Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Sunday 29 April 2012

I Wanna Be Emak - Arti Tangis Ayah

Semua sedang berkumpul di ruang keluarga, sementara Emak dan Kakak berada di dapur menyiapkan cemilan, pisang goreng tepung untuk keluarga. Karena ruang keluarga berada tepat di samping dapur, maka obrolan Ayah dan Abang terdengar juga oleh Emak dan Kakak.

Ayah sedang menasehati Abang yang baru saja berhenti menangis. Ayah berusaha mengalihkan perhatian si abang yang masih marah karena lututnya terbentur mobil-mobilan yang sedang ditumpangi Ade. Sambil membujuk Abang yang masih sesegukan, Ayahpun berkata menyombongkan diri. “Coba Abang meniru Ayah. Ayah nih, gak pernah nangis kan? Waktu kecil juga Ayah gak cengeng. Apalagi anak cowok, gak boleh gampang nangis. Anak cowok harus tangguh, harus kuat dan gak cengeng. Apalagi anaknya Ayah!” Tangan Ayah menepuk-nepuk bahu Abang. Abang menatap Ayah.

“Ayah bohong! Ayah juga pernah nangis kok!” sergah si Abang dengan nada tinggi.

Ayah menatap Abang bingung, tapi Ayah tak mau kalah. “Eeh… Siapa yang bilang?”

“Nenek, nenek yang bilang. Kak! Kakak! Nenek bilang dulu Ayah pernah menangis kan?” Abang berteriak memanggil kakaknya, mencari bantuan memenangkan perdebatan. Kakak yang baru selesai menyiapkan piring, langsung pergi menghampiri Abang dan mengangguk.

Emak tertawa kecil, namun tak seperti kakak yang langsung bergabung dengan Abang dan Ayah. Emak tetap melanjutkan memotong-motong pisang meskipun telinga Emak ikut mendengarkan.

“Iya, yah. Kata Nenek waktu Emak melahirkan kakak, Ayah menangis karena Emak gak keluar-keluar dari ruang operasi. Trus waktu Emak dioperasi melahirkan Abang, Ayah juga menangis waktu dikasih lihat lewat jendela kan? Kakak masih ingat soalnya waktu itu Ayah sambil gendong kakak.”

Ayah terdiam. Tangan Emak berhenti bergerak. Hanya terdengar gelak tawa Abang dan Kakak menertawakan Ayah yang kalah telak dalam perdebatan itu. Tapi itu bukan hal lucu buat Emak.

Ayah sama sekali tidak kalah, buat Emak justru Ayah sedang menang. Ayah sekali lagi, dengan cara yang tak pernah disangka Emak membuktikan cintanya pada Emak dan anak-anak. Dan Emak tak bisa menahan airmatanya, setitik airmata jatuh membasahi tangan Emak. Cepat-cepat Emak menghapusnya

Meskipun anak-anak tak menyadari, Emak terharu. Emak baru tahu, lelaki sekuat dan setangguh Ayahpun pernah menangis. Tangis Ayah pasti karena saat itu berdoa untuk Emak yang sedang berjuang dalam hidup dan mati, dan Emak senang karena berarti Ayah benar-benar menghargai perjuangan itu.

Saat membawa sepiring pisang goreng ke ruang keluarga, Emak mendengar Ayah masih berusaha menjelaskan pada anak-anak. “Tangis ayah saat itu karena ayah sedang memohon pada Allah, supaya orang-orang yang ayah sayangi diberi kekuatan dan keselamatan. Tangis itu adalah tangis seseorang yang merasa tak mampu selain menyerahkan pada keputusan Allah. Aah, kalian ini curang… Ayah menangis bukan karena Ayah cengeng. Tapi karena Ayah sedang bersungguh-sungguh berdoa.”

“Sekalinya nangis, ya tetap saja menangis, Ayaah.” Anak-anak tetap ngotot mempertahankan. Tak bergeming.

Ayah menyerah. Tanpa sengaja Ayah menoleh pada Emak. Tatapan Ayah bertemu mata Emak. Emak tersenyum, namun matanya berkaca-kaca. Dan ketika anak-anak sibuk memakan pisang goreng, Emak mengucap “Terima kasih, Ayah” tanpa suara, Ayah hanya mengangguk-angguk, menunduk, menyembunyikan rasa malunya sendiri.


*****
Read More

Saturday 28 April 2012

I Wanna Be Emak - Diet!!!


Emak menulis jadwalnya hari ini dengan empat huruf yang diakhiri tanda seru sebanyak tiga kali. Diet!!! Tanda seru tiga kali itu adalah pertanda jumlah berat badan Emak yang bertambah sebulan terakhir ini. Bukan lagi sekilo atau dua kilo, tapi tiga kilogram. Dan Emak panik luar biasa. Jangan menurunkan sekilo, menurunkan setengah kilo saja Emak tak pernah berhasil selama lebih dari lima tahun apalagi tiga! Aduh, Emak benar-benar harus diet!!!

Mulailah Emak merencanakan program Diet!!!nya. Dengan berbekal buku-buku, majalah-majalah dan terakhir tentu saja berburu di internet, Emak mulai menyusun menu Diet!!! Yang sangat detail. Menu 3x sehari, sarapan, siang dan malam ditambah makanan penunjang seperti buah-buahan.

Tentu saja, Emak berbelanja. Emak baru nyadar kalau ternyata, susu rendah lemak itu ternyata lebih mahal. Roti gandum dan cookies rendah lemak semuanya berharga lebih tinggi daripada roti dan cookies biasa. Tapi tak apalah, demi Diet!!!

Senin pagi, seperti biasa Emak selalu menyediakan sarapan pagi buat anak-anak yang mau ke sekolah dan Ayah yang hendak ke kantor. Kali ini Emak membuat nasi goreng dengan telor ceplok serta segelas susu untuk masing-masing anak. Sementara mereka sarapan, Emak biasanya memandikan Ade.

Setelah Ade selesai dimandikan, Emakpun turun ke ruang makan. Anak-anak dan Ayah sudah selesai sarapan. Aneh, nasi goreng di dalam mangkok saji masih tersisa banyak.

“Loh kok, nasi gorengnya masih banyak?” tanya Emak sambil mengumpulkan piring-piring kotor, untuk dicuci.

Abang menoleh. “Maaf Mak, Abang makannya dikit aja. Abang kenyang. Tadi Abang lihat ada roti rasa baru, nah Abang makan itu saja. Enak! Lain kali beli lagi ya Mak!”

Emak terdiam, dia langsung melirik ke tempat ia meletakkan roti gandumnya. Benar saja, rotinya sudah tinggal setengah! Kalau Abang makan setangkup, terus yang lain ke mana? Suara lain menjawab pertanyaannya.

“Iya Mak, Kakak juga tadi minta dibuatin Ayah untuk dibawa ke sekolah. Boleh ya Mak?”

Dari kursi tempat ia duduk, Emak hanya mengangguk sambil tersenyum. Ayah mendekati Emak diikuti anak-anak, secara bergantian ketiganya berpamitan sambil mencium Emak.

“Tadi Ayah juga makan rotinya. Emang benar kata abang, rotinya enak. Gitu dong! Sekali-kali makan roti yang mahalan dikit,” kata Ayah santai lalu mencium dahi Emak.

Dan ketiganya pun pergi meninggalkan Emak dan Ade yang kini berdua saja duduk di kursi meja makan.

Emak menatap Ade yang nampak semangat makan, ia juga memilih sarapan dengan roti gandum. Dengan lesu, Emak mengambil piring kosong. Hari ini batal makan makanan diet, sayang kan nasi goreng dibuang begitu saja. Jadilah Emak pagi itu, sarapan dua piring nasi goreng dan telor ceplok.

Siang harinya, saat anak-anak pulang sekolah. Emak baru saja selesai memasak sup daging dan tumis buncis kesukaan Abang. Ditambah puding mangga yang manis dan kerupuk udang. Begitu mencium baunya, anak-anak yang sedang bermain dengan adenya menyerbu ke dapur.

“Emak, lapar nih! Makan dong!” kata Kakak.

“Iya, ini sudah Emak siapin. Kakak bantu nyediain piring ya.”

“Oke, Mak!” Kakak langsung ke rak piring dan mengambil empat buah piring dan empat buah gelas. Dibawanya ke ruang makan, mengikuti Emak yang membawa semangkok sup daging.

Setelah kembali lagi mengambil nasi dan sayur tumis buncis yang sudah tersaji dalam pinggan, Emak membantu anak-anak mengambil makanan itu ke piring mereka. Namun Emak tak mengisi piringnya samasekali, membuat Kakak melihatnya dengan bingung.

“Emak gak makan?” Kakak bertanya.

“Gak, Emak nanti saja,” jawab Emak sambil menggeleng.

Abang terlihat kecewa. “Yaaah, gak enak. Gak asyik kalau makan gak ditemani Emak. Ayo dong, Mak! Makan bareng.”

Emak diam sejenak. Tapi tiga pasang mata melihatnya penuh harap. I am a row model for my children. Kalau tak makan, bisa jadi nanti anak-anak pun mencontohnya. Emak mengambil piring dan mulai memenuhinya dengan menu makan siang. Anak-anak tersenyum girang.

“Naah, kita jadi semangat nih makannya! Selamat makan, Emak!” dan merekapun mulai berdoa, makan siang dengan ramai dipenuhi cerita-cerita saat di sekolah tadi seperti hari-hari lain. Tanpa sadar, anak-anak makin berselera makan, minta nasinya ditambah dan Emak pun lupa program Diet!!!nya, Emak juga nambah porsinya lagi.

Sore hari saat Ayah pulang. Setelah mandi dan berganti pakaian, Ayah langsung duduk di hadapan Emak, menatap Emak yang sedang duduk menulis mencatat menu-menu sehat untuk keluarga di meja makan.

“Makan dong, Mak! Tadi Ayah makannya sedikit,” pinta Ayah. Matanya mengedip menggoda. Emak tersenyum dan mengangguk. Tangannya sibuk membereskan kertas-kertas dan penanya lalu meletakkannya di atas kulkas.

Emak segera menyiapkan makanan untuk Ayah setelah menghangatkannya sebentar. Setelah menyediakannya, Emak pun duduk menemani Ayah makan.

“Loh, Emak gak makan?” tanya Ayah bingung saat menyendok nasi.

“Udah tadi siang. Masih kenyang,” jawab Emak.

“Aah, mana enak makan sendirian? Udah deh, Emak makan aja lagi. Ayah gak semangat nih.” Wajah Ayah terlihat kecewa.

Emak menghembuskan napas. “Iya iya, Emak makan deh!” dan Emakpun mengambil piring lagi untuk menemani Ayah makan.

Tepat ketika makan malam tiba, Emak bersyukur bisa melewatkannya karena anak-anak memilih makan bersama Ayahnya. Emak harus menidurkan Ade yang jam tidurnya lebih cepat malam itu karena ia kelelahan setelah sorenya diajak Emak berolahraga. Olahraga merupakan program dari rencana Diet!!! Emak.

Namun setelah makan malam, datang kakek dan Nenek. Anak-anak yang hendak berangkat tidur, langsung berlompatan bangun kecuali Ade yang sudah tertidur pulas.

Dengan sigap, Emak segera menyediakan makan malam untuk Kakek dan Nenek.

“Pak, Bu. Makan dulu yuk!” ajak Emak pada Kakek dan Nenek yang sedang mengobrol bersama Ayah.

"Anak-anak bobo ya sekarang! Besok saja main sama Kakek dan Nenek. Oke?” kata Emak tegas. Bahu anak-anak merosot kecewa, namun kaki mereka tetap melangkah masuk kembali ke kamar mereka masing-masing setelah mencium pipi Nenek. Ayah menemani mereka masuk ke kamar.

“Kamu udah makan, Nduk?” tanya Nenek pada Emak yang hanya duduk di meja makan, tangan Nenek sibuk melayani Kakek. Emak hanya mengangguk.

“Ayo makan lagi saja sini, temani Ibu sama Bapak. Sudah lama kan kita tak makan bersama,” ujar Kakek.

Emak diam sebentar. Tak seperti tadi siang, Emak ingat program Diet!!!nya. “Tapi… “ suara Emak ragu.

“Udah gak sayang ya sama Bapak Ibu lagi? Sampai nemani makan aja gak mau.” Kakek menatap Emak. Wajah tuanya mengharapkan agar sang putri kesayangan mau menemaninya.

Emak tersenyum. “Aduh Pak, tentu saja saya sayang banget sama Bapak Ibu. Iya deh, Pak. Saya makan juga.” Akhirnya Emak hanya bisa mengiyakannya. Bapak dan Ibu jarang datang, kasihan kalau dikecewakan.

“Nah gitu dong, nak! Bapak jadi tambah selera ditemani putri kesayangan Bapak,” ujar Kakek. Senyum lebar tersungging di bibirnya, bahagia karena merasa masih diperhatikan putrinya. Walaupun Emak harus lagi-lagi membatalkan programnya.

Hari itu Emak benar-benar gagal mengikuti program makan Diet!!!nya. Esoknya juga sama, karena Ade menghabiskan roti gandum Emak, lalu malamnya Kakek dan Nenek mengajak makan seluruh keluarga di restoran favorit mereka. Hari ketiga tak ada bedanya. Emak tak mau menyia-nyiakan donat yang dibelikan Ayah khusus untuknya dan anak-anak. Soal makan siang dan makan malam, akhirnya Emak tetap makan seperti biasa karena anak-anak mengira Emak sedang sakit kalau ia bertahan tetap makan sedikit.

Setelah seminggu Emak kembali menimbang berat badannya. Ia tak lagi kaget saat melihat tak satu onspun beratnya berkurang hari itu. Mengingat apa yang dimakannya selama seminggu, Emak tak yakin bisa melanjutkan dietnya. Emak ingin punya berat badan yang normal, tapi Emak tak mau mengorbankan perhatian pada orang-orang yang disayanginya.

Diet!!! pun gagal. Jangankan Diet!!! dengan tanda seru tiga, menjalankan diet biasa saja susah. Emak pun menyerah.

Gagal tak masalah. Emak tak mau berpusing-pusing tentang berat badan asalkan Emak sehat. Toh ketika ditanya, Ayah malah bilang, “Emak seksi kok kalau gemuk.”


*****
Read More

Friday 20 April 2012

I Wanna Be Emak - Cantik


Siapapun pasti ingin terlihat cantik. Emak juga. Apalagi kalau bisa sampai memancing pujian dari sang suami tercinta dan anak-anak. Untuk penghuni rumah yang lebih doyan bercanda dan meledek, pujian adalah hal yang teramat langka buat Emak yang super cuek terhadap penampilan.

Dan itu mulai disadari Emak saat ia berkumpul dengan teman-temannya sesama ibu-ibu. Seusai pengajian, Emak biasa mengobrol dengan beberapa Ibu yang sedang menawarkan “dagangan” mereka. Entah itu peralatan masak, kotak plastik, baju muslim, suplemen, sampai peralatan kosmetik. Kadang-kadang meski tak berniat membeli, Emak cukup senang dengan bisa mengenal barang-barang itu. Paling tidak menyenangkan hati teman yang sedang berusaha keras membantu keuangan keluarga mereka. Sampai ketika salah satu teman Emak yang menjual kosmetik mengatakan betapa kusamnya kulit Emak.

“Awas loh, Jeng. Kalo tak dirawat wajah Jeng bakalan cepat tua dan keriput. Entar suami Jeng bakalan lari ke lain hati,” kata teman Emak itu lalu dengan penuh semangat menawarkan seperangkat kosmetik wajah.

Tapi Emak tetap tak mau membelinya. Bukan karena tak ingin, tapi Emak merasa sayang menggunakan kelebihan uang belanja dapur untuk dirinya sendiri. Abang dan Kakak lebih membutuhkannya untuk membeli peralatan tulis mereka yang sudah mulai habis.

Namun, kata-kata itu terngiang di telinga Emak berulang kali. Emak mulai memperhatikan penampilannya. Emak memang kurang suka berdandan sejak masih remaja dulu. Bukan karena tak mampu, tapi karena memang tak pernah seorangpun menuntutnya untuk melakukannya. Saat masih sekolah, Emak hanya mengenal bedak bayi dan deodoran. Orangtua Emak dulu selalu bilang Emak anak mereka paling cantik hingga Emak merasa tak perlu berdandan. Ketika bekerja, Emak yang kadang harus keluar kantor mendampingi atasannya di daerah tambang yang panasnya menyengat pun tak pernah menggunakan pemutih kulit atau pelindung matahari seperti perempuan pada umumnya. Boss Emak saat itu malah bilang kalau warna coklat di kulit Emak adalah the sexiest color skin in the world sehingga Emak merasa tak perlu berusaha mencegahnya apalagi memolesnya dengan make-up selain lipgloss. Dan saat menikah, Emak juga tak merasa perlu banyak berdandan karena Ayah lebih suka melihat wajah alami Emak tanpa kosmetik.

Sekarang, semuanya berbeda. Usia Emak sudah melewati angka 30 tahun. Keriput memang belum ada, karena Emak suka sekali tertawa. Tapi noda-noda berbintik hitam cukup banyak menghiasi wajah Emak, ditambah beberapa bekas jerawat yang meninggalkan “kenangan” di beberapa bagian. Belum lagi kulit yang terasa kering saat diusap dan kusam serta rambut yang tak lagi mengembang seindah dulu saat digerai. Sungguh, Emak mulai kehilangan kepercayaan diri.

Saat bertanya pada anak-anak dan Ayah, Emak langsung dihujani kritik. Apalagi saat Kakak membandingkan Emak dengan Ibu temannya yang selalu full make-up dan wangi, tidak seperti Emak yang kata Kakak selalu tercium bau masakan dari tubuhnya.

Emak tak ingin terus menerus kalut dan bingung. Maka mulailah Emak berniat mengubah penampilannya. Yang pertama tentu saja ke salon. Emak menelepon adik Emak, bertanya padanya perawatan yang harus dilakukan. Maklum Emak hanya datang ke salon kalau ada acara saja, maka tak heran Emak sedikit bingung. Walaupun sempat ditertawakan oleh adiknya karena seumur-umur baru kali ini adik Emak mendengar keinginan itu, Emak tetap bersikukuh meneruskan rencananya.

Saat ke Salon, bermodal rekomendasi dari adik Emak dan setelah berputar-putar mencari akhirnya Emak menemukan salon khusus muslimah. Emak memilih Facial dan Creambath sebagai perawatan awal sesuai pesan adiknya. Meski sedikit tercengang melihat betapa jauh bedanya biaya salon biasa dengan salon khusus muslimah, tapi Emak sudah bertekad untuk melakukannya.

Tadinya saat tiba Emak mengira akan menikmati pelayanan yang menyenangkan. Di televisi saat melihat para selebriti melakukan perawatan, Emak lihat semuanya begitu santai dan terlihat menikmatinya. Tapi ternyata, kenyataannya sama sekali tidak. Saat facial, Emak harus menahan sakit. Wajah Emak dipermak dan dipencet habis-habisan. Wanita yang melayani Emak sibuk mengeluhkan wajah Emak yang tak pernah dirawat, komedo berlimpah dan juga noda-noda hitam yang sangat banyak. Padahal seingat Emak, wajahnya tak sebegitu parah. Ah, tapi Emak tak bisa bicara karena ia harus tetap menutup mulut atau maskernya akan retak.

Setelah itu Emak juga harus rela rambutnya yang panjang ditarik ke sana kemari. Karena tak terbiasa dipijat, Emak kegelian dan justru berharap perawatannya cepat selesai. Emak kesakitan, kegelian dan tak tahan dengan hawa panas di kepalanya. Sungguh, inilah perawatan paling menyiksa buat Emak.

Ketika akhirnya semua penderitaan itu berakhir, Emak tak membuang kesempatan. Meskipun sedikit mendelik saat melihat tagihan perawatannya, kaki Emak seperti akan berlari segera meninggalkan tempat itu. Emak takut kalau-kalau salah satu pegawai di Salon itu kembali memanggilnya karena ada perawatan yang belum dilakukan. Emak tak peduli bagaimana wajahnya terlihat karena yang Emak inginkan hanya satu. Meninggalkan tempat itu secepat mungkin.

“Waaah, Emak cantik sekali!” puji Abang saat Emak tiba di rumah. Emak baru saja membuka jilbab yang menutupi rambutnya yang baru saja dirawat. Rambut Emak berkilau dan mengembang indah membingkai wajahnya yang meski agak kemerahan sekarang terlihat lebih mulus.

Rasanya bagai melayang Emak menerima pujian itu. Si Abang jarang sekali bicara, maka saat ia berbicara Emak menganggapnya sebagai sesuatu yang benar-benar jujur dari hatinya. Ayah yang baru pulang dari kantor juga ikut memuji penampilan baru Emak. Kakak yang suka menggoda, sekarang terpaksa mengakui Emak jauh lebih cantik dari Ibu sahabatnya. Emak benar-benar gembira dan senang hari itu. Tak sia-sia rasanya harus bersakit-sakitan menderita dan mendapatkan hasil yang bisa membuat seluruh anggota keluarga menyukai penampilannya.

Tengah malam tiba, Emak masih tak bisa berhenti mengagumi penampilan barunya. Emak tersenyum-senyum sendiri menatap cermin di kamar tidur saat membersihkan wajahnya dan melihat betapa perawatan bisa mengubah begitu banyak hal. Ia tak sadar, sepasang mata Ayah memperhatikannya.

“Cantik itu bukan karena wajah yang mulus atau berlapis make-up, tapi cantik itu karena perasaan bahagia,” celetuk Ayah tanpa melepaskan tatapannya dari buku yang sedang dibacanya.

Emak melirik ke tempat tidur, bertanya-tanya maksud suaminya berkata seperti itu. “Ayah gak suka ya melihat Emak merawat diri dan kelihatan cantik?” tanya Emak merengut.

Ayah mendongak, menggeleng. Seulas senyum ia pamerkan. “Bukan begitu, Mak. Hari ini Emak memang cantik. Tapi Emak cantik bukan karena perawatan itu, Emak cantik karena hati Emak bahagia. Emak bahagia kan?”

Sunyi senyap untuk sesaat. Ayah kembali membaca bukunya. Sementara Emak merenungi kata-kata Ayah.

“Tahukah apa yang menyebabkan dulu Ayah jatuh cinta dan memilih Emak menjadi istri?” tanya Ayah tiba-tiba. Tanpa Emak sadari, ternyata Ayah sudah berdiri di belakang Emak, menatap Emak melalui cermin.

Tanpa menunggu pertanyaannya dijawab, Ayah kembali berkata, “karena Emak adalah seseorang yang tak pernah peduli dandanannya yang penting dia bersih. Seseorang dengan kepribadian yang periang, terbuka dan pandai menghidupkan suasana. Orang yang begitu peduli pada orang-orang di sekitarnya, sangat menyayangi orangtuanya dan memiliki perasaan yang peka. Saat itu Ayah pikir, inilah istri yang saya cari, perempuan yang akan menjadi teman hidup dan ibu anak-anak saya. Karena Ayah tahu, bersama dengan perempuan yang selalu tersenyum ini akan membuat hari-hari Ayah tak pernah sepi lagi.”

“Dan memang itu benar. Terus terang Ayah lebih suka melihat istri yang tak pernah kuatir kecipratan minyak atau bau badannya seperti bau bumbu masak asal bisa menghidangkan masakan terenak buat keluarganya, Ayah lebih sayang pada istri yang mau berpeluh keringat dan berkulit gelap karena mengantar ke sekolah memastikan anaknya tidak terlambat hadir dan Ayah lebih bangga pada istri yang rela menjahit bajunya berulang kali demi menabung buat pendidikan anak-anak. Bagi Ayah, itulah istri paling cantik di dunia. Istri yang memikirkan kepentingan keluarganya lebih dahulu dibandingkan kepentingannya sendiri.”

Emak tak bisa menjawab. Hanya dua tetes airmata mengalir di kedua pipinya, terharu. Ayah mengelus rambut Emak. “Ayah senang Emak merawat diri, karena artinya Emak merawat apa yang diberikan Allah dan itu adalah kewajiban setiap umat manusia. Tapi Emak jangan pernah melupakan kalau kecantikan yang sesungguhnya itu adalah wajah yang merasakan kebahagiaan di hati. Ayah ingin Emak tahu itu. Ayah ingin Emak menjadi ibu dan istri yang cantik dan bahagia. Kalau memang dengan merawat diri Emak bahagia, lakukan saja. Tapi jangan karena Ayah atau anak-anak yang doyan meledek ya. Apalagi karena kata-kata teman yang sedang berjualan kosmetik,” ujar Ayah mengakhiri kata-katanya sembari mencium ubun-ubun Emak.

Setelah itu Ayah meninggalkan Emak sendirian di kamar. Jiwa Emak seakan tersiram air mendengar nasehat Ayah. Ayah yang juga jarang bicara seperti Abang itu, selalu bisa membuat Emak terharu. Tangis Emak tetap tak berhenti. Emak baru sadar kalau Emak hampir kebablasan menikmati “kecantikan”nya, Emak hampir lupa kalau kecantikan yang utama adalah kecantikan hati.

Jajaran peralatan perawatan wajah baru yang sempat dibeli Emak seusai dari salon tadi sudah bersusun rapi di atas meja rias dan Emak tetap akan memulai merawat diri lebih dari sebelumnya, tapi Emak takkan melupakan semua pesan Ayah. Sebagai seorang wanita, Emak ingin tampil cantik dari luar dan dari dalam. Untuk itulah Emak akan menjaga kebersihan wajah, tubuh dan juga hatinya, untuk dirinya sendiri, untuk keluarga dan untuk orang-orang di sekelilingnya.


*****

Read More

Monday 9 April 2012

I Wanna Be Emak - Mencontoh Istri Ustad

“Yah, Minta uang buat ke salon dong!” kata Emak.

Ayah terdiam, bengong, melongok dan heran.

Emak tertawa kecil. “Kata Ayah kan, jadilah istri soleha dan contohlah istri para ulama besar!”

Ayah mengangguk dengan wajah masih berkerut-kerut bingung.

“Nah, barusan Emak nonton tivi. Ada istri Ustad majang mejeng ke salon, pedikur, medikur, perawatan wajah dan sebagainya. Jadi sebagai bahan pelajaran Emak jadi istri yang soleha, boleh dong Emak ke salon?” tanya Emak. Tapi mata Emak menari-nari menggoda Ayah.

“Iya, yah. Biar entar kalau Ayah sudah terkenal. Ayah bisa muja-muji Emak di depan umum,” suara Kakak, anak Emak yang pertama menimpali.

Ayah bangkit, wajahnya tampak kesal. “Mulai besok kalau Emak dan kakak nonton inpotainment lagi. Ayah jual tipinya!!!” kata Ayah mencak-mencak sambil meninggalkan ruang makan.

***


“Mak, besok Ayah mengisi taklim pengajian. Jadi pulang sholat dhuhur di mesjid, Ayah langsung ke sana dan mungkin ba’da Isya baru pulang karena tempatnya jauh. Emak makan sama anak-anak saja, tak usah menunggu Ayah,” beritahu Ayah.

Emak mengangguk. Tiba-tiba Emak teringat sesuatu. “Eh ayah, ayah… Jadi sekarang Ayah mulai berdakwah di luar RT?”

Ayah mengangguk. “Insya Allah, Mak. Didukung ya, tolong Emak kasih tahu anak-anak supaya jaga tingkah laku karena dakwah yang utama itu adalah contoh berperilaku. Minggu depan Ayah juga akan mendakwah di acara Maulidan yang insya Allah akan diliput televisi.”

Emak tak menjawab. Emak berdiri, menjauh sedikit ke arah pintu dan menatap ke seantero dapur dan ruang makan yang jadi satu itu. Mukanya berkerut-kerut, memikirkan sesuatu.

“Kenapa, Mak?”

Emak duduk lagi. “Yah, Ayah jangan sampai jadi ustad terkenal apalagi seperti selebritis deh.”

Ayah hampir tersedak oleh kopinya yang sedang ia minum mendengar permintaan Emak. “Loh, kenapa?” tanyanya bingung.

“Soalnya Emak takut Ayah nanti malu.”

Ayah makin bingung. Ditatap istri tercintanya tak percaya. Lalu bertanya, “apa maksud Emak sih? Ayah jadi bingung.”

“Ya iya, nanti Ayah pasti malu deh. Kan dapur kita jelek, ruang makan juga hanya beralaskan tikar bambu. Ruang tamu aja sofanya bolong-bolong apalagi kamar kita. Waduh, Yah. Ntar kalau Ayah pamerin saat diwawancara tipi, malah malu deh.”

Ayah menatap Emak. Mau marah, Emak benar. Mau kesal, Emak betul. Ayah memilih kembali konsentrasi membaca bukunya, membiarkan Emak mesem-mesem menyembunyikan tawa gelinya karena sekali lagi berhasil menggoda Ayah.

***


Emak baru pulang dari pasar, ketika melewati ruang keluarga dia terperanjat kaget. Hartanya yang termasuk 10 besar paling berharga di rumah, televisi ukuran 14 inchi yang dibelinya setelah menabung berbulan-bulan lenyap.

“Ayah!!! Tipi hilang!” kata Emak panik. Ayah tergopoh-gopoh keluar dari kamar.

Ayah menatap meja televisi yang sekarang kosong melompong. Santai. “Tipinya Ayah jual.”

Bahu Emak merosot bingung. “Yaaah, Ayah. Kok dijual sih?”

“Ayah sebel Emak rajin nonton inpotainment. Ayah kesal karena Emak menggunakan kebodohan istri Ustad buat jadi istri yang bodoh juga. Pokoknya gak ada tipi-tipian lagi,” kata Ayah tegas.

“Ayah sayang, suamiku yang baik dan ganteeng. Emak bukannya tak tahu kalau itu salah. Emak juga gak berniat mengikuti kebodohan itu. Maksud Emak biar Ayah punya referensi bahan buat dakwah. Emak juga bukannya rajin nonton inpotainment. Tapi kan Ayah tahu, remote kita itu wis uzur, angkanya aja udah gak kelihatan lagi jadi Emak harus explore channel satu persatu sebelum mendapat chanel pilihan. Nah Ayah juga tahu, 90% tipi kalau pagi nayanginnya berita inpotainment. Ya Emak jadi tahulah. Emak janji deh, tetap jadi istri Ayah yang manis, gak ngikutin Istrinya Ustad. Cukup jadi istri yang mengikuti apa yang Mursyidnya ajarin. Ayah jangan marah ya. Jangan menyalahkan tipi, Yah karena justru kalau kita pinter manfaatin tipi banyak manfaat positifnya. Please, Ayah ganteng!” bujuk Emak sambil memijat-mijat lengan Ayah.

Dan Ayah pun tersenyum. Ayah sebenarnya hanya ingin membalas Emak. Televisi mereka tidak dijual, hanya dibawa ke reparasi untuk diperbaiki. Namun Ayah senang, Emak menjadikan semuanya jelas. Saat Ayah menjelaskan pada Emak, Emak tak marah dan malah tertawa.

“Eh, ngomong-ngomong. Jarang loh Emak bilang Ayah ganteng. Sekali lagi dong!” kata Ayah.

“Weee, enak saja. Beliin dulu tipi baru!” canda Emak sambil tertawa. Ayah juga tertawa. Tapi waktu Ayah hendak keluar lagi dari ruang keluarga, Emak mencium pipi Ayah.

“Ayah bukan hanya ganteng, tapi Ayah adalah Imam paling sabaaar di dunia. Emak sayaang banget sama Ayah!”

Ayah terdiam. Mungkin ini Emak dapat cara ini dari melihat gaya lebaynya istri Ustad, tapi Ayah tak bisa pungkiri Ayah suka melihat Emak mempraktekkan hal-hal yang baik seperti itu. Boleh saja menunjukkan cinta pada suami, asalkan jangan di depan umum. 

*****
Read More

Friday 6 April 2012

I Wanna Be Emak - Panik

Emak senang, akhirnya anak-anak sudah selesai menghadapi ulangannya. Meskipun tak ikut “ulangan”, tiap malam Emak harus deg-degan, pusing memikirkan kesiapan dua anaknya yang sudah bersekolah. Benar saja kata Nenek dulu, setiap Emak pasti ikut “sekolah” lagi kalau anaknya sekolah. Sekarang, semua sudah selesai. Emak bahkan menuliskan gede-gede di kalender yang terpampang di ruang kerjanya. EMAK BEBAS!!!

Dengan gembira, Emak menyambut hari ini. Ia memulainya tentu saja… dari dapur. Memaksa anak-anak menyantap hidangan terbaru ala Emak. Apapun itu, kali ini Emak yakin hasilnya pasti enak.

“Kakak, Abang, Jagain Adenya ya! Emak mau buat brownies,” perintah Emak tegas saat akan masuk ke dapur, meninggalkan anak-anak di ruang bermain. Ah sebenarnya bukan ruang bermain, itu adalah ruang tengah yang disulap anak-anak menjadi arena permainan mereka hari itu.

“Okeeeeh, Mak! Masak yang enak ya!!” hampir berbarengan keduanya menjawab, meski sama sekali tidak melihat pada Emak. Emak hanya tersenyum menatap ketiga anaknya yang mulai asyik menyusun mainan-mainan mereka membentuk rumah-rumahan mini.

Tak lama saat Emak tengah “bertempur” dengan peralatan masak kue, anak-anak juga seru berteriak dan berbicara sambil tertawa-tawa menikmati permainan mereka. Sesekali Emak menengok ke ruang tengah mengecek keadaan mereka. Anak-anak sedang bermain rumah-rumahan, namun sesekali mereka juga saling bercanda. Beberapa teman mereka juga sudah mulai berdatangan dan ikut bermain, mungkin karena tergoda mendengar suara tawa anak-anak Emak yang terdengar hingga keluar.

Emak hampir menyelesaikan masakannya, ketika terdengar teriakan hampir bersamaan yang lebih menyerupai ketakutan. Dengan sigap, Emak langsung mematikan kompor dan berlari keluar.

“Emak!! Ade kemasukan batere,” lapor kakak dan abang hampir bersamaan. Kakak nampak memeluk Adenya yang berteriak-teriak kesakitan. Abang panik dan menarik-narik tangan Adenya yang bergerak meronta. Untuk sesaat Emak diam, mencerna laporan anaknya.

Emak menggendong Ade dan memperhatikan wajahnya. Wajah Ade memerah karena menangis dan tangannya terus bergerak memencet hidung, Emak terpaksa menahannya dan sibuk memeriksa.

“Batere apa? Di mana? Kok bisa?” tanya Emak pada Kakak dan Abang tanpa melepaskan perhatian dari Ade.

Sambil terisak karena rasa bersalah tidak menjaga Ade dengan baik, Kakak melaporkan dengan singkat apa yang baru saja terjadi. Ade melepas baterai bundar kecil dari ponsel mainannya, Kakak lihat tapi ia membiarkan Ade memainkan batere tersebut. Entah apa yang terjadi, tahu tahu Ade menjerit dan menunjuk hidungnya. Batere itu sudah masuk di dalam salah satu lubang hidung Ade.

Jantung Emak berdebar keras karena kuatir. Emak tak tahu harus berbuat apa. Namun yang pertama dilakukan Emak adalah menenangkan Ade sekaligus menenangkan hatinya sendiri. Emak memeluk Ade dengan kuat sambil berbisik, “sudah, sudah Ade jangan nangis ya, sayang.”

Lalu sambil berjalan menuju telepon. Emak sibuk memberi perintah pada Kakak dan Abang. “Kakak, ke dapur dan pastikan kompor sudah mati semua. Abang, take my bag, dompet di dapur dan kunci rumah. Habis itu kalian semua turun dan siap-siap. Kita ke rumah sakit.” Sementara tangan Emak tetap menggendong Ade, Emak menghubungi Ayah via telepon dan memberitahu secara singkat apa yang terjadi. Emak meminta Ayah menemui Emak di rumah sakit.

Jeritan Ade semakin nyaring, ingus berwarna bening mulai membasahi bagian bawah hidung Ade mengucur terus menerus tak berhenti. Dengan langkah cepat, Emak segera berlari turun menuju pintu depan. Setelah memastikan pintu rumah terkunci, Emak, Kakak dan Abang berlarian tergesa-gesa mencari taksi. Kakak juga membantu Emak membawa tas tangan.

Sepanjang jalan dan di dalam taksi, Emak sibuk berdoa di dalam hati. Ya Allah, selamatkanlah anakku. Tolong, jangan sampai terjadi sesuatu yang parah. Emak melirik ke samping, melihat wajah kedua anaknya yang lain juga tampak bingung dan sedih. Abang beberapa kali menyusutkan airmata, sementara sejak tadi Kakak terus berkomat-kamit membaca surat-surat Alquran yang dihafalnya. Jelas sekali mereka juga ketakutan seperti Emak. Tangan Emak yang masih bebas menepuk-nepuk pundak Kakak dan Abang bergantian, keduanya mendongak.

“Kalian tenang, baca doa ya. Insya Allah Ade gak papa,” bisik Emak sambil berusaha tersenyum. Anak-anak mengangguk sementara suara tangis Ade mulai melemah. Mungkin karena dia kelelahan dan kepalanya bersandar di dada Emak. Namun kucuran ingus masih terus mengalir dari hidungnya.

Saat tiba, Emak menyerahkan Ade pada dua suster yang tanggap mengambilnya dari pelukan Emak. Secara singkat, Emak menceritakan apa yang terjadi. Sementara Kakak yang sudah mengerti instruksi Emak menuju administrasi gawat darurat, menyerahkan kartu rekam medik Ade yang ada di dompet Emak.

Waktu terasa berjalan begitu lambat saat dokter dan para suster mulai mengecek Ade. Ade yang ketakutan melihat banyaknya orang asing yang mengelilinginya mulai menangis lagi dan lebih nyaring. Akhirnya setelah sepakat harus melakukan tindakan apa, Emak diminta tetap menggendong Ade dengan posisi menimang. Tangan dan kaki Ade dipegang oleh para suster, sementara dokter mulai memeriksa dan menggunakan sebuah alat. Ternyata alat itu terlalu besar. Dokter berpikir sejenak dan akhirnya mengambil sebuah klip kertas. Mata Emak melotot kaget.

“Loh kok pake itu, dok?” sergah Emak. Tangan Dokter yang bersiap bergerak segera berhenti.

Dokter tersenyum. “Alat kita tak ada yang masuk karena lubangnya kecil sekali. Ibu percaya kami, ya. Ini mau saya pakai untuk mengungkit batere keluar, jadi tak perlu tindakan apa-apa. Kalau luka atau terjadi robekan kulit, bisa kita obati dengan obat. Kalau dibiarkan saya kuatir baterenya akan semakin masuk ke dalam.”

Emak terdiam sejenak. Bismillahirrahmanirrahim. Emak menghela nafas. Akhirnya Emak membolehkan dokter melakukannya. Dokter membujuk Ade agar tenang dan tak bergerak dengan berkata membujuk lembut. Emak memeluk Ade sekuat yang ia bisa agar Ade tak bergerak, karena sedikit saja bergerak, maka hidung Ade pasti luka. Tak sampai beberapa menit, batere bundar kecil itu berhasil dikeluarkan. Suara desah lega memenuhi ruang gawat darurat itu, termasuk Emak yang langsung mengucapkan syukur berkali-kali sambil memeluk Ade.

Dokter tengah memeriksa keadaan hidung Ade setelah batere dikeluarkan saat Ayah muncul dengan wajah seputih kertas dan nafas terengah-engah. Setelah dokter bilang semuanya baik-baik saja dan bahkan tak ada luka lecet di bagian dalam hidung Ade, Emak dan Ayah merasa sangat lega. Bergantian keduanya memeluk Ade.

“Ade tadi kenapa?” tanya Ayah saat mereka berada di dalam mobil kembali pulang ke rumah. Ade dan kedua kakaknya sibuk memakan donat pemberian Ayah. Donat itu besarnya hampir setengah wajah Ade. Lalu sambil terus asyik mengunyah, ketiganya saling bersahutan penuh semangat menceritakan kejadian tadi dengan versi masing-masing. Emak diam saja, hanya berusaha tersenyum. Berbeda dari ketiga anaknya yang terkesan seperti tak ada kejadian yang menakutkan, jantung Emak masih terus berdebar kencang dan ia masih berjuang menenangkannya.

“Lain kali, jangan bermain dengan benda-benda yang kecil. Kakak dan Abang juga harus perhatikan kalau Emak sedang sibuk, ya,” kata Ayah menasehati. Dengan lirikan menggoda, Ayah kembali menyambung, “soalnya kalau ada apa-apa kasihan Emak kalian. Tuh lihat, Emak lupa pakai jilbab bahkan Emak lupa mengganti baju seragamnya saking paniknya. Hehehe…” Ayahpun terkekeh diikuti anak-anak yang juga baru menyadari penampilan Emak.

Emak terkesiap. Matanya menelusuri sekujur tubuhnya. Astaghfirullah! Emak baru sadar kalau dia hanya memakai daster,seragam wajibnya di rumah dengan rambut yang masih tergelung asal-asalan dengan karet gelang dan yang lebih parahnya lagi tidak berjilbab. Tawa Ayah semakin kuat ketika melihat wajah Emak merona malu.

Keesokan harinya anak-anak tercengang saat melihat kotak mainannya. Semua mainan yang di dalamnya menggunakan batere, dibungkus oleh Emak dengan lakban hitam yang sukar sekali dilepas.

“Yaah, Mak. Jadinya jelek banget nih! Ini kan baterenya besar, hidungnya Emak juga gak masuk,” keluh Kakak saat melihat salah satu bonekanya yang berbunyi dilakban Emak di bagian punggung.

“Masa bodoh, pokoknya semua harus aman. Terima gak terima, ini rumah Emak aturan Emak!” ujar Emak tegas tak mau kalah, sambil ngeloyor ke dapur.

Ayah tertawa geli melihat ketiga anaknya mengeluh menggerutu melihat semua mainan mereka yang bergerak sudah mendapat label lakban hitam. Emak tak peduli meski mobilan Abang jadi sulit bergerak karena bagian bawahnya juga dilakban Emak sedangkan Ade yang tak tampak trauma berjuang keras melepas lakban yang menutupi bagian bawah piano kecilnya dengan kesal.

Buat Emak, cukup satu kali kejadian untuk dipelajari. Apapun itu Emak tak mau kejadian yang menakutkannya itu terjadi lagi. Kepanikan saat anak mengalami anak kecelakaan, adalah hal paling menakutkan buat Emak. Sampai sekarang kalau mengingatnya, bulu kuduk Emak langsung berdiri. Jadi suka tak suka, anak-anak harus menerima tambahan satu peraturan lagi, semua mainan yang berbatere harus dilakban. Emak oh Emak.


*****
Read More

Wednesday 4 April 2012

I Wanna Be Emak - Emak Gak Gaul


Emak gak gaul! Yaah, itu istilah anak-anak di rumah Emak. Pertanyaan atau pernyataan yang terang-terangan mempertanyakan kredibilitas Emak sebagai Ibu mengikuti pergaulan zaman sekarang atau nggak. Jelas Emak gak maulah dikatakan gak gaul.

“Emak nih gak gaul, itu tuh shuffle dance yang gini ni.” Lalu kakak, anak pertama Emak menirukan gaya penari di televisi saat Emak bertanya dia nonton apa. Kepala Emak sibuk mengikuti gerakannya yang terlihat sederhana tapi ketika dicoba… Gak Emak gak bisa!! Bahkan dibantu instruktur kecilnya yang lain, abang dan ade yang baru berusia 3 tahun yang juga sudah pandai menari tarian aneh itu.

“Udah ah! Tarian apa itu? Ga ada seninya!” naaah ujung-ujungnya berkelitlah si Emak seperti itu. Ye, Masa Emak dikalahin anak??

Tapi ketika Emak searching internet, cari-cari di dunia parenting. Mau gak mau Emak harus mengakui. I am the Jadul Emak. Padahal umurnya baru lewat 30 tahun.. ampun deh, teknologi bikin perkembangan segala hal begitu cepat termasuk pendidikan luar sekolah anak. Dan betapa mengagetkan bagi Emak, lesnya sudah ada loh.

Karena PAEnya (Perjanjian Anak & Emak) udah ada kalau kegiatan positif harus didukung. akhirnya Emak ngalah. Nyariin tempat les buat kakak dan abang. Ade? ya jelas nggaklah, masih kecil.

Mulailah Emak nyari tempat les. Apa daya ternyata oh ternyata, tempat les shuffle dance itu ma..hal. Mau ngebiarin mereka berlatih di jalanan (istilah kerennya gratisan) jelas gak mungkin, kan? Wah, itu artinya harus siapkan taktik jitu ala Emak dong! Internet, googling and learning.

Karena anak-anak lagi sibuk ulangan, mereka lupa permintaan mereka untuk sementara. Kesempatan Emak belajar dari internet, lebih detail dan penjelasannya lebih baik ditunjang video-video yang diperlambat. Tapi karena Emak juga sibuk ngurus macam-macam, Emak jadi jarang bisa latihan. Apalagi latihannya sembunyi-sembunyi ketika Abang dan Kakak masih sekolah. Kalau Ade, Emak gak kuatir karena Ade sih hepi-hepi aja melihat Emak tiap hari rajin ngajakin dia menari-nari.

Akhirnya Emak berhasil. Emak berhasil menari-nari dengan mantap di atas lantai tak sampai dua minggu. Waah, Emak bahagia. Ilmu baru dapat, menyenangkan hati anak juga dapat. Assyiik, tinggal menunggu hari minggu biar bisa melatih anak-anak!! Ayah cukup melihat saja (dan bersyukur) karena gak jadi bayarin les mahal-mahal.

Minggu pagi yang cerah, Emak bersemangat empat lima membangunkan anak-anak. “Ayo, children!! Wake up! Lets we fill today with something fun!“

Anak-anak malah menarik selimut. “Aduuh, Mak! Ini minggu, kemarin kami latihan Pramukanya berat. Cape! Tidur sebentaaar aja Mak!” dan mereka kompakan menutup seluruh tubuh mereka dengan selimut-selimut mereka.

“Oooh, tidak bisa! Ayo bangun! Emak mau tunjukin sesuatu! Come on, Babies!

Kalimat ampuh itu ternyata berguna. “Dont call babies, Mak!” pekik keduanya langsung membuka selimut hampir bersamaan. Emak tersenyum. Emak menang sekali lagi. Ayah yang sedang sarapan pagi, mengintip dari balik korannya. Suara keributan pagi itu rupanya menarik perhatiannya juga.

“Emak tunggu kalian di ruang tamu ya! Cepetan, udah gak sabar nih!” Emak begitu bersemangat, membuat si Ade ikut tertular. Dia juga lompat-lompatan di belakang Emak. Mereka duluan berada di ruang tamu yang sudah disulap Emak jadi ruangan kosong karena seluruh isinya dipinggirkan. Emak menyiapkan CD lagu untuk pengiring latihan. Sementara Kakak dan Abang terhuyung-huyung limbung dengan mata masih setengah terpejam berdiri bengong bersandar di dinding.

“Kita mau ngapain sih Mak?” tanya Kakak penasaran. Apalagi melihat Emak sudah mengenakan pakaian training olahraga, ikat kepala karet di kepala dan kaos kaki. Waah, Emak benar-benar siap tempur.

“Nari dong!” jawab Emak bersemangat dan kepalanya mulai bergoyang mengikuti irama lagu shuffle dance yang mulai terdengar. Dengan penuh semangat, Emak mulai memamerkan gerakan shuffle dancenya yang sudah lincah diikuti oleh Ade yang begitu senang melihat si Emak menari.

Tapi wajah Kakak dan Abang bukannya berubah jadi bersemangat. Mereka malah menatap Emak yang sedang menari dengan wajah datar. Hanya Ayah yang tampak terkesima, kagum melihat istrinya menari-nari dengan lincah. Ia bahkan meletakkan koran dan memandangi Emak terus.

“Jadi Emak cuma mau ngasih lihat itu sama kami? Kirain apa. Mending tidur aja lagi deh,” kata Kakak sambil berbalik.

“Kami udah bosen nari shuffle dance, Mak. Sekarang lagi trennya kety perry,” tambah si Abang mengikuti langkah kakaknya masuk kembali ke kamar, dan terdengar kikik tawa geli dari dalam kamar anak-anak. “Susah deh punya Emak gak gaul.”

Hah??? Sebulan aja belom, mereka udah bosan. Nah lo, terus Emak gimana dong? Emak diam, bahunya merosot. Semangatnya juga turun ke titik nol.

Emak gak gaul? yang jelas Emak bingung. Sekarang apa pula kety perry itu? Apakah itu sebangsa roll-on buat keti? atau kapal ferry? Ahh, Emak pernah dengar, tapi di mana ya? Ooh iya, kemarin Kakak nge-like pagenya, jangan-jangan Keti yang itu.

Dan Emak… searching lagi… googling dan … Emak lagi mikir-mikir pantes gak ya Emak jadi Keti Perry?

Ayah tersenyum-senyum melihat istrinya sibuk mengeksplore dunia maya. Meski geli melihat tingkah istrinya, tapi Ayah diam saja. Nanti saja Ayah memberi tahu Emak kalau tak seharusnya Emak sepanik itu dibilang gak gaul oleh anak-anak. Seharusnya Emak tak perlu repot-repot mempelajari semua hal baru hanya agar dibilang gaul. Seharusnya Emak cukup mengetahui dan mengawasi apa yang baik dan sedang tren untuk anak-anak tercinta. Tapi Ayah suka melihat Emak begitu bersemangat seperti sekarang dan Emak yang bersemangat terlihat cantik bagi Ayah. Biarlah, itu semua bisa dijelaskan nanti.


*****
Read More

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena