinta Papa dan aku ingin mengajari semua anak seperti Polie agar punya cinta sebesar cintaku padamu dan Papa.
Read More

Monday 2 January 2012

Ollie dan Bejo - Minggat

Siapa yang mau dijodohkan? Zaman sudah begini modern, eh.. papaku yang teriak-teriak soal kebebasan sekarang berniat menjodohkan aku… Tidak la yaow!! Mending minggat dari sini. Biar papa tahu rasa!

Kepala Ollie menyembul keluar jendela. Ia tak boleh ketahuan oleh para pengawal Papa. Sudah sering Ollie berhasil membodohi mereka, pasti mereka sudah memahami tempat keluar Ollie ini. Ollie harus berhati-hati lebih dari biasanya. Ollie berjingkat, mencari-cari bayangan para pengawal itu. Saat melihat mereka sedang berdiri di bawah sana, di depan pagar Ollie cepat-cepat menunduk lagi.

Sial, kenapa mereka semua berkumpul di depan pagar? trus aku lewat mana dong?

Ollie memandang sekeliling pagar. Matanya tertumbuk pada pintu tempat para pembantu dan pengawal biasa keluar. Di situ hanya ada satu orang penjaga. Dan dia kelihatan sedang menahan kantuk. Senyum Ollie merekah. Tatapan Ollie berpindah menyusuri dinding rumah, merencanakan jalan yang tercepat menuju pintu itu.

Lalu dengan perlahan, Ollie membuka jendela. Sedikit keras dan berbunyi. Tapi Para penjaga di bawah tetap tak menyadarinya. Ollie mengeluarkan kakinya satu persatu, menutup jendela kembali sepelan mungkin. Lalu bak seorang pemain sirkus, Ollie berjalan meniti tepi dinding yang hanya selebar 10 cm, menuju dinding kayu yang menuju taman. Dinding kayu itu dipenuhi tanaman merambat yang aman untuk dituruni. Ketika sampai Ollie harus ekstra hati-hati karena air hujan tadi cukup membuat dinding kayu berbentuk segiempat panjang itu sedikit licin. Dilemparnya tas yang disangkutkannya di leher untuk mengurangi berat ke bawah. Suara itu tetap tak membuat para penjaga itu sadar. Ollie pun turun dengan cepat. Ia sempat terpeleset saat di tengah-tengah, namun dengan sedikit aksi akrobatik maka ia bisa melewati dengan mudah.

Ollie menghembuskan napas lega saat tiba di halaman dengan mudah. Ia mengambil tasnya, menunduk menuju pintu kecil itu. Tak terkunci, tapi pintu itu tertutup. Satu-satunya cara ia ke sana adalah memutari pos kecil itu. Maka Ollie pun berdiri pelan-pelan, memutari pos kecil penjaga yang tampak sesekali menjatuhkan kepalanya. Ollie menunggu sebentar saat seorang penjaga di depan pagar utama berputar. Penjaga itu tampaknya sedang dipanggil masuk, sementara tiga penjaga lainnya berdiri di dekat pintu rumah dan pagar utama. Berjaga-jaga seperti biasa.

Suasana mendadak sunyi, tepat ketika Ollie akan berdiri, sebuah mobil berhenti di depan pintu pagar. Para penjaga berlarian ke pagar utama, bahkan penjaga yang tadinya sibuk menahan kantuk ikut berlari. Melihat semua penjaga berkumpul di depan pintu pagar, Ollie menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Ia membuka pintu pagar secepat dia bisa dan berlari sekencang-kencangnya

“Nona! Nona Ollie!! Nona Ollie lari!!” suara teriakan para penjaga di belakang Ollie membuat lari Ollie semakin kencang. Lama ia berlari, mengikuti kakinya yang mengarahkan entah ke mana yang penting menjauh dari rumah. Tapi rasanya para penjaga terlatih itu punya tenaga sekuat kuda. Saat Ollie menengok, para penjaga itu masih mengejar di belakangnya dan mereka semakin mendekat. Rasa panik melanda Ollie, ia menatap lurus ke depan eh nggak… dia harus belok ke mana? aduuh, kiri kanan atau kanan atau kiri… Ollie berlari di tempat beberapa detik sebelum akhirnya memutuskan berbelok ke kiri.

Aah syukurlah, dia tak salah belok. Ollie memasuki keramaian jalan raya. Sambil mencari-cari tempat yang tepat untuk bersembunyi, Ollie terus berlari. Tiba-tiba di belakangnya, seorang pria muda dengan baju lusuh membawa gitar berlari mengejar. Ollie ketakutan. Mungkinkah ini salah satu penjaga Papa yang menyamar? Ollie kembali mempercepat larinya meskipun napasnya mulai kepayahan.

Tapi pria itu mampu mengejarnya. Ollie jadi semakin ketakutan. Anehnya ketika pria itu berhasil menyamai lari Ollie, dia justru berada di depan Ollie. Ollie bingung.

“Bang, kenapa ngejar saya?” tanya Ollie bingung tanpa menghentikan langkah.

“Siapa yang ngejar situ? saya lagi dikejar kamtib,” gerutu pria itu sambil terus melaju. Hah??

Ollie tertawa kecil, lalu menengok. Tak lagi tampak para pengawal Papa mengejarnya. Dia berhenti, ngos-ngosan mengambil napas dan menenangkan deru jantungnya yang cepat.

“Hei, kenapa berenti? Lo gak takut… sama,,, kamtib?” tanya Pria muda yang tadi ikut berlari di sisi Ollie, sama-sama megapnya dengan Ollie. Dia juga berhenti rupanya.

Ollie tertawa kecil di sela napas yang hampir putus. ”Napas… gue… bentar,” jawab Ollie. Pria itu lalu duduk di atas trotoar, mengatur napasnya.


***


“Gue Ollie.”

“Gue Bejo.”

Mereka saling berkenalan. Ollie menyalami tangan Bejo. Kasar tapi tangannya bersih untuk ukuran pengamen.

Setelah mengatur napas dan agak tenang. Merekapun berkenalan. Ollie suka sama pengamen muda itu. Entah kenapa sejak berkenalan Bejo selalu bisa membuatnya tersenyum. Beberapa menit lalu, Bejo terus melontarkan lelucon. Ollie berkali-kali terpingkal-pingkal dibuatnya.

“Lo lucu amat sih, jo. Yakin lo bukan pelawak?” tanya Ollie.

Bejo tersipu. “Ah elo, Li. Tahunya gue ini pengamen paling cakep di sini. Soal jadi pelawak, boleh deh kalo ada yang nawarin manggung. Lumayan buat nambah-nambah.” Dia menggaruk-garuk kepalanya.

“Lo ini… gue nanya bukan mau nawarin,” ucap Ollie. Dipandangi wajah Bejo dengan seksama. Kegelapan malam menyembunyikan wajah pengamen itu. Walaupun tak begitu jelas, Ollie harus mengakui wajah Bejo agak tampan andaikan saja noda hitam kecoklatan di wajahnya dibersihkan.

“Tadi lo kenapa lari?” tanya Bejo. Dia mulai memainkan gitarnya, asal-asalan. Terdengar petik sumbang dari gitar yang dimainkannya. Agak aneh mengingat dia adalah pengamen. Mungkin karena hanya main-main saja.

Dan mengalirlah cerita Ollie. Tentang perjodohan yang akan dilakukan Papanya, tentang pelariannya dan tentang para pengawal yang mengejarnya. Bejo manggut-manggut mendengarkan.

“Lo untung masih ada yang mau ngawinin. Lah gue? boro-boro dikawinin. Mau aja udah sukur banget.” ujar Bejo menanggapi cerita Ollie. “Itu tandanya masih ada yang mau ngurusin elo, Li.”

“Bisa aja lo, Jo. Gue bukan siti nurbaya. Gue bisa kok nyari sendiri. Papa aja tuh yang gak sabaran.” tukas Ollie tidak mau kalah.

“Lo pernah nanya gak alasan Papa lo ngejodohin lo?” tanya Bejo. Ollie menggeleng.

“Nah lo, kalau misalnya Papa lo ngejodohin karena umurnya pendek gimana?”

“Sembarangan lo, Jo!” Ollie langsung meninju bahu Bejo. Bejo meringis.

Tapi Bejo memang benar. Kenapa Papa begitu tergesa-gesa menjodohkannya? Sedangkan dulu jangankan menjodohkan, begitu Ollie keluar dengan teman cowok pasti Papa kalang kabut melarangnya, ataupun kalau Ollie berkeras maka pengawal Papa yang seabrek-abrek itulah yang mengawalnya. Jadi kenapa sekarang?

Ollie termangu, Bejo menepuknya. “Naaah, sekarang baru deh lo mikir. Makanya kalau lari, mikir-mikir dulu non.”

“Jadi gue harus kembali nih?” tanya Ollie setengah hati. Dia mulai bingung menentukan rencana selanjutnya.

“Ya, itu terserah elo kali non. Gue gak ngurus. Tapi gue gak punya orangtua. Lo masih lengkap.”

“Nggak, tinggal Papa doang.” sela Ollie.

Alis Bejo naik. “Naah, apalagi tinggal papa saja. Masak Papa lo gak bisa diajak bicara? Bicara aja pelan-pelan. Ntar kalau Papa lo sedih terus sakit? Gak sayang sama Papa lo lagi?” tukas Bejo. Ollie terdiam.

Bejo memang lagi-lagi benar. Papa belum pernah memaksakan apapun selain ini. Seharusnya tadi Ollie bertanya dulu alasan Papa, bukannya langsung memilih minggat dari rumah.

“Tapi gue malu, Jo. Udah berhasil lari sejauh ini terus masak balik lagi.”

Bejo tertawa kecil. “Ya.. lo bilang aja tadi olahraga sebentar buat kesehatan jantung. Kan selesai.”

“Terus ini?” Ollie menunjuk tas yang ditentengnya.

Bejo mikir sebentar. “Lo bilang aja, tadi ngumpulin cucian terus lupa ngasih ke bibik. Selesai. Udah deh, lo pulang aja. Gak baik cewek secantik lo tetap di sini. Sudah malam banget, mana di sini kan banyak premannya.”

“Maksudnya salah satunya elo kan?” Bejo terkekeh. Ia menepuk-nepuk bahunya sendiri dengan bangga

“Tapi lo gak takut kan sama gue.” Ollie menggeleng. Ia malah tersenyum.

“Enggak, gue malah suka sama lo lagi,” kata Ollie bercanda, ia bangkit dan menepuk-nepuk pantatnya yang terkena tanah. “Kalau elo orang baik-baik, punya kerjaan baik, gue mau nikah ama lo.”

Mata Bejo membesar. “Beneran nih? Gue kerja nih bener-bener.”

Ollie membalas tatapan Bejo. “Iya, tapi lo harus bersih, rapi dan punya rumah buat tinggal. Kalo begini, jangankan gue tuh bibik-bibik yang jualan sayur di pasar aja pada gak mau. Udah ah, gue mau pulang. Makasih ya udah nemenin gue.” Ollie menyodorkan tangan.

Bejo menyalaminya sekali lagi. “Perlu gue antar gak?”

“Hmm…” Ollie memandang ke sekelilingnya. sudah sepi. Perasaan tadi tidak seseram ini, kenapa jadi sepi begini sih? lalu Ollie mengangguk pada Bejo.

Merekapun kembali berjalan kaki beriringan menuju rumah Ollie. Masih sambil mengobrol ringan, sesekali Bejo masih melontarkan lelucon membuat perjalanan mereka tak terasa sampai di depan rumah Ollie.

Tampak Papa sedang memarahi para pengawalnya. Wajah Papa kelihatan kalut dan bingung. Ollie berlari, meninggalkan Bejo.

“Papa!” panggilnya.

Papa menoleh. Memandang putrinya dengan kaget. “Ollie? Ollie sayang!” teriak Papa saat melihat Ollie. Ia berlari menyongsong putrinya dan memeluknya sekencang mungkin.

“Papa! Ollie minta maaf.” bisik Ollie sambil membalas pelukan Papa.

“Ollie! Papa minta maaf. Kalau Ollie gak mau dijodohin. Papa batalin. Iya, tapi Ollie jangan tinggalin Papa lagi ya, nak!”

“Tadi kata Ollie, dia bersedia kok dijodohin sama saya asal saya kerja bener dan punya rumah, Om.”

“Hah?!?” Ollie dan Papa sama-sama melepas pelukan dan menatap Bejo yang berdiri sambil tersenyum simpul.

“Bejo?”

“Alex?”

Ollie dan Papa sama-sama saling menatap.

“Kamu sudah kenal sama Alex, Li?” tanya Papa. Ollie menatap Bejo bingung. Ia menatap Papa dan Bejo berganti-gantian. Otaknya sibuk mengingat-ingat dan merewind kembali ingatannya. Tidak! Tak ada nama Alex sejak tadi pertama kali ia berkenalan dengan Bejo.

Bejo melangkah mendekati Ollie dan berkata, “Kenalin, nama asli saya Alexander Bernardo Jonathan. Tapi teman-teman saya biasa manggil saya Bejo.”

Dan Ollie pun terkulai lemas di pelukan Papa. Bejo adalah Alex, dan Alex adalah orang yang akan dijodohkan Papa.

*****
Read More

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena