Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Wednesday 12 December 2012

Ombak (1)

Aku merindukan Emak. Aku juga merindukan Bapak. Aku lebih merindukan Haikal dan Ibrahim. Dan rindu itu tak pernah berhenti sampai hari ini. Rindu yang mengiringi harapan, bahwa mereka hanya sementara pergi dariku, bahwa mereka sedang tersesat dan lupa jalan untuk pulang. Suatu hari, ketika peringatan hari spesial itu tiba, mereka datang padaku dengan rindu yang sama dan berkata. “Laila, kami sangat merindukanmu.”

Mataku mulai berair, lagi. Aku tersenyum. Senang mengetahui airmataku ternyata belum kering meski terkuras begitu banyak selama delapan tahun terakhir ini. Setidaknya airmata ini telah membuktikan bahwa hatiku masih basah. Basah oleh cinta dan rindu, yang tersisa setelah rasa kehilangan yang terlalu tiba-tiba.

Kakiku mulai terasa pegal dan aku berdiri. Menatap ke arah pasir putih di ujung bukit. Jika diperhatikan dengan seksama, lautan pasir itu menutupi sisa-sisa keramik lantai yang kini hampir menjadi puing. Dulu salah satunya adalah lantai rumahku. Dimana kehidupanku dimulai.

Bapakku seorang penjual ikan di pasar. Setiap tengah malam, ia pamit dan berjuang mendapatkan jatah untuk dijual. Emak menyusulnya setelah sholat subuh, membantu Bapak berjualan di pasar hingga matahari hampir melewati kepala. Aku, anak perempuan pertama mereka. Aku lahir tengah malam, saat Bapak sudah pergi ke ujung dermaga. Emak berjuang melahirkanku dibantu dukun beranak yang baik hati mau tinggal beberapa hari menemani Emak sebelum ia melahirkan. Mereka memberikanku nama Laila, keindahan malam. Semua orang bilang aku sangat mirip dengan Bapak.

Usiaku berbanding jauh dengan Haikal, adik laki-lakiku. Ia lahir ketika aku sudah duduk di kelas 6 SD. Wajahnya putih bersih, tidak kecoklatan sepertiku atau Bapak. Dia lebih mirip Emak. Rambutnya pun keriting seperti Emak. Hanya matanya yang serupa denganku. Haikal lucu saat balita. Karena kesibukan Emak, akulah yang lebih banyak merawat Haikal.

Tak sampai dua tahun, Bapak datang membawa pulang seorang bayi laki-laki lain. Tak seperti kelahiran Haikal yang disambut dengan gembira dan penuh sukacita, kedatangan bayi ini justru membuat orangtuaku murung. Bayi itu anak laki-laki adik Bapak yang tewas tertelan oleh lautan yang memberi kami makan dan sang Ibu juga menyusul tak lama kemudian karena tak kuat menanggung derita sendirian. Kali itu, Emaklah yang memberi nama. Ibrahim. Kata Emak, agar suatu hari anak ini menjadi anak yang tabah, tangguh dan teguh seperti Nabi Ibrahim AS.

Meski miskin, meski harus merasakan rumah yang sempit dan harus selalu berbagi. Aku bahagia. Emak dan Bapak yang harus giat bekerja, selalu pulang dengan wajah bahagia. Haikal dan Ibrahim tumbuh bersama, di bawah pengawasanku. Pekerjaan rumah tangga, sedikit demi sedikit menjadi tanggung jawabku. Bahkan akhirnya aku memasak.

Ada janji yang kulontarkan pada Emak.

“Akan kubuat toko kelontong seperti yang ada di kota untuk Emak. Supaya Emak tak berpanas dan berbau lagi saat berdagang. Emak tinggal duduk-duduk mengawasi pembeli yang datang. Lalu bisa menemani adik-adikku lebih sering.”

“Amiin… Semoga Allah mengabulkan niat baikmu ya Nak.”

“Aku akan merantau. Cari uang yang banyak untuk Emak dan Bapak. Kalau uangku sudah banyak, aku janji membuat toko itu nanti.”

Emak hanya tersenyum, hanya tangannya yang mengelus kepalaku dengan penuh kasih sayang. Tak ada kata-kata dari mulutnya, tapi mata yang berbicara kalau ia tak merelakanku pergi jauh darinya.

Tapi Emak tak pernah mencegah. Bahkan ketika hari di mana aku memutuskan untuk pergi. Emak hanya tersenyum, meski aku tahu senyum itu sangat dipaksakan. Emak menghindariku sejak seminggu sebelum aku berlayar meninggalkan Meulaboh, menumpang dengan seorang teman Bapak yang hendak ke Banda. Hanya Bapak yang akhirnya buka suara dengan kebijaksanaannya yang selalu kusegani.

“Emak takut tangisnya akan mengurungkan niatmu. Biarlah. Biar waktu yang mengobati rindu Emakmu nanti. Jagalah dirimu baik-baik, Laila. Jangan menuruti hawa nafsu, berusahalah semampumu tapi biarkan Allah SWT yang menunjukkan hasilnya. Ikuti saja air yang mengalir. Sebelum bekerja, ucapkanlah Bismillahi Tawakaltu Allaahu, Laa Haula Walaa Quaata Illaa Billaahi. Bekerja dan berusaha dengan mengingat Allah, bertawakal saat menjalaninya, lalu pasrahkan semuanya karena tak ada kekuatan yang lebih besar selain Allah.”

“Ya Bapak.”

“Sering-sering menulis surat untuk sekedar menawar rindu Emak dan adik-adikmu.”

“Ya Bapak.”

“Ingatlah Allah selalu, anakku.” Dan Bapak tiba-tiba diam. Ia berpaling ke arah lain, tangannya tampak sibuk menghapus air yang jatuh dari matanya yang hampir tak pernah kulihat basah. Aku tak sanggup menahan sedih. Kalau Bapak sampai menangis, berarti ia benar-benar sedang sedih. Aku juga menangis. Sedih karena harus meninggalkan orang-orang yang kucintai.

Nasehat itu masih terngiang sampai sekarang, Bapak. Nasehat itu ibarat api yang selalu membakar semangatku setiap hari baru tiba ketika aku berada di Jakarta. Berjuang dari bawah, sebagai seorang pembantu rumah tangga. Kemahiranku mengurus rumah tangga ternyata sangat membantu saat itu. Bahkan akhirnya aku bisa mengubah profesiku menjadi Baby Sitter dengan bekerja pada keluarga yang sangat baik. Berkat mengurus Haikal dan Ibrahim, aku bisa memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih layak.

Tiap bulan, aku menyisihkan sebagian besar gaji untuk ditabung. Aku memang tak pernah mengirim ke kampung karena Bapak dan Emak melarangnya. Satu kali aku mengirimnya via pos, tapi tak pernah sampai. Entah siapa yang menerima dan kemana perginya weselpos itu, yang menguap seakan dibawa oleh semilir angin pantai Meulaboh. Lagipula, Emak dan Bapak merasa masih mampu untuk membiayai sekolah adik-adikku.

Kau bisa hidup dengan baik di sana, makan dengan layak dan berpakaian dengan baik sudah cukup bagi kami. Tak usahlah kau berbagi rezeki dengan kami, putriku yang cantik. Simpan untuk masa depanmu. Tenang saja, Emak dan Bapak masih sanggup bekerja. Allah akan mencukupkan kebutuhan kami. Insya Allah.

Itu yang ditulis Bapak ketika aku mengeluhkan soal wesel yang tak pernah sampai. Dan aku memang tak pernah mengirimkan uang lagi. Pikiranku Cuma satu, aku ingin menunaikan janjiku pada Emak. Toko Kelontong dengan ruangan berair-conditioner seperti yang pernah kami lihat ketika nonton televisi bersama dulu.

Sedikit demi sedikit, setelah berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga lainnya, aku masih terus menabung. Kalau lelah datang mendera, kularikan semua itu dengan mengadu pada Sang Kuasa atau menatap kembali beberapa foto Emak, Bapak dan adik-adik yang secara rutin mereka kirimkan padaku.

Beberapa lebaran terlewat tanpa kehadiranku, sampai kemudian aku tak lagi bisa bertahan. Hampir lima tahun berlalu, sebelum akhirnya aku ikut rombongan pemudik pulang melepas kangen pada keluarga. Terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba, Emak sampai memecahkan piring karena tak sabar untuk memelukku. Haikal, kini sudah hampir setinggi pundakku dan ia dengan bangga memamerkan kemampuannya menendang bola yang dulu sering kutertawai. Adikku yang terkecil, Ibrahim yang tak banyak bicara pun ikut ambil bagian menarik perhatianku dengan memperlihatkan sebuah lukisan yang indah di kamarnya. Lukisan bercorak pantai berpasir putih dengan seorang gadis yang menggandeng dua anak kecil. Itu pasti aku dan mereka.

Dulu kami memang banyak menghabiskan sore-sore yang indah di pantai dekat rumah kami. Di sanalah kami berlari-lari, dengan ujung celana basah, saling mencipratkan air asin itu ke wajah. Atau saat ombak sedang bersahabat, kami pun menyusui pantai mencari kerang-kerang besar yang kosong. Seperti dulu saat Bapak mengajarkan tentang musik lautan, akupun mengajari adik-adikku.

Kudekatkan kerang besar kosong itu di telinga mereka, lalu berbisik, “pejamkan matamu, adikku dan dengarkanlah musik lautan.”

Siisssh, sisssh, siiisssh… Desah musik lautan itu membelai telinga kedua adikku. Mata mereka bergerak-gerak mendengarkan dengan seksama. Saat mata itu terbuka, mereka terpukau.

“Itukah musik lautan, Kak?”

Aku mengangguk. Keduanya terperangah.

“Kok bisa? Kenapa…” Aku hanya tersenyum dan membentangkan tanganku lebar-lebar.

Ombak, dialah musik lautan. Kerang itu hanyalah perekam sang ombak. Ombak membawa berita tentang lautan. Tentang air, tentang persahabatannya dengan manusia, tentang kekuasaannya yang semakin luas, tentang makhluk-makhluk penghuninya yang diam namun menjerit karena perilaku manusia, tentang langit yang tercermin dalam kaca-kaca lautan nan bening.

Saat itu mereka tak mengerti. Namun seiring waktu, Bapak pun mengajarkan hal yang sama pada mereka. Bahwa ombak dengan musiknya sedang memberitahu kita apa isi hatinya. Bahwa manusia hanya perlu mendengarkan, melihat dan memahami untuk tahu bahwa ombak sedang berbaik hati atau menyimpan amarah.

Dalam surat-surat Bapak dan Emak, mereka bercerita tentang Ibrahim. Ibrahim-ku, adik kecil yang terlahir dengan jiwa puitis masih sering datang ke pantai untuk memejamkan matanya menikmati angin laut yang menyapu wajahnya dengan tangan terbentang dan membisikkan kata-kata yang tak jelas.

Kusentil pundak Ibrahim dengan pundakku. “Kamu masih melakukannya?”

“Apa? Melakukan apa, Kak?” tanya Ibrahim bingung.

“Bicara dengan laut tentu saja. Masih?”

Ibrahim tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja. Kalau lagi tak sekolah. Aku bilang sama laut, untuk membawa Kakakku kembali karena aku rindu padanya. Rindu mendengarkan musik lautan bersamanya.”

Senyumku lenyap. Batin ini terasa tercekat. Mataku yang tadi sanggup menahan airmata kini mulai terasa panas. Sebentar lagi, sedikit lagi bendungan airmataku bakal jebol. Dan untunglah Emak memahami ekspresi wajahku. Ia menepuk bahu Ibrahim, mengalihkan perhatiannya.

Lebaran itu, aku mengunjungi banyak orang. Entah itu teman-teman masa kecil, teman-teman ketika sekolah, juga keluarga Bapak dan Emak yang rata-rata pencari atau penjual ikan seperti mereka. Aku ingin melepas kerinduanku akan kampung halaman yang membesarkan diriku seperti sekarang.

Tak sekali aku datang memasuki perkampungan para nelayan. Bau amis ikan segar bercampur ikan asin yang sedang dijemur seperti mengembalikan ingatanku akan masa kecilku di kampung itu. Bermain-main di antara bangsal penjualan ikan, lalu bercanda berlarian di antara ikan-ikan asin yang dijemur bersama teman-teman. Semua masih segar dalam ingatanku. Betapa sederhananya kebahagiaanku saat itu, tak pakai sandalpun tak apa, yang penting bisa bermain, menunggu Emak dan Bapak selesai berdagang. Itu pula yang dilakukan Haikal dan Ibrahim kemudian. Bau yang menyengat itu bagai wangi kehidupan yang membuat kami takkan pernah bisa melupakan, bahwa lautan itu adalah sahabat.

Sayang, kemiskinan yang dirasakan banyak orang di kampung nelayan ternyata menyentuh hati terdalam Haikal. Seperti diriku yang ingin mengeluarkan kedua orangtua kami dari kubangan itu, Haikal pun ingin melakukan hal yang sama. Miskin membuat Haikal paham, apa artinya uang.

“Aku mau jadi dokter, Kak!” katanya dengan mantap. Wajah Haikal yang keras karena sering membantu Bapak berdagang tampak serius.

Bapak menunduk, Emak hanya tersenyum. Senyum Emak sangat tipis. Senyum itu bagai mengungkapkan perasaan putus asa yang menaungi harapan Haikal.

“Realistis saja, Kal. Jadi dokter itu biayanya sangat banyak.”

“Aku akan cari beasiswa. Aku juga akan bekerja sambil kuliah. Kalau Kak Laila bisa, aku juga bisa.”

Sorot mata yakin itu membuatku lega. Haikal punya mimpi, sama sepertiku dulu. Banyak orang apatis menerima mimpi itu, tapi Bapak tidak. Sekarang Bapak memang tidak mendukung Haikal seperti dulu mendukung aku, tapi aku percaya pada kekuatan harapan.

Aku berjanji menjemput Haikal kalau dia sudah menyelesaikan ujian terakhir Sekolah Menengah Akhirnya, dengan syarat dia menjadi yang terbaik. Aku tahu itu bukan janji yang sulit. Haikal itu cerdas sejak masih kecil dulu. Aku ingat, Bapak dan Emak pernah diundang menghadiri penghargaan siswa yang lulus terbaik ketika dia lulus dari sekolah menengah pertama. Aku yakin pula, kali ini Haikal juga pasti bisa melalui ujian akhirnya dengan nilai yang memuaskan.

“Janganlah takut, Emak! Aku akan menjaga Haikal baik-baik. Sayang kalau otak yang begitu encer disia-siakan begitu saja. Biarkanlah dia meraih cita-citanya menjadi dokter, Mak. Dulu Emak bisa melepasku, kenapa tidak pada Haikal?”

Emak menghela nafas. Ia tak menyahut. Tangannya tetap sibuk mengumpulkan piring-piring kotor yang baru selesai kami gunakan tadi setelah makan malam.

“Biarkan itu di situ, Mak. Biar aku yang mengerjakan,” bisikku sambil menyentuh bahu perempuan yang rambutnya kini sebagian telah memutih.

Emak tersenyum tipis. Ia menepis tanganku dengan halus. “Dulu, Emak berharap punya anak-anak yang selalu ringan tangan dan mau membantu pekerjaan Emak. Bahkan meski sekedar membereskan tempat tidur saja. Bukan main senang hati Emak melihat kalian benar-benar tumbuh jadi anak-anak yang begitu rajin. Terutama kau, Laila. Sampai kemudian, kau merantau…”

“Emak baru sadar, banyak hal yang telah Emak lewati selama ini. Emak jarang membuatkan kue yang kau suka. Emak jarang memasakkan sayur lodeh yang selalu kau lahap dengan cepat. Emak merasa terlalu banyak hal yang jarang dan mungkin tak pernah Emak lakukan untukmu. Maka sekarang, saat kau di sini, Emak ingin melakukannya untukmu. Emak ingin membereskan tempat tidur untukmu, menyetrika lagi pakaianmu, memasak untukmu bahkan mencuci setiap piring kotor yang kaupakai. Buat Emak, inilah kesempatan Emak untuk mengurusmu, putriku. ”

Emak berbalik. Aku tahu, ia pasti menyembunyikan tangisnya lagi. “Jangan menangis, Mak! Menangislah kalau Emak merasa bahagia, jangan menangis karena Emak merasa susah karena setiap tetes airmata Emak akan menjadi dosa bagiku. Maafkan Laila, Mak,” kataku sambil memeluknya dari belakang.

Perempuan yang kini hanya setinggi bahuku itu mengangguk dan aku bisa merasakan tangisnya yang makin kencang. Sungguh Emak, kaulah ibu terbaik yang kumiliki dan kau telah memberikan segalanya untukku.

“Kalau Haikal ingin kuliah di Jakarta, Emak bukannya tak rela. Emak hanya sadar, Emak juga jarang bersamanya selama ini. Emak tak tahu lagi. Masih adakah umur Emak saat nanti ia kembali?”

“Emak!” Haikal masuk dengan wajah memerah. Matanya tampak berkaca-kaca. “Jangan berkata seperti itu, Mak!” sambungnya.

“Haikaal…” Nada suaraku meninggi mendengar Haikal yang berkata pada Emak dengan intonasi sedikit tinggi.

“Haikal kuliah ini untuk Emak dan Bapak. Haikal ingin jadi dokter untuk Emak. Emak sering bilang obat kampung lebih manjur daripada obat dari dokter, padahal itu karena Emak tak sanggup membayar obatnya kan? Haikal ingin menjadi dokter yang bisa memberikan obat yang murah, Mak. Supaya Emak dan Bapak selalu sehat, lebih banyak waktu untuk bersama Kakak, Haikal dan Ibra. Emak harus menunggu dengan sabar, supaya ilmu Haikal tak sia-sia.”

Emak menoleh. Airmatanya yang hampir mengering, kini kembali menggenang. Tapi sorot mata Emak kini berbeda. Sorot mata bangga.

Di hari kepulanganku, setelah selesai sholat subuh aku berpamitan pada laut. Bersama Ibrahim, aku membentangkan tanganku selebar mungkin dan berbisik. “Selamat tinggal, Lautan! Jadilah sahabat yang baik untuk semua orang yang ada di sini dan tunggulah aku pulang.”

Tak seperti kepergianku sebelumnya, kali ini Bapak yang berat melepasku. Berkali-kali saat mengantarkanku ke terminal bus, dia menghela nafas berat. Tapi, akhirnya aku pergi juga. Dengan perasaan yang jauh berbeda. Kali ini entah mengapa, ada sesuatu yang kosong terasa begitu menyakitkan saat melihat sosok Bapak yang menjauh dari pandangan.

Setahun berlalu. Ternyata rencanaku tak semuanya berjalan lancar. Aku memutuskan untuk membuka usaha di Jakarta. Aku lelah berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga lain, dari satu rumah ke rumah yang lain. Namun ternyata, keputusan itu cukup tepat. Penghasilanku semakin hari semakin meningkat, meski terkadang ada saat-saat yang sepi namun kini aku bisa mengontrak rumah dengan lebih layak. Bapak pun pernah datang sekali ke Jakarta untuk menengok. Saat itulah aku meminta membawa sebagian kecil tabungan untuk memperbaiki rumah kami menjadi rumah dengan lantai keramik dan dinding batu seperti yang diimpikan Haikal selama ini.

Aku mengabarkan pada keluargaku kalau aku akan pulang. Kali ini aku naik pesawat. Tak lagi menyusuri jalanan nan rumit Pulau Sumatera, tapi memakai kendaraan cepat. Kuceritakan dengan bangga pada orangtuaku melalui surat. Dalam surat juga kusebutkan kalau sekarang aku bisa membelikan mereka telepon genggam. Suatu hari nanti takkan perlu lagi kami berkirim surat.

Dan aku melupakan sang Ombak…

Bersambung....
Read More

Friday 16 November 2012

Chika Yang Hebat

Undangan berwarna-warni yang dicetak sendiri oleh putriku bertebaran di atas meja belajarnya. Dengan riang sambil mendendangkan lagu One Direction terbaru, ia menuliskan nama-nama teman-temannya yang akan ia undang. Pesta ulang tahunnya yang ke sebelas akan diselenggarakan akhir minggu ini dan ia mengundang beberapa teman perempuannya ke rumah. 
Read More

Saturday 1 September 2012

Kisah Lelaki Tua


Seorang lelaki tua berkisah,

Dulu bagai seekor garuda, aku terbang menjelajah dunia, menatap tajam mencari mangsa, memburu setiap anjangsana, menelusuri sudut desa dan kota, meninggalkan jejak di bukit landai dan gunung yang terjal...

Dulu seperti sebuah kapal besar, aku berlayar menerobos badai, menembus gulungan ombak, menegakkan tiang-tiang agar tetah kokok menghadapi tantangan yang datang...

Dulu bagai beringin, aku tumbuh menjadi batang yang kokoh, tegak berdiri meski angin menusuk menggoyahkan, meski daun-daunku terkoyak, aku tetap kuat tak bergerak. Utuh menunggu dengan congkak...

Read More

Monday 27 August 2012

Gelas Rezeki


Aku sengaja mengajak istriku duduk di kursi tunggu klinik anak karena ingin melepas kangen kami yang belum juga dikaruniai seorang anak. Istriku paling suka duduk di sudut ruang tunggu itu, dengan begitu ia bisa bebas memperhatikan sekelompok anak yang meskipun sakit tetap bersemangat bermain di tempat permainan kecil yang disediakan pihak rumah sakit.
Hari ini tak seperti biasanya, kami datang bukanlah untuk memeriksakan kesehatan atau karena kami ada yang sedang sakit. Hari ini aku mengajak istriku ke dokter kandungan, aku ingin sekali memastikan bahwa kami masih memiliki harapan untuk mendapatkan seorang anak. Kalaupun tidak mungkin, aku ingin tahu siapa di antara kami yang membuat impian itu terhambat. Apakah aku atau istriku yang kurang subur?
Read More

Tuesday 31 July 2012

Kisah Ramadhan - Fitnah Itu Membunuhku


Kisah tentang Fitnah


Mendapatkan pekerjaan di perusahaan swasta besar yang memiliki cabang hampir di seluruh Indonesia, memang membanggakan. Tapi resikonya adalah kita harus siap dipindahkan ke manapun apalagi kalau masih menjadi karyawan baru.

Saya mendapatkan pekerjaan tersebut dan ditempatkan di posisi keuangan. Pekerjaan tersebut membawa saya berkeliling di beberapa daerah di Indonesia, bahkan menemukan jodoh saya di belantara Kalimantan.


Pada prakteknya, di semua perusahaan sama saja. Ada tikus-tikus kotor yang berusaha mengambil kesempatan mengeruk keuntungan dari perusahaan. Inilah kesalahan terbesar saya saat itu, meskipun tahu aksi para tikus-tikus kotor itu, saya membiarkan semua itu terjadi karena tak ingin bermasalah dengan orang-orang kuat di belakang aksi tersebut. Saya memilih diam karena tahu kalau terbongkar, maka aksi ‘kejahatan terselubung’ itu akan menghancurkan hampir keseluruhan karyawan di departemen saya. Walaupun begitu, saya memilih untuk tidak menjadi bagian dari pekerjaan kotor itu dan tetap istiqomah dengan apa yang saya tuju, membina keluarga sakinah ma waddah warohmah bersama istri tercinta. Saya bahkan tak pernah menceritakan apapun pada istri, orang yang paling dekat pada saya saat itu.

Ternyata kebisuan saya itu menjadi bumerang. Dalam satu bulan, kapal kehidupan saya bagai dihempas di lautan terdalam dan karam. Saya mengalami percobaan pembunuhan dan hampir meninggal. Di tengah kemalangan itu, kami dihantam pula sebuah fitnah keji. Bahwa mantan pacar istri sayalah yang merencanakan semua itu. Padahal saya tahu betul, dua hari bahkan beberapa menit sebelum kejadian itu terjadi, sudah ada beberapa hal yang membuat saya tahu siapa sebenarnya di balik percobaan pembunuhan itu. Sayangnya, saya tak sempat mengumpulkan bukti-bukti dan ancaman itu makin jelas ketika saya melihat justru orang-orang itu berusaha keras mengaburkan fakta-fakta selama saya berada di rumah sakit.


Fitnah itu ‘membunuh’ kami berdua. Karier istri saya hancur dalam sehari, saya dipindahkan kembali ke kantor pusat. Belum lagi akibatnya, karena dugaan itu teman-teman istri saya yang rata-rata laki-laki semuanya diinterogasi oleh pihak kepolisian hingga membuat dia dijauhi teman-temannya. Padahal sebelum menikah, istri saya belum pernah berpacaran dan awalnya kami pun disatukan oleh persahabatan. Itu pula yang akhirnya membuat saya meminta pihak kepolisian menghentikan penyelidikan, karena saya merasa takkan ada gunanya melanjutkan tanpa bukti-bukti dan saya kuatir akhirnya malah membuat keluarga semakin terpuruk dengan fitnah-fitnah yang lebih kejam. Apalagi setelah kejadian yang menimpa saya, karyawan lain juga banyak yang mengalami hal-hal yang hampir mirip dan akhirnya memilih hengkang dari cabang perusahaan tersebut.


Secara tak langsung, fitnah itu juga membunuh karakter saya, mengubah kepribadian saya. Saya sudah merasakan kematian itu sekali, dan saya tak mau suatu hari nanti saat ajal benar-benar menjemput, saya justru berada dalam lingkaran setan. Saya tak mau menyembunyikan fakta penting sendirian, hingga membuat para tikus itu semakin merajalela.


Bertahun-tahun kemudian, saya mulai menyaksikan kejatuhan mereka. Orang-orang yang saya tahu terlibat di balik kejadian yang menimpa saya. Ada yang dipenjara, ada yang dipecat dan bahkan akhirnya duduk di kursi kantor tanpa memiliki jabatan atau fungsi apapun. Tapi entah mengapa tetap saja rasa dendam ini tak bisa hilang dari hati saya. Seseorang menasehati saya bahwa memaafkan orang-orang yang menyakiti kita memang sangat sulit, namun setelah itu insya Allah hati kita akan jauh lebih tenang dan lebih bahagia. Saya tersentuh dengan kata-kata itu, dan berusaha untuk memaafkan orang-orang yang selama ini telah menyakiti saya walaupun mereka tak pernah sekalipun memintanya. Kehadiran anak-anak dan istri serta teman-teman baru akhirnya bisa mengobati rasa sakit itu.


Hikmahnya saya mulai bisa merasakan ketenangan yang selama ini berusaha saya dapatkan. Istri saya juga mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik. Mungkin ini bisa disamakan seperti hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah, karena kami juga melakukannya. Pindah ke kota lain agar bisa menjalani hidup yang baru. Kami memang memulai segalanya dari awal, tapi pelan-pelan kami memulainya dengan meluruskan niat dan menegakkan kebenaran.

Sekarang, setelah bertahun-tahun menghindari departemen yang sama, saya kembali dihadapkan pada posisi yang hampir sama yaitu menyelidiki kebobrokan keuangan. Kali ini dengan niat Lillahi Ta’ala, saya tak lagi merasa takut. Lebih baik mati dengan membela kebenaran, daripada mati konyol karena diam melihat kesalahan. Apalagi saya tahu bahwa iman yang paling lemah adalah saat kita mengetahui sebuah kesalahan tapi hanya menegurnya di dalam hati.


Istri saya hanya tersenyum miris ketika mendengar saya membuat seorang ibu hamil menangis. Saya juga sebenarnya kasihan, tapi ini demi menjaga kelurusan niat saya. Akan lebih baik saya menjaga agar ibu tersebut memelihara dirinya dari uang atau makanan yang haram agar anaknya lahir dengan darah yang benar-benar ‘suci’. Ketika saya selesai mengatakannya, istri saya berkata. “Ternyata memang benar kenapa fitnah itu disebut lebih kejam dari membunuh ya, sayang. Karena suamiku yang lama sudah mati bersama ketakutan dan kekuatirannya, suamiku yang sekarang adalah suami yang berani menegakkan kebenaran. Entah aku harus berterima kasih atau tidak, tapi yang jelas aku merasakan kebenaran Allah sekali lagi.”

Ya, fitnah itu memang lebih kejam dari pembunuhan.

Ingin berbagi pengalaman hidup yang bisa menginspirasi orang lain? Kirim email ke kisah.ramadhan@yahoo.co.id.
Read More

Friday 27 July 2012

I Wanna Be Emak - Sholat

Emak pengen banget sholat bareng bersama anak-anak dan Ayah. Selama ini sejak Ade lahir, Emak selalu sholat bergantian dengan Ayah atau Kakak dan Abangnya karena mereka tak punya pembantu untuk menjaga Ade.

Tentu saja Ayah senang mendengar niat Emak. Ayah juga kangen mengimami Emak, mengaji bersamanya dan lalu memberi tausyiah buat anak-anak beserta Emak. Ayah langsung mengangguk setuju dan Ayah sangat bersedia membantu Emak.
Read More

Kisah Ramadhan - Ikhlas

Kisah tentang Ikhlas, ikhlas dalam menghadapi ujian dunia, baik ujian susah maupun senang.

Dulu seperti kebanyakan orang, saya juga memiliki tujuan hidup. Tentu saja meraih keberhasilan dunia dengan paling tidak memiliki jabatan dan menjadi kaya karenanya. Tujuan yang sebenarnya cukup beralasan mengingat masa kecil saya yang selalu hidup dalam kesulitan ekonomi. Saya ingin menjadi kaya, agar orang-orang yang saya cintai akan mendapatkan kemudahan dalam melakukan apapun yang mereka inginkan, tidak seperti saya yang untuk sekedar hidup saja harus berjuang setengah mati.
Pepatah yang mengatakan bahwa hidup itu bagai sebuah roda, kadang di atas dan kadang di bawah itu ternyata benar terjadi pada saya. Dalam kehidupan, saya mengalami banyak perubahan. Terkadang memang perubahan itu baik untuk saya tapi terkadang kehidupan itu membawa saya pada perubahan yang buruk.
Suatu kali saya pernah merasakan kenikmatan dunia yang disebut harta. Harta berlimpah, apapun bisa saya beli saat itu. Saya merasakan betapa seluruh dunia ada di genggaman saya. Anehnya, saya sama sekali tidak merasa bahagia seperti dugaan saya. Yang terjadi justru sebaliknya. Keluarga saya yang selama ini memang saya utamakan akhirnya malah berubah jadi pemalas. Mereka hanya ingin meminta dan terus meminta pada saya. Adik-adik saya tak ada satupun yang bekerja atau berusaha, semuanya sepenuhnya menggantungkan hidup pada saya. Sampai lelah saya menasehati bahkan pernah saya memutuskan untuk tidak memberi uang lagi, mereka malah berhutang ke rentenir yang akhirnya terpaksa saya lunasi juga. Saya juga hampir tak punya waktu untuk menikmati kekayaan itu, karena hampir sepanjang hari waktu saya dihabiskan untuk mengejar ’harta’ itu. Bahkan ketika malam telah larut, kadang-kadang saya masih di kantor untuk menyelesaikan pekerjaan.
Saya jauh dari istri dan anak-anak saya. Ketika mereka mengajak untuk sekedar menghabiskan waktu bersama, saya selalu menganggapnya sebagai pemborosan waktu. Saya selalu menunda-nunda semua yang seharusnya bisa saya nikmati.
Sampai kemudian, kejenuhan melanda. Saya mulai lelah dan bosan menghadapi rutinitas pekerjaan kantor yang padat. Belum lagi jenuh itu meledak, timbullah hal lain. Saya jatuh sakit, jantung mengalami gangguan. Selama beberapa bulan, saya terpaksa beristirahat total dan berhenti bekerja. Kami sekeluarga berada pada titik terbawah dalam putaran roda kehidupan. 
Adik-adik yang selama ini menggantungkan seluruh hidupnya pada saya, marah dan mulai menjauhi. Satu persatu adik-adik saya mendapat masalah tapi kali ini saya hanya bisa melihat saja. Istri saya yang selama ini hanyalah ibu rumah tangga biasa, terpaksa turun tangan dengan berdagang serabutan. Apapun dia lakukan agar empat anak kami bisa tetap bersekolah.
Antara rasa malu karena hidup ditopang oleh istri, marah karena keluarga saya tak mau membantu dan akhirnya bermuaralah kemarahan itu pada Allah SWT yang merampas segalanya dari saya.
Untunglah, kesabaran istri menghadapi semua penderitaan itu membuat saya lebih kuat. Setiap hari, dengan sabar ia mengajak saya sholat dan bersujud pada Allah SWT. Awalnya karena saya malu pada anak-anak yang begitu rajin sholat dan mengaji. Lalu tanpa saya sadar, setiap hari saya juga duduk ikut mendengarkan anak dan istri yang mengaji setelah sholat. Terkadang istri saya menjelaskan satu dua ayat pada anak-anak dan saya ikut mendengarkan.
Dalam masa-masa sulit itu, saya akhirnya menyadari satu hal setelah sering mendengar istri menjelaskan satu dua ayat pada anak-anak. Hidup di dunia bukanlah untuk mengejar kebahagiaan sejati. Kunci kehidupan adalah keikhlasan. Hidup di dunia berarti hidup dengan ujian, ujian kesenangan dunia atau ujian kesusahan dunia. Apapun yang kita jalani kunci tetap sama yaitu ikhlas. Harus tetap tawaddu saat senang dan sabar ketika susah. Kalau kita bisa memberikan keikhlasan untuk semua ujian yang kita dapat, insya Allah kita akan tahu artinya bahagia.
Sampai di situ, saya berhenti marah. Saya berusaha memaknai keikhlasan itu dengan kembali berpikir untuk melakukan sesuatu yang paling sederhana untuk keluarga. Mereka mungkin tak memerlukan saya bekerja dan mencari uang untuk mereka lagi, tapi mereka membutuhkan kehadiran saya sebagai kekuatan batin.
Dengan mencoba ikhlas, saya membantu pekerjaan istri di rumah ketika ia sibuk berjualan. Ketika adik-adik saya tak mau berkunjung, saya datang ke rumah mereka untuk melihat keadaan mereka dan mulai berbicara. Awalnya memang berat, tapi saya terus berusaha sabar. Ternyata pelan-pelan apa yang saya lakukan, terlihat hasilnya. Istri jadi lebih tenang saat bekerja dan perlahan ia mulai memperlihatkan keberhasilan dalam usahanya. Adik-adik juga akhirnya mau mendengarkan nasehat saya, dan mulai mencari pekerjaan. Entah karena kasihan, atau karena akhirnya ikut tersentuh karena kata-kata saya yang tak jarang membuat mereka berurai airmata penyesalan.
Kini, kehidupan saya hampir kembali normal. Usaha istri saya sekarang sudah cukup berhasil dan sebagian digunakan untuk membuka usaha saya yang baru. Usaha yang memungkinkan saya untuk tidak terlalu bekerja keras karena jantung saya masih sangat bermasalah hingga kini. Sementara adik-adik saya sudah berpencar untuk bekerja dan sebagian telah menikah.
Saya mendapat jawaban dari kesimpulan apa yang saya dapat dari mencoba agar ikhlas ketika mendapatkan ujian. Ketenangan. Sesuatu yang tak pernah saya dapatkan sebelumnya. Ketenangan lahir dan batin.

Kebahagiaan yang ingin saya rasakan ternyata asalnya bukan dari harta atau barang yang saya miliki, tapi justru berasal dari orang-orang di sekitar saya. Saya bahagia karena senyum istri saya ketika melihat saya melakukan sesuatu untuknya, saya bahagia ketika melihat anak-anak tertawa karena saya hadir untuk mereka dan saya bahagia ketika melihat orang-orang di sekeliling saya berterima kasih karena saya memberi mereka petunjuk dan bantuan berdasarkan pengalaman saya di masa lalu, berbagi keberhasilan yang dulu pernah saya raih. Itulah bahagia yang sesungguhnya selama ini saya cari.

Ingin berbagi pengalaman hidup yang bisa menginspirasi orang lain? Kirim email ke kisah.ramadhan@yahoo.co.id.


Read More

Wednesday 25 July 2012

Kisah Ramadhan - Hikmah Mengaji


Kisah tentang makna di balik perintah mengaji
"Jen, udah ngaji beluuum?"
"Jangan lupa, selesai sholat ngaji dulu. Jen."
"Hapalanmu sudah sampai mana? Kok gak maju-maju sih?"
Read More

Monday 23 July 2012

Kisah Ramadhan - Tunggu Saya di Pintu Surga!


Seandainya saja bunuh diri itu halal, saya pasti lakukan dulu sebelum jenazah putra saya satu-satunya dan istri dikuburkan. Untuk apa lagi saya hidup ketika seluruh keluarga saya yang selama ini menjadi penghibur hati dan harapan saya telah pergi meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Ketika saya bertanya pada Pak Haji yang membesarkan hati waktu itu, ia hanya diam saja. Saat histeris dan berteriak-teriak marah pada diri sendiri yang tak bisa mencegah musibah itu, tetap saja tak seorangpun berkata apa tujuan hidup saya berikutnya selain kata-kata membujuk untuk sabar. Sabar? Untuk apa?

Saya seorang suami, menikahi wanita Aceh yang baik hati. Ia tak terlalu cantik, tapi orangnya sangat baik dan benar-benar polos. Saat menikahinya, gadis Aceh itu masih sangat muda. Umurnya saja baru 17 tahun dan baru tamat SMU. Saya memboyongnya ke Jakarta setelah berhenti bekerja di Aceh. Sayangnya saat bencana tsunami melanda Meulaboh, seluruh keluarga istri saya menghilang tanpa jejak. Waktu saya dan istri berhasil mencapai kota itu beberapa minggu setelah bencana, tak ada yang tersisa selain lantai keramik rumah yang juga terkelupas sebagian. Istri saya sempat shock hebat. Tapi akhirnya kami bisa melewati masa-masa itu dengan saling menguatkan.

Lama sekali kami baru dikaruniai seorang anak, karena istri saya memiliki kista endometrium. Kami sempat berobat di dokter, tapi harus dioperasi. Istri saya tidak berani menjalani operasi, lalu kami pun pindah ke pengobatan alternatif. Setelah menjalani pengobatan lebih dari setahun, barulah istri hamil. Tepatnya lima tahun setelah menikah, istri saya melahirkan seorang anak laki-laki. Saya bangga bukan main karena anak itu terlahir dengan ukuran tubuh hampir 4 kg. Hebatnya lagi, istri saya melahirkan normal.

Pekerjaan saya yang baru juga sekarang benar-benar mengangkat ekonomi keluarga kami. Saya bisa membeli rumah dan mobil di tahun yang sama setelah Raihan lahir. Kebanggaan saya makin lengkap ketika Raihan terpilih sebagai pemenang lomba bayi sehat.

Dua tahun berlalu, Raihan tumbuh jadi anak yang aktif. Dia sudah pandai bicara, hanya bisa tidur kalau saya yang menidurkannya. Makanya saya pun membeli rumah dekat kantor, agar tiap siang bisa pulang sebentar untuk mengurus Raihan. Kata orang-orang, Raihan mirip sekali dengan Bapaknya. Setali tiga uang dalam segala hal. Raihan memang manja sekali sama saya. Kalau hanya bersama Ibunya, dia biasa-biasa saja tapi begitu saya datang, maka penyakit manjanya langsung kambuh. Maunya digendong saja. Saat itu Raihan suka sekali kalau digelitiki, tertawanya bisa kedengaran sampai ke seluruh kompleks. Saya sering membawanya digendong di pundak sambil berkeliling kompleks dan menyapa para tetangga. Semua orang bilang, duh cakepnya Raihan ini. Raihan memang mewarisi mata Ibunya dan rambut ikal saya yang tebal. Kulitnya putih dan badannya tak terlalu gemuk.

Saya pikir hidup saya sudah sangat sempurna. Istri yang manis, anak yang ganteng dan tambah lengkap lagi ketika istri saya memberitahu kalau ia sudah terlambat haid dua bulan. Waktu itu saya berniat mengajaknya ke dokter untuk periksa. Saya berharap, kali ini dia melahirkan anak perempuan agar melengkapi kebahagiaan saya. Tapi karena di kantor lagi sibuk, saya memintanya pergi sendiri dengan taksi.
Istri saya bilang saat itu, dia maunya saya yang mengantar. Karena itu saya pun mengalah dan berjanji nanti akhir minggu itu kami ke dokter.

Siapa sangka itulah awal malapetaka. Saat tidak ada orang di rumah, istri dan anak saya mengalami musibah. Saya tak bisa dihubungi karena saat itu berada dalam pesawat. Saya melakukan perjalanan dinas ke Nusa Tenggara Barat. Ketika sampai, saya hanya dikabari kalau istri dalam keadaan koma di rumah sakit. Detik itu juga saya memburu tiket untuk pulang ke Jakarta. Di bandara, saya menghubungi handphone istri. Tapi yang menjawab Bapak saya yang meminta saya pulang ke rumah. Padahal saya mau langsung ke rumah sakit melihat istri. Bapak hanya meminta saya pulang dulu anak saya di rumah yang katanya memerlukan saya.

Sampai di rumah, lemas lutut saya ketika melihat bendera kuning kecil sudah berkibar di pagar rumah saya. Ketika itu saya mengira hanyalah istri yang pergi meninggalkan saya untuk selamanya. Tapi ternyata ketika masuk, dua jenazah berjajar menanti kepulangan saya. Saya bingung, jenazah siapa ini?

Bapak mencegah saya melihat kedua jenazah, tapi saya terus memaksa. Dan ketika melihat jenazah anak saya juga terbaring di samping jenazah istri saya, rasanya hati saya hancur bukan main menyaksikan dua orang yang paling saya sayangi sudah tiada. Bapak pun menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya, kalau Istri saya mengalami pendarahan hebat, lalu ia meminta tolong tetangga kami untuk dibawa ke rumah sakit. Karena terburu-buru, mereka melewati lintasan kereta api tanpa mendengar sinyal kereta mau lewat. Dan ketiganya tewas di tempat, tertabrak kereta.

Saya marah sekali. Menyesali diri sendiri karena tak bisa mencegah musibah terberat dalam hidup saya. Minggu-minggu pertama itu, saya seperti orang gila dan terus berteriak-teriak marah. Bapak dan Ibu berkali-kali menyuruh saya untuk sholat. Tapi saya malah marah pada mereka dan menyalahkan mereka karena tak mau menemani istri saya saat saya tinggal keluar kota. Ibu dan Bapak sampai menangis mendengar kata-kata saya.

Setelah empat puluh hari lewat, Bapak tetap tak mengizinkan saya hidup sendirian di rumah. Dia masih tinggal bersama ibu. Bedanya ibu di kamarnya yang biasa kalau menginap di rumah saya, sementara saya dan Bapak selalu tidur di kamar tempat Raihan biasa bermain. Saya memang tidur melingkar terus di kasur tipis tempat Raihan biasa bergulingan sendiri. Beberapa kali timbul keinginan untuk mati menyusul mereka. Tapi  Bapak terus mendampingi saya. Dia sholat di samping saya, berzikir kalau sedang duduk menemani bahkan sesekali dia mencoba berbicara dengan saya. Tapi pikiran saya benar-benar kosong melompong, hati dan jiwa saya seperti ikut mati bersama keluarga saya.

Suatu subuh, saya terbangun dan sayup-sayup mendengar Bapak berzikir di dekat saya yang lagi tidur. Saya mendengar Bapak juga berdoa lama sekali, entah apa isi doanya tapi Bapak sampai terisak-isak menangis. Saya juga ikut meneteskan airmata dan baru menyadari kalau Raihan juga adalah cucu satu-satunya Bapak. Saya memang punya tiga orang adik, tapi baru saya yang sudah menikah dan punya anak.

Saya duduk dan menyentuh bahu Bapak. Bapak menoleh, tapi berusaha keras tersenyum. “Sholat, nak. Doakan anak dan istrimu, ya!”

Saat itulah, saya seperti disadarkan dari kesedihan. Saya pun bangkit dan untuk pertama kalinya setelah musibah saya sholat kembali. Saya menangis ketika berdoa, menyesal dan memohon ampun.

Bapak duduk di samping saya menunggu saya selesai sholat. Ketika selesai, Bapak dan saya duduk berdampingan seperti saya masih kecil dulu. Pelan-pelan Bapak menasehati saya.

“Kehilangan anak dan istrimu memang musibah besar dalam hidupmu, Nak. Tapi terus menerus menangisi mereka, itu perbuatan yang sia-sia. Di dunia ini kita hanya bersentuhan dengan dua hal, perbuatan baik atau perbuatan buruk. Itu saja. Karena Allah lebih mencintai anak dan istrimu, agar mereka berdua tak berbuat buruk dan berdosa lebih banyak itu sebabnya Allah mengambil dan menjaga mereka berdua. Ini juga sebagai ujian untukmu dan untuk kita sekeluarga. Apakah kita bisa bersama-sama keluar dari ujian kesabaran ini dan menjadi semakin beriman, atau malah jatuh menjadi hambaNya yang berputus asa?”

“Kalau mau jujur, Bang. Andaikata Bapak ini bisa menangis darah, maka darahlah yang keluar dari mata ini, Nak. Bapak juga sakit di dalam hati sini karena Bapak juga sayang pada menantu Bapak yang soleha dan anakmu yang gagah itu. Tapi seluruh kebahagiaan dunia itu fana. Kebahagiaan sesungguhnya nanti di surga, anakku.  Almarhumah istri dan anakmu sudah menantimu di pintu surga. Maukah kau bertahan tetap hidup di dunia dan menjalani hidup yang lebih baik agar nanti bisa bertemu mereka lagi? Dengan mendekatkan diri pada Illahi, insya Allah kau juga bisa melewati ujian ini dengan mudah. Jangan sia-siakan penantian mereka di sana dengan membuat dirimu terjerumus dosa, Bang.”

Saya menangis, kali ini bukan karena kehilangan tapi menyesali perbuatan saya selama ditinggalkan orang-orang tercinta. Saya bukannya mendekatkan diri dengan mereka, tapi malah semakin menjauhi mereka. Mereka menanti saya di pintu surga, saya malah berjalan menuju neraka. Saya pun berjanji pada Bapak untuk berubah. Dan sekarang sudah berbulan-bulan berlalu dari hari yang malang itu, saya masih belum bisa melupakan kenangan indah keluarga saya itu, hanya sekarang saya terus berupaya tetap berada di jalan yang lurus, jalan di mana kelak berujung dengan surga tempat kedua orang yang saya cintai menunggu.

Tunggu saya di pintu surga, sayangku dan kebanggaanku! Nanti kita berjalan bersama menuju kebahagiaan sejati itu.

*****
Read More

Sunday 22 July 2012

Kisah Ramadhan - Mama & Sepotong Roti


Kisah tentang ketulusan hati

Sepuluh tahun yang lalu, di awal Ramadhan. Ketika semua orang bersiap menyambut kedatangan bulan penuh berkah. Saya juga sedang bersiap menyambut kedatangan ‘berkah’ yang sudah lama dinanti-nantikan seluruh keluarga. Empat tahun telah berlalu sebelum berkah itu menghampiri kami. Bahkan jatuh bangun, mencoba segalanya hanya agar senyum ceria seorang anak bisa menghiasi rumah tangga kami yang sunyi.

Dan saya masih ingat dengan jelas malam-malam yang terasa panjang setelah dokter mengumumkan jadwal operasi. Jadwal itu tepat dua hari sebelum Ramadhan tiba. Kami tak lagi bisa mundur karena kehamilan saya saat itu sudah lewat dua minggu dari tanggal kelahiran sseharusnya.

Ramadhan itu, saya menjadi Ibu, namun baru memahami arti ketulusan itu bertahun-tahun kemudian. Ketulusan dari seorang Ibu.

Hari itu, ketika semua orang bersiap-siap menyambut bulan puasa. Saya, Mama dan suami sibuk mengurus administrasi untuk operasi. Saya tegang sekali karena baru pertama kali dioperasi. Mama dengan setia, tak pernah sedikitpun, sama sekali meninggalkan saya yang manja. Sedikit saja Mama beranjak, saya langsung merengek ketakutan. Saya takut, this is my last time to see her.

Saya, sibuk memikirkan diri sendiri. What will happen to me? Dan sama sekali tak memikirkan Ramadhan. Ah boro-boro memikirkan Ramadhan, memikirkan suami dan Mama yang sudah berpuasa sejak jauh-jauh hari sebelum Ramadhan pun tidak. Mereka berpuasa dan berbuka seadanya, bahkan terkadang hanya segelas teh saja yang sekedar menyinggahi tenggorokan mereka berdua. Suami menjalani puasa senin kamis sejak satu tahun sebelum saya hamil, dan makin efektif ketika menjelang saya melahirkan. Saya tak tahu, saat itu suami dan Mama berpuasa untuk keselamatan saya.

Saya benar-benar sadar dari pengaruh obat bius, satu hari menjelang Ramadhan. Rasa sakit plus manja membuat Mama tak bisa bergerak ke mana-mana. Karena saya dan suami baru pertama kali memiliki anak, maka kebingungan pun melanda kami. Saya panik dan takut saat pertama kali menyusui, suami bingung mencari keperluan bayi dengan aneka benda-benda yang baru pertama kali dilihatnya. Mama menjadi orang satu-satunya yang bersikap rasional saat itu, tetap tenang dan mengajari kami berdua dengan sabar. Sampai-sampai kami melupakan persiapan sahur malam pertama Ramadhan itu.

Sebelum tidur, saya kelaparan (mungkin pengaruh berpuasa sebelum operasi dan menyusui). Tak ada makanan yang ada di situ kecuali sebongkah roti. Mama memberi saya roti itu dan saya melahapnya, tanpa bercerita kalau roti itu adalah satu-satunya makanan tersisa untuknya pada saat sahur nanti. Ia bahkan meminta saya menghabiskannya, dan saya bersyukur saat itu saya menolak ketika roti tinggal separuh. Setelah makan, saya tertidur lelap bahkan ketika Mama sahur sendirian dengan sepotong roti sisa saya itu. Tak ada warung atau restoran buka pukul 3 pagi di rumah sakit itu, bahkan air panas untuk menyeduh teh pun tidak tersedia. Mama dengan kesabarannya, memilih tetap berpuasa meskipun dari sore ia belum melahap apa-apa selain setengah potong roti itu.

Esok paginya, awal Ramadhan. Lagi-lagi Mama memperlihatkan ketulusan yang takkan pernah saya lupakan. Tanpa peduli ia sedang berpuasa, Mama melayani semua kebutuhan saya yang tidak berpuasa. Mama menyediakan makan dan minum saya tepat waktu. Mama juga tetap membantu saya mengurus bayi saya, meski suami datang untuk menggantikannya menjaga saya. Tetap saja Mama tidak mau meninggalkan saya. Mama tahu, saya masih sangat muda saat itu dan manjanya bukan main. Dengan sabar, Mama terus mendampingi dan mengurus saya. Tak pernah sekalipun saya mendengar Mama mengeluh. Selama setengah Ramadhan, Mama masih mendampingi saya. Mengantar saya ke rumah sakit, bangun tengah malam mengurus bayi menggantikan saya yang kelelahan bahkan ketika harus pulang karena saya merasa sudah bisa mengurus anak, Mama begitu berat meninggalkan kami.

Berbulan-bulan kemudian, saya baru tahu cerita itu dari Papa. Mereka mengenangnya sebagai sebuah pengalaman biasa saja. Tapi tidak untuk saya.

Setiap Ramadhan, saya teringat pengalaman Mama. Mama yang tetap menjaga saya, Mama yang tetap berpuasa dan Mama yang tetap menyimpan kesulitannya tanpa sedikitpun mengeluh. Saya akhirnya memahami, ketika apa yang kita lakukan itu adalah kebaikan dan tidak dihargai, Allah sedang mengajari kita arti ketulusan. Dan saya melihat ketulusan itu pada Mama. Pelajaran yang ingin saya ajarkan pada anak-anak.

Jika suami mengajarkan anak-anak tentang ketulusan para Nabi, maka saya memberi contoh ketulusan Mama pada anak-anak. Orang yang juga sangat dekat dengan cucu-cucunya. Anak-anak mungkin tidak tahu, tanpa sadar pengalaman Mama dan sepotong rotinya juga membuat saya belajar banyak. Ketulusan Mama sebagai seorang Ibu, takkan bisa diukur kedalamannya. Ketulusan Mama sebagai seorang muslimah, takkan bisa diukur berapa besarnya karena Mama melakukannya bersamaan tanpa peduli deritanya sendiri.

Saya baru memahami betapa berbedanya kalau tanpa Mama saat melahirkan anak kedua. Lebaran hari kedua, satu bulan lebih cepat dari rencana. Saat itulah saya merasa sendirian, walaupun suami juga tak pernah meninggalkan saya. Satu-satunya yang menjadi kekuatan saya saat itu adalah ketulusan yang pernah Mama tunjukkan. Ketulusan untuk berjuang meskipun tak seorangpun bahkan anak yang saya lahirkan tahu seberapa banyak yang harus saya lakukan. Pikiran dan tenaga saya semua hanya untuk memperjuangkan kelahiran anak kedua agar lahir dengan selamat.

Dan ketika saya bercerita tentang ini sekali lagi. Mama pasti tertawa saja. “Ya itulah kodrat seorang perempuan, Nak. Jadi Ibu, harus tulus mengurus putra putrinya, sebagai umat dia juga harus tulus beribadah pada Tuhannya dan sebagai seorang istri dia harus tulus mengurus suaminya.”

Saya ingin menjawab. Tidak semua perempuan seperti itu Ma, tidak semuanya. Kalau Mama tak mengajari saya, saya takkan pernah belajar untuk tulus menjadi seorang Ibu, tulus menjadi hamba Allah dan tulus menjadi seorang istri.

Ramadhan, adalah bulan dimana kita belajar arti ketulusan. Ayah yang tetap bekerja meski sedang berpuasa karena tulus mencari rezeki untuk keluarganya, Ibu yang tetap memasak meski hidangan dengan wangi menggoda karena tulus menghidangkan masakan terbaik untuk keluarga, dan anak-anak yang berpuasa karena belajar ketulusan melihat kedua orangtua dan orang-orang dewasa di sekitar mereka.

Ingin berbagi pengalaman hidup yang bisa menginspirasi orang lain? Kirim email ke kisah.ramadhan@yahoo.co.id.
Read More

Wednesday 13 June 2012

Menghitung Nikmat

“Habis ini apalagi yah?” itu pertanyaan saya setengah kelelahan setelah serangkaian pemeriksaan yang harus saya lewati. Saya benar-benar kehabisan tenaga karena menunggu berjam-jam, disuntik berkali-kali karena perawat sulit menemukan aliran yang tepat hingga berbagai peralatan yang diujikan di tubuh saya untuk memastikan saya siap menjalani operasi. Jangan tanya berapa lebam di kedua tangan akibat suntikan berkali-kali itu, karena saya sendiri sudah kebal oleh rasa sakitnya.

Saya lelah, karena kesekian kalinya Allah menurunkan penyakit lagi untuk saya. Ya Allah…. belum cukupkah perubahanku? Belum mampukah Kau memaafkan kesalahan-kesalahanku di masa lalu? Dan akhirnya muncul pertanyaan itu… Habis ini apalagi yang harus saya lewati? Berapa banyak lagi operasi yang harus saya jalani? Berapa banyak ujian lagi yang harus saya tempuh?

Sampai di malam setelah operasi saya selesai. Seorang Ibu, dirawat di kamar yang sama dengan saya. Ibu Rohani namanya. Seorang Ibu yang tak lagi muda, tapi begitu gigih berjuang. Ia mengalami pecah ketuban di usia kehamilan yang baru memasuki bulan ke-enam. Karena infeksi yang sudah menjalar, maka satu-satunya jalan adalah melahirkan si jabang bayi. Ibu itupun diinduksi. Di saat bersamaan saya baru mendapatkan kesadaran penuh setelah dioperasi sepanjang pagi hingga siang menjelang.

Rasa sakit, membuat si Ibu mengerang sepanjang malam hingga pagi. Saya benar-benar tak tega mendengarnya hingga lupa rasa sakit di perut sendiri. Erangannya sungguh mengiris hati karena berkali-kali memanggil memohon bantuan sang Ilahi dan tak ada satupun familinya menunggui karena di RS Islam hanya wanita yang diizinkan menunggu. Saya meminta adik yang menunggui untuk menanyakan apa yang harus dilakukan, tapi karena adik berpengalaman diinduksi maka dia bilang lebih baik kami diam saja. Ibu itu memang sesekali diam, dan tertidur ketika rasa sakitnya hilang tapi kemudian saat kembali lagi rintihannya benar-benar membuat saya bahkan menitikkan airmata.

Sepanjang malam, saya seakan diingatkan. Allah memberi saya banyak kenikmatan diantara semua sakit. Setidaknya anak-anak saya terlahir sehat dan sempurna, setidaknya saya tak pernah mengalami sakit seperti itu, setidaknya saya selalu ditemani orang-orang yang mencintai saya, setidaknya saya merasakan nikmat menggendong bayi setelah sakit luar biasa. Sungguh, malam itu semua terasa diputar ulang dan mengingatkan Allah itu benar-benar Maha Pemberi Nikmat dan sayangnya saya lupa menghitungnya, malah menghitung kesulitan yang saya dapatkan.

Pagi hari, ketika keadaan saya jauh lebih baik. Saya memperoleh berita dari keluarga si Ibu, bahwa mereka kehilangan si jabang bayi. Padahal usia si Ibu tak lagi muda, sekitar 42 tahun dan baru pertama kali mengandung. Saya bahkan tak bisa membayangkan jika kehilangan harapan setelah lima bulan memangku mimpi yang indah. Karena membayangkan perasaan sendiri, hari itu saya melarang anak-anak menengok saya lama-lama. Dengan alasan ulangan dan kondisi abang yang kurang sehat, saya meminta anak-anak segera pulang. Saya tak mau mengingatkan si Ibu kalau ia melihat putra-putri dan keponakan saya yang super ribut kalau datang.

Karena kondisi fisik saya juga sempat drop (tensi turun hingga 80/60), saya lebih banyak tidur sepanjang hari minggu setelah operasi. Suami yang menggantikan adik di siang hari juga kelelahan, hingga kami sama-sama tertidur hingga tak menyadari ketika ibu itu masuk setelah selesai persalinan dan telah dikuret.

Malam hari, ketika saya akhirnya… bisa makan dan minum juga duduk bahkan berjalan, saya membuka pelan-pelan tirai pemisah ruang untuk membuat si Ibu tak merasa sendirian. Ibu itu sedang melamun sendirian, dengan berzikir sayup-sayup. Ia tersenyum dan menyapa saya lebih dulu. Dan kata-kata pertamanya. “Maaf ya mba kalau kemarin malam saya sudah mengganggu istirahatnya. Saya benar-benar tidak bisa tidak mengerang karena sakitnya benar-benar… ” dan dia terdiam. Mimiknya sedih sekali.

Saya benar-benar tersentuh. Ya Allah, bukannya menceritakan penderitaan yang baru saja dialaminya, ia malah meminta maaf untuk sesuatu yang harusnya pasti saya pahami.

Kami mulai saling bertukar cerita, bertukar pengalaman, saya juga meminta maaf karena tak tahu harus berbuat apa semalam ketika ia merintih kesakitan. Dan ketika ia mencurahkan isi hatinya, saya lebih banyak terdiam dan merenung. Dia bilang kehilangan bayinya bukanlah penderitaan, itu adalah ladang keimanannya. Allah mungkin tak memberinya kesempatan padanya berladang iman sebagai seorang Ibu, tapi dengan memberinya kesempatan memberi rasa sakit karena melahirkan, meniupkan nyawa pada bayi itu walaupun hanya beberapa menit, sudah memberikan banyak pelajaran betapa luasnya ladang iman yang disediakan Allah untuknya. Dia tersenyum bahagia membayangkan betapa beruntungnya ia nanti karena kelak almarhumah putrinya menjadi bidadari kecil yang menolongnya melewati shirothul mustaqim.

Terus terang saya sedikit manja kalau sedang sakit, tapi melihat kesakitan Ibu itu seakan membuka mata saya bahwa penderitaan saya seakan tak ada apa-apanya dibandingkan kesakitannya. Saya juga berhasil memaksa diri bangun untuk sholat sambil berdiri karena merasa bodoh memanjakan diri untuk sesuatu yang tak ada bandingannya dengan rasa sakit yang sesungguhnya. Rasa sakit karena kehilangan. Di antara rasa sakit, saya justru diberi nikmat yang besar. Saya memiliki keluarga, yang diantara semua kesibukan mereka segera menengok dan bergantian menjaga. Bahkan adik iparpun yang hampir berangkat ke luar negeri untuk bekerja, menyempatkan diri menjenguk saya dulu. Seluruh keluarga yang menyebar berkumpul di ruang rawat saya, halaman facebook penuh dengan ucapan doa dari sahabat dan kawan, dan telepon genggam penuh dengan doa keselamatan agar saya cepat sehat lagi. Saya benar-benar kaya, sangat kaya dibandingkan Ibu yang hanya memiliki satu harapan yang itupun direnggut darinya.

Dan subuh tanggal 11 Juni 2012, saya bersujud, menangis karena bahagia. Berterimakasih karena hanya diberi penyakit. Mungkin ini cara Allah meringankan beban dosa-dosa saya, mungkin inilah ladang iman saya yang sesungguhnya, belajar tentang penderitaan dan tidak melupakan kenikmatan yang selama ini diberikan untuk saya. Seharusnya saya bersyukur, terus bersyukur karena penyakit ini justru membuat saya tahu betapa berartinya hidup saya. Saat menonton DVD operasi saya, saya berkali-kali mengucap syukur karena lahir di zaman canggih hingga bisa memiliki harapan hidup yang lebih tinggi. Saya sekarang adalah saya yang dulu, namun sekali lagi belajar tentang arti hidup lebih baik. Saya ingin terus menghitung nikmat, berbagi nikmat dan berbuat lebih baik.

Kematian adalah rahasia Allah, singkat, cepat atau lambat bukanlah hal penting. Tapi bagaimana membuat agar apa yang kita jalani, adalah berguna untuk orang lain…..



&&&&&&
Read More

Friday 1 June 2012

Aku Sakit Karena Asap Rokokmu!

Aku sakit! Sakit di sekujur tubuhku.

Paru-paru yang sehat, dilahirkan dengan sempurna oleh Bunda tercinta kini hitam legam terbakar. Asma menggerogotiku, flek paru santapan sehari-hariku dan akhirnya kanker paru parah menggigit habis bagian-bagian terpenting dalam paru-paruku.

Hatiku bukan lagi berwarna merah, dia juga terbakar, menghitam bak bara yang hampir padam. Terbakar bukan karena kemarahan dan rasa geram yang tertahan, tapi karena ia telah teracuni oleh karbon monoksida.

Jangan tanyakan bagaimana jantungku, yang semakin lama semakin lemah berdetak. Oksigen yang ia butuhkan tak lagi bisa kuhirup dengan leluasa, karena darahku yang teracuni telah pelan-pelan merusak fungsinya tanpa kusadari.

Ya, aku sakit karena asap rokokmu masuk ke paru-paruku, meracuni sel-sel darahku hingga merusak bagian-bagian penting dalam tubuhku!!!

Aku ingin berteriak pada mereka. Hentikan! Tolong berhentilah merokok! Usiaku baru duapuluhan, usia produktif yang bisa menghasilkan banyak prestasi, dan aku masih punya banyak mimpi yang belum kuwujudkan.

Bagai bayangan yang tak bisa lepas dari tubuhku, asap rokok mengelilingi di sepanjang hidupku. Asap itu mengikuti kemanapun kakiku melangkah. Aku ingin lepas darinya, aku takut berhadapan dengannya, aku alergi mencium baunya tapi itu sia-sia. Keinginanku hanyalah mimpi yang takkan pernah bisa terwujud. Asap rokok itu sepertu hantu!!

Itu teriakan yang ingin kuucapkan pada setiap insan perokok yang pernah berhadapan dengan saya. Aku menjadi perokok pasif, karena hampir di sepanjang usia produktif, aku selalu berhadapan dengan para perokok. Entah itu saat aku berada di jalanan, di gedung kantor, di ruang bawah tanah, di gedung tertinggi, di parkiran, di mall bahkan saat berada di dalam ruangan yang ber air conditioner.

Dulu, seringkali tulisan “DILARANG MEROKOK” justru dijadikan bahan candaan oleh mereka. Seakan tak bisa membaca tulisan berukuran besar itu, mereka tetap saja dengan santai menghembuskan asap mengisi seantero ruang meski air conditionerbersuhu 16 derajat sedang menyala dengan baik.

Di ruang kerja pun sama, semakin stress mereka menghadapi tantangan yang sedang diberikan maka itu berarti aku harus bersiap menjawab stress itu dengan menerima asap rokok mereka. Aku dituntut mengerti atas kondisi mereka yang sedang penuh tekanan, sementara mereka sama sekali tak mengerti kalau asap rokok mereka juga meracuni tubuhku.

Ketika berada di dalam kendaraan umum, meski sudah menunjukkan ketidaknyamananku dengan batuk-batuk kecil, mengibas-ngibaskan tangan, tetap saja si perokok supercuek itu memamerkan asap rokoknya dengan bangga. Malah pernah aku melihat seorang perokok membuat bulatan-bulatan kecil dari asap rokoknya dengan penuh kebanggaan. Ditegur bukannya sadar, mereka malah memarahi aku yang memilih kendaraan umum. “Kalo mau enak, ya naik mobil sendiri dong!” Itu kata mereka.

Di jalanan, aku harus pasrah menerima keadaan. “Ini jalanan, hai perempuan! Udara adalah hak setiap orang,” teriak si perokok tak peduli dengan peringatanku. Udara adalah hak setiap orang, tapi racun dari asap rokokmu bukanlah kewajiban kami untuk mendapatkannya.

Aku bisa mencuci rambut atau bajuku yang berbau asap rokok setiap hari, tanpa bagaimana caraku mencuci racun yang hari demi hari makin bertumpuk di tubuhku? Sebagus-bagusnya aneka obat-obatan, aneka jamu ataupun minuman yang kugunakan “mencuci” racun dalam tubuhku. Cara terbaik adalah tidak mendapatkan asap rokok yang menyebabkan semua itu.

Bagi perokok, asap rokok adalah pengusir kesepian, pereda kedinginan bahkan sebagai pengalih perhatian. Tapi bagiku dia adalah setan perusak kesehatan, penghapus semua impian dan pembunuhku suatu hari nanti.

Aku berusaha keras melindungi rumahku, keluargaku dari asap rokok yang menjengkelkan. Kuminta Papa jangan pernah menyentuh rokok, kumarahi adikku agar tak merokok, kupilih suami yang bukan perokok dan kelak akan kuwasiatkan pada anak-anakku, jangan pernah merokok. Bukan hanya karena aku peduli kesehatan mereka, tapi juga karena aku tak mau mereka kelak menanggung dosa seumur hidup sebab telah membunuh banyak orang tanpa pernah kau sadari.

Siapa yang akan kumintai pertanggungjawaban saat dokter memvonisku dengan komplikasi penyakit? Paru-paruku, jantungku, hatiku dan kini perutku semua rusak karena asap rokok. Aku ingin menjerit dan ingin berteriak marah.

Salahkah permohonanku? Tolong, jauhkan asap rokok itu dariku!!! Jauhkan mesin pembunuh nomor satu itu dariku!

Aku ingin hidup, aku ingin sehat, aku ingin mewujudkan mimpi-mimpiku. Aku punya jutaan alasan untuk tetap bertahan hidup, aku tak perlu rokok untuk membantuku kuat menjalani hidup, aku tak perlu rokok untuk mengalihkan perhatian dari penderitaan, aku tak perlu rokok untuk mengusir kebingunganku. Aku sanggup hadapi semua itu tanpa rokok di tanganku.

Beri aku alasan, kenapa kau tak takut fatwa haram yang mengiringi setiap rokok yang kau isap?

Beri aku alasan, ketika setelah beribadah kau memilih tetap membunuh orang lain dengan menghembuskan asap rokokmu meski itu dosa yang sama?

Beri aku alasan, apa salahku hingga kau membagi asap pembunuh padaku? Beri aku alasan!!! Beri aku lasan!!!

Jangan kau salahkan pabrik rokok karena ia takkan ada tanpa permintaan! Jangan kau salahkan aku yang tak bisa diam di rumah saja! Jangan salahkan pemerintah yang terlalu bodoh memberikan izin! Karena ini semua salahmu, salah setiap orang yang merokok!

Bagaimana kalau aku putrimu? Bagaimana kalau aku istrimu? Bagaimana kalau aku Ibumu? Bagaimana kalau aku saudarimu? Tegakah kamu membunuh keluargamu sendiri? Dengan tanganmu yang melinting rokok, dengan mulutmu yang menghembuskan asap.

Aku sakit karena asap rokokmu!!


*****
Read More

Friday 25 May 2012

Sobekan Kertas


Kisah ini saduran dari sebuah dongeng internasional tentang Bulu Angsa (saya lupa pengarangnya krn menghafalnya di luar kepala sejak 10 thn lalu), saya menggantinya dengan versi Indonesia. Jika ada kesamaan dengan inti cerita, ini dimaksudkan untuk diambil manfaatnya saja.

“Hari ini kita belajar tentang Fitnah,” ucap Ibu Hanifah saat memulai pelajarannya.

“Buka halaman berapa bu?” tanya anak-anak hampir bersamaan.

Ibu Hanifah menggeleng, “Gak perlu, kalian cukup mengeluarkan selembar kertas kosong. Boleh kertas bekas, boleh kertas kosong. Apa saja, masing-masing anak hanya boleh satu lembar. Lalu sobek-sobeklah kertas itu sekecil-kecil mungkin. Siapa yang paling kecil dan paling banyak menghasilkan sobekan kertas, akan mendapat kesempatan pertama melakukan langkah selanjutnya. Tampung hasil sobekan kalian nanti di sini!” Ibu Hanifah memberi kode ketua kelas untuk membagikan puluhan kotak kosong yang tadi dibawanya masuk pada seluruh murid.

“Memangnya langkah selanjutnya apa bu?” tanya Aswan ingin tahu. Pelajaran PPKN dari Ibu Hanifah selalu menarik untuk diikuti dan Aswan sangat suka hal-hal menyenangkan seperti ini. Mana ada kan guru menyuruh menyobek kertas kecil-kecil?

“Mmm… baiklah, dia akan mendapatkan kesempatan pertama menyebarkan sobekan kertas itu nanti,” jawab Ibu Hanifah.

“Hah? Yang benar bu?” Ibu Hanifah mengangguk. Melihat anggukan itu, anak-anak langsung melakukan perintah si Ibu guru dengan cepat. Suara mereka ribut saat mulai menyobek-nyobek kertas, memamerkan pada temannya dan saat melihat temannya jauh lebih banyak, mereka kembali menyobek kertas-kertas itu hingga hampir menjadi seperti butiran.

“Ckckck! Kalian memang hebat kalau diajak main ya? Coba kalau belajar juga seperti itu juga.” Ibu Hanifah tertawa kecil saat melihat betapa bersemangatnya para murid diajak seperti itu.

“Ini juga kan lagi belajar, bu,” jawab Siti Farida sambil tertawa geli. Ibu Hanifah hanya tersenyum-senyum.

“Oke, sekarang siapa yang paling banyak? Ayo maju satu persatu biar Ibu periksa! Nanti setelah itu jadikan satu dalam tas plastik itu ya!”

“Baik, Bu!”

Satu persatu semuanya maju. Dan seperti perkiraan Bu Hanifah, Aswanlah pemenangnya. Aswan girang sekali. Dia tak pernah juara kelas, tapi soal beginian dia paling suka.

“Oke, sobekannya sudah kita kumpulkan semua. Aswan, kamu bawa tas plastik ke lapangan ya. Dan anak-anak yang lain, kita ke lapangan bola dulu.”

“Eh, jangan-jangan mau ditebar di lapangan bola nih?” celetuk Kasih saat rombongan itu berjalan beramai-ramai.

“Masak boleh sih? Entar siapa yang mau bersihin?”

“Memangnya apa hubungannya dengan fitnah ya?”

Meski ikut mendengar celetukan anak-anak didiknya, Ibu Hanifah tak berkomentar apapun. Ia tetap meneruskan langkahnya dengan yakin. Begitu tiba di tepi lapangan bola yang berangin, Ibu Hanifah meminta anak-anak berjejer rapi. Aswan dipanggil ke sisi Ibu Hanifah.

“Sekarang, ambil sebanyak yang kamu, Wan. Genggamlah, lalu tiuplah sesukamu!”

Mata Aswan membulat. “Benar nih, Bu?” Ibu Hanifah mengangguk.

Tangan Aswan membuka tas plastik dengan cepat, mengambil segenggam besar sobekan kertas sementara teman-temannya yang lain memintanya menyisakan untuk mereka. Dengan penuh semangat ia meniup sekencang mungkin sobekan kertas itu, dibantu oleh angin dengan cepat sobekan kertas itu menyebar ke mana-mana.

Kepala Sekolah dan Guru Olahraga ikut menyaksikan dari kejauhan. Melihat kejadian itu. Pak Hasim si Guru Olahraga berang. “Eeeh, apa-apaan mereka itu?” Ia hendak beranjak menuju lapangan ketika tangannya ditarik oleh Kepala Sekolah.

“Biarkan saja, Pak Hasim. Tadi Bu Hani sudah minta izin sama saya. Dia janji akan membereskannya. Kita lihat saja.”

Aswan puas saat memandang hasil sobekan yang menyebar cukup banyak. Ibu Hanifah menatap ke arah anak-anak yang lain dan satu persatu mereka melakukan hal yang sama seperti Aswan walaupun tak sebanyak yang Aswan sebar.

Setelah sobekan kertas habis, anak-anak saling tertawa lepas. Mereka senang melihat hasil “permainan” mereka yang menyenangkan.

“Nah, sekarang! Tugas kalian yang terakhir adalah… ” Ibu Hanifah tersenyum manis. Anak-anak diam mendengarkan. “Kumpulkan lagi semua sobekan kertas yang kalian tebar, dimulai dari yang paling pertama menebarnya!”

“Apa??” Anak-anak berteriak kaget.

“Kata Ibu, tadi boleh. Kok sekarang harus mengumpulkan sih?” tanya Aswan merengut kesal.

“Memangnya tadi Ibu bilang habis menebarkan kertas itu maka tugasnya selesai?” Anak-anak menggeleng. Mereka melotot pada Aswan, si tertuduh yang paling banyak menyobek kertas.

“Bu, pakai sapu boleh ya bu?” rayu Aswan. Ibu Hanifah menggeleng. Wajah kecewa terlihat di wajah murid-murid yang lain.

Meskipun bersungut-sungut anak-anak memungut sobekan kertas itu, beberapa dari mereka mengomel pada Aswan. Beberapa kali Aswan disalahkan teman-temannya karena sobekan kertas Aswanlah yang paling kecil hingga sulit untuk diambil, Maka setiap kali mereka menemukannya, Aswan pun dipanggil untuk memungutnya. Tak heran dia nampak kelelahan sebelum selesai melakukannya.

“Sudah cukup!” kata Bu Hanifah. Lapangan belum bersih benar, tapi karena melihat anak-anak sudah lelah maka Ibu Hanifah menyudahi tugasnya.

“Fitnah itu seperti sobekan kertas-kertas yang kalian tebar itu. Ia begitu ringan dan mudah sekali tertiup, dihembuskan oleh sedikit angin maka dengan cepat ia akan menyebar ke mana-mana.” Ibu Hanifah menunduk, mengambil satu sobekan kertas yang berada di dekatnya. “Kadang-kadang karena terlalu kecil dan hanya karena nafsu, fitnah tak lagi jelas apa bentuknya. Contohnya sobekan ini, apa kalian tahu ini sobekan ini tadinya apa jika tadi tak melihat bentuknya dari awal? Tidak. Karena yang kalian lihat hanyalah potongan kecil dari sebuah kertas. Entah apa kertas ini sebelumnya ada tulisannya atau masih kosong? Tak ada yang tahu.”

Anak-anak terdiam mendengarkan.

“Sekarang, saat kalian harus mengumpulkan kembali sebaran kertas itu. Tidak mudah, bukan? Padahal ini tak seberapa dibandingkan fitnah atau gosip bohong yang terlanjur menyebar. Jika mengumpulkan kertas masih bisa dilakukan, memperbaiki fitnah itu benar-benar sangat sulit. Jadi kalian bisa memetik pelajaran hari ini?”

“Bisa!!” teriak anak-anak bersamaan.

“Apa itu? Coba Aswan kamu jawab, pelajaran apa yang kamu dapat hari ini?” tanya Ibu Hanifah sambil tersenyum menggoda. Sejak tadi wajah muridnya yang paling keras kepala itu sudah cemberut terus.

“Mmm… Nanya dulu sampai selesai sebelum mengerjakan tugas bu Hani!” jawab Aswan seenaknya yang disambut gelak tawa teman-temannya. Ibu Hanifah juga tertawa.

“Iya bu, kami paham. Membuat fitnah itu segampang menyobek kertas, lalu gosip atau fitnah itu mudah sekali dihembuskan atau ditiupkan, tapi kalau sudah tersebar maka akan sulit diperbaiki lagi,” jawab Farida setelah mereka berhenti tertawa, memperbaiki jawaban Aswan yang asal-asalan.

“Ya, bagus. Itu kesimpulan pelajaran yang ingin Ibu berikan buat kalian. Semoga kalian tetap mempertahankan kesimpulan ini benar-benar sampai kapanpun dan paling penting benar-benar mempraktekkannya. Sekarang kalian boleh mengambil sapu dan bersihkanlah sisa sobekan kertas ini sampai bersih. Pelajaran selesai setelah kalian menyelesaikannya, setelah itu kalian boleh istirahat!”

Pekik riang anak-anak pecah seketika, termasuk Aswan yang dari tadi masih terlihat kesal. Sementara dari kejauhan, tatapan kagum terpancar dari sepasang mata milik Kepala Sekolah dan Pak Hasim yang menyaksikannya dari kejauhan sedari tadi. Ibu Hanifah memang unik, seringkali memberi pelajaran dengan cara yang aneh tapi apa yang diajarkannya benar-benar mengena dalam hati.


*****





Read More

Saturday 19 May 2012

Lelaki Untuk Perempuan Berhati Mulia

Gadis itu kembali tersenyum padaku, malu-malu dan memberikan selembar kertas. “Tolong ditandatangani, dok!” pintanya. Aku membalas senyuman dan mengambil kertas itu, menandatanganinya sebelum mengembalikan padanya lagi.

“Ibu bagaimana?” tanyaku. “Bisa makan? Bisa istirahat?” sambungku lagi.

Wajahnya yang tadi memerah malu-malu, berubah drastis. Senyum lenyap berganti dengan kemurungan. Ia menggeleng pelan. “Ibu susah makan, dok. Setiap kali saya suapin ibu selalu muntah.”

Hatiku iba melihat wajah murungnya itu. “Tenang ya, jangan sedih. Jangan menyerah! Tetap semangati Ibu supaya terus berjuang. Nanti saya minta suster untuk membantu memberi makanan yang lembut dulu, supaya pencernaan Ibu tidak kaget. Nana yang sabar ya.”

Gadis itu mengangguk. “Terima kasih dok, untuk tandatangannya. Dan untuk nasehatnya. Selamat siang dokter! Saya ke Ibu dulu.”

Aku mengangguk, mengawasi kepergian gadis itu keluar dari ruang praktekku.

Mariana, putri seorang Ibu yang sedang kurawat. Kami biasanya memanggil dia Nana. Gadis itu baru berusia 18 tahun, baru lulus SMU. Putri satu-satunya Ibu Eliana, pasien rujukan dari sebuah RS di Bandung. Ibunya adalah pasien miskin yang mendapat bantuan dana dari sebuah yayasan Kanker. Saat dirujuk, Ibu Eliana diduga terkena Kanker Payudara.

Sayang, Ibu Eliana sudah berada di grade 3 saat dibawa ke rumah sakit ini. Kami sudah mengoperasinya dua kali, tapi Allah menentukan lain. Kanker itu sudah menyebar ke seluruh tubuh Ibu Eliana, semakin mengecilkan peluang hidupnya. Satu-satunya yang membuatnya tetap hidup hingga hari ini, adalah semangat hidup yang tinggi. Semangat hidup yang ia dapatkan dari Nana, putri Ibu Eliana satu-satunya.

Aku sendiri punya Mama. Tapi belum tentu kalau Mamaku berada dalam posisi yang sama, aku akan bisa melakukan hal yang sama. 

Nana, gadis itu begitu menyayangi Ibunya. Saking sayangnya, ia tak pernah lepas seharipun dari sisi Ibunya. Menyuapinya, mengelap tubuhnya, membantu memakaikan baju, memijat bahunya yang pegal, membantu saat akan buang air besar, saat buang air kecil. Bahkan pernah beberapa suster menyaksikan sendiri, Nana menampung muntahan Ibunya dengan tangan sambil menangis terisak. Tak ada rasa jijik selain kesedihan yang begitu dalam. 

Sesekali ada saat Ibu Eliana tak tahan menerima pengobatan kemoterapi yang melelahkan dan menyakitkan. Namun meski sang Ibu membentaknya, memarahinya bahkan terkadang meneriakinya, dengan penuh kesabaran, Nana melayani Ibunya tanpa suara. 

Tadinya aku tak pernah memperhatikannya dan menganggapnya sebagai salah satu keluarga pasienku saja. Sama seperti ratusan keluarga pasienku yang lain. Sampai suatu ketika, ia datang ke rumahku. Aku kaget bukan main melihat kedatangannya, sungguh hal tak biasa ketika seorang keluarga pasien mendatangiku.

Ternyata, ia datang bukan untuk meminta belas kasihanku. Bukan untuk meminta dana seperti dugaan orangtuaku yang juga sama kagetnya denganku. Justru sebaliknya, ia ingin belajar. Belajar tentang Kanker, bagaimana merawatnya setelah operasi, saat kemoterapi, bagaimana mengurus pasiennya, apa yang boleh, apa yang tidak boleh, sampai obat-obat yang harus diberikan. Aku terkesima melihat kesungguhan hati gadis muda itu.

Aku bersedia membantu. Biasanya aku malas melayani keluarga pasien yang ngotot seperti itu, tapi Papa yang memang aktif di berbagai yayasan sosial itu memaksaku menerima permintaan itu. Apalagi waktu Mama ikut mendengar ceritaku soal Ibu Nana dan profil gadis itu. Mama langsung “crying in the rain” mendengar kisah gadis muda itu. Keduanya bahu membahu meyakinkan kalau aku harus membantu gadis itu.

Awalnya Nana datang ke rumahku setiap dua hari sekali. Tapi kemudian karena Ibunya mulai semakin parah, aku memintanya “belajar” di rumah sakit saja. Lalu berhenti sama sekali ketika aku merasa ia sudah cukup bisa memahami apa yang harus dilakukan untuk membantu kesembuhan Ibunya.

Hubunganku akrab dengan Nana, tak ada seorangpun di rumah sakit yang tahu. Semua mengira kedatangan Nana sekedar meminta tandatangan atau mengurus keperluan Ibunya untuk Kemoterapi dan meminta resep obat. Nana pun tak pernah menceritakannya pada siapapun. Ia terlalu sibuk mengurus Ibunya.

***

Kakiku berhenti melangkah masuk ke kamar tempat Ibu Eliana dirawat. Suara-suara di dalam kamar itu membuatku tertarik untuk berhenti sejenak, mendengarkan.

"Kamu yakin, Na?" suara lirih itu seperti suara Ibu Eliana.

"Yakin, bu. Nana dan dokter Ramadhan tidak ada apa-apa kok. Dokter Ramadhan hanya membantu Nana, dia mengajarkan Nana cara merawat ibu. Itu saja, tidak lebih." Suara yang kuyakini berasal dari Nana itu menjawab dengan lugas. Hatiku ciut mendengar jawabannya yang berlawanan dengan keinginanku.

"Terus kalau ibu tidak ada siapa yang bakal jagain kamu, Na?"

Diam sejenak kemudian sebelum terdengar suara lembut Nana sekali lagi. "Ibu, Nana akan selalu bersama Ibu. Walaupun Ibu dan Nana nanti terpisah, pasti Ibu akan menjaga Nana kan?"

"Tentu saja, Na. Ibu pasti akan menjagamu walaupun sudah tak ada lagi di dunia ini. Tapi terus terang sama Ibu, benar kamu tidak punya perasaan suka sama dokter Ramadhan?"

Tawa kecil Nana terdengar. Aku mulai memasang telinga baik-baik. Ini penting bagiku.

"Untuk Nana, dokter Adhan itu terlalu sempurna. Nana ini siapa, Nana sadar banget kalau Nana tidak sesuai dengan dokter. Nana takut, Bu. Biarlah perasaan ini Nana simpan saja baik-baik. Suatu hari nanti pasti ada lelaki yang baik yang akan menjaga Nana. Ibu jangan kuatir, Insya Allah Nana akan menemukan lelaki itu."

"Jadi kamu suka sama dokter?"

Telingaku makin mendekat ke pintu. Please, Na. Jawablah. 

"Suka? Tidak bu." Bahuku langsung merosot. Kecewa. "Bukan suka, Bu. Tapi Nana mencintai dokter Adhan. Suka dan cinta itu beda. Kalau suka berarti sekedar menyukai salah satu dari penampilannya, kalau cinta, ya cinta saja karena kita tak bisa menyebutkan apa yang menyebabkannya."

Dan aku hampir melompat mendengarnya. Yes, yes, yes! Tanganku teracung, berkali-kali mengucapkan syukur. Alhamdulillah ya Allah.

"Dokter Ramadhan?" sapaan itu menyadarkanku bahwa dua suster yang mendampingiku telah datang dan tatapan heran mereka cukup membuatku kembali berpijak ke bumi.

Kami masuk ke ruang Ibu Eliana. Kali ini yang makin membuatku yakin adalah Nana kelihatan terkejut melihat kehadiranku dan ia sama sekali tak berani menatapku. Hanya Ibu Eliana tersenyum padaku. 

***

Aku menatap notes kecil di tanganku. Pesan dari salah satu suster yang berjaga sore, yang mengatakan kalau Ibu Eliana ingin bicara padaku. Sementara di atas mejaku, tergeletak laporan evaluasi terakhir mengenai perkembangan penyakit Ibu Eliana yang semakin buruk. Tak tega rasanya sekali lagi melihat pasienku harus berhadapan dengan maut, apalagi untuk pasien yang memiliki anak seperti Nana. 

Aku berjalan menuju kamar Ibu Eliana. Apapun harus kuhadapi meski Ibu Eliana nanti menanyakan keadaannya.

"Dokter?" Nana mendongak heran melihat kedatanganku di luar jadwal biasa.

"Katanya Ibu mau bertemu saya," jawabku sambil tersenyum. Wajah Nana terlihat lebih pucat, lebih berantakan dan di bawah kelopak matanya ada bayangan hitam.

Tangan Ibu Eliana terangkat memanggilku. Aku mendekat. Suaranya sangat lemah hingga aku tak bisa mendengarnya. Aku mendekatkan telinga ke mulut Ibu Eliana yang bergetar.

"Ja..ga..Na...Na," bisiknya terbata-bata. Nana berlari keluar. Entah kenapa. Aku mengangguk mengerti dan wajah Ibu Eliana kelihatan tenang. Dia tersenyum sebelum memejamkan mata.

Sambil menghembuskan nafas lega, aku memeriksa keadaan Ibu Eliana. Rupanya ia tertidur lagi. 

"Ibu bilang apa dok?" tanya Nana ketika aku melangkah keluar dari kamar.

Aku menoleh. Gadis itu tampak kusut dan sisa-sisa airmata masih menggenang di kelopak mata Nana. "Hanya meminta saya untuk menjaga Nana. Nana, kamu memang kelihatan kurang sehat. Jangan lupa meminum vitaminmu agar kamu bisa tetap sehat ya."

Nana hanya mengangguk lemah. "Kira-kira berapa lama lagi, dok?" tanyanya dengan nada putus asa.

"Hei, kamu tidak boleh bilang begitu. Hanya Allah yang tahu umur seseorang," sergahku. Tanpa sadar aku merangkulnya dan anehnya ia membiarkan. "Jagalah ibumu sekarang, lakukan yang membuatnya bahagia. Ayo tersenyum!" Aku menunggu senyumnya, dengan susah payah akhirnya Nana tersenyum.

***

Sampai suatu malam...

“Dan, Ramadhan! Ada telepon dari rumah sakit, Nak!” suara Mama membangunkan aku.

“Aah, Adhan capek bu, Baru juga tidur, tanyain ada apa,” keluhku






“Pasienmu koma, Eliana namanya.” jawab Mama cepat.






Mataku langsung terbuka lebar, kantukku lenyap tak bersisa. Kuraih telepon itu dan bertanya. Suara suster menjawab pertanyaan dengan singkat dan jelas. Aku langsung mengenakan pakaian yang kudapat paling pertama dari dalam lemari, meninggalkan Mama yang sibuk memunguti pakaianku.






Ibu Eliana sekarat. Ya Allah, jangan dia... tolong jangan dia. Doaku berkali-kali sepanjang perjalanan menuju rumah sakit.






Tapi aku terlambat. Saat tiba di rumah sakit, Nana sudah menangis meraung di sisi Ibunya yang sudah terbujur kaku. Tangisnya terdengar memilukan memecah kebisuan malam di lorong rumah sakit. Wajahnya yang bersimbah airmata seakan menyiratkan kehilangan yang begitu besar.






Aku ingin sekali memeluknya, aku ingin sekali membujuknya. Tapi Nana tak memandangku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa gagal menjadi dokter. Aku gagal menyelamatkan pasien yang teramat penting bagi putrinya.






***






“Selamat siang, dokter!” sapaan akrab itu mengagetkanku. Nana, tersenyum di ambang pintu mengenakan pakaian yang rapi. 






“Nana? Hei, Selamat siang! Ayo duduk!” jawabku, sambil berdiri menyambutnya. Dua perawat yang sedang membantuku membereskan dokumen rekam medik para pasienku tampak kaget. Aku tak peduli. Toh, Nana sudah lama tak muncul di rumah sakit ini.






Nana menyalamiku lalu duduk dan aku pun duduk. Kami duduk berhadapan. Ia tampak berbeda dari biasanya. Dulu ia selalu memakai baju kaus tangan panjang dan rok sepan panjang berwarna gelap. Kerudungnya pun kerudung praktis yang tinggal pakai, sementara kali ini ia mengenakan long dress warna putih dihiasi bunga dengan kerudung kain panjang berwarna senada. Ia lebih manis dan dewasa mengenakan pakaian seperti itu.






“Apa kabar, Na? Sudah lama tidak ketemu. Mm... Tiga bulanan ya?” tanyaku tersenyum.


Nana tertawa kecil. “Iya, dok. Kurang lebih segitu. Saya baru seminggu lalu menyelenggarakan 100 hari meninggalnya Ibu.”






“Saya minta maaf ya Na, saya gagal menyelamatkan Ibumu. Saya.. “






“Ah, dokter. Dokter sudah melakukan semua yang terbaik buat Ibu. Kenapa sekarang merasa bersalah? Justru saya yang belum sempat berterima kasih,” kata Nana. Senyumnya mengembang di bibirnya yang kini terpoles lipstick warna salem.






Aku menghembuskan napas. Sedikit sesak setelah mendengar kalimat penghargaan itu. Entah kenapa aku merasa tak pantas mendapatkannya.






“Dok, saya datang ke sini ingin bertanya. Kira-kira dokter bisa bantu saya tidak?” tanya Nana lembut.






“Apa itu, Na?”






“Saya ingin mengabdikan hidup saya untuk membantu semua ibu yang ada di sini. Saya ingin meringankan beban Ibu saya yang dulu pernah menggugurkan kandungannya dan akhirnya tak bisa punya keturunan. Saya beruntung mendapatkan Ibu angkat sebaik beliau hingga memberi kesempatan pada saya menjadi anak yang berbakti. Bolehkah dokter mencarikan saya pekerjaan apa saja agar saya bisa bekerja di sekitar rumah sakit? Jadi pembantu rumah tangga atau apa sajalah, asalkan saya diperbolehkan membantu Ibu-Ibu yang sedang dirawat disini. Paling tidak mengobati kerinduan saya terhadap Ibu. Apalagi sekarang saya tidak punya siapa-siapa lagi, dok.”






Aku terdiam, terpana mendengar permintaan Nana. Anak angkat? Jadi Nana anak angkat Ibu Eliana? Aku tak bisa berkata-kata. Seorang anak angkat yang bersedia mengurus ibu angkatnya begitu setia. Nana benar-benar di luar dugaanku.






“Dok, dokter?” suara Nana membuyarkan lamunanku. 






Aku berdiri. “Ayo ikut saya!” ajakku.






“Ke mana?”






“Loh, tadi kamu bilang mau pekerjaan kan?”






Nana mengangguk cepat. Aku segera meraih kunci mobil, berpamitan pada dua suster yang tadi ikut menguping pembicaraan kami dan menggiring Nana keluar. Nana tampak kebingungan, tapi ia tak bertanya-tanya lagi.






Sesampainya di depan rumahku, Nana melongok. “Ini kan rumah pak dokter. Kita ngapain di sini?”






“Ayo masuk saja! Nanti kau juga tahu,’ ajakku sambil keluar dari dalam mobil.






Mama menyambut kedatangan Nana dengan gembira. Ia memeluk gadis itu dan aku tetap berdiri di belakang Nana. Aku ingin menyiapkan diriku sendiri sebelum memberitahu pekerjaan yang akan kuberikan untuk Nana. Tapi aku perlu Papa untuk hadir menyaksikannya.






Papa keluar tak lama kemudian. Sama seperti Mama, ia menyambut Nana dengan ramah. Lalu bertanya, “tumben Na, kamu datang berdua Ramadhan. Ada apa ini?”






“Nana datang ke sini mencari pekerjaan, Om, Tante. Dokter bilang ingin memberi saya pekerjaan,” kata Nana polos. Mama dan Papa menatapku, “Pekerjaan? Pekerjaan apa, Dhan?”






Aku menarik napas, menghembuskannya perlahan dan berusaha tenang meskipun tiga pasang mata menatapku penuh tanda tanya. “Saya ingin memberi Nana pekerjaan sebagai istri saya, Pa, Ma. Boleh kan?”


Ketiganya terdiam. Nana terbelalak. Mata indahnya melotot tak percaya. Tapi Papa dan Mama malah tersenyum lebar dengan mata berkaca-kaca.






“Nana, anakku!” bisik Mama dengan air mata meleleh di pipinya. Papa memelukku, penuh rasa syukur mengucap Alhamdulillah berulang kali.






Allah pasti tahu, Nana gadis yang tepat untukku. Untuk perempuan yang mengabdikan hidupnya untuk seorang Ibu, Untuk perempuan yang menghargai arti seorang Ibu, untuk perempuan yang menyayangi Ibu melebihi dirinya sendiri. Dan aku ingin menjadi lelaki beruntung untuk perempuan berhati mulia itu.
Read More

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena