Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Wednesday 28 December 2011

Cinta Pertama yang Tak Pernah Pudar


Dia cinta pertamaku

Wisnu Pratama, pria berjas putih, sedang berdiri di hadapanku, tampak menggairahkan dengan sikapnya yang santai. Senyumnya lebar dan mengundang, matanya yang kecoklatan bersinar ramah. Rambutnya yang berwarna hitam, sedikit acak-acakan seolah hanya disisir dengan jari tangannya, tapi ia tetap seksi. Ia memakai celana coklat dan kemeja polo biru di balik jas putihnya, tak mampu menyamarkan badannya yang tegap dan berotot. Penampilan rapinya sekarang semakin mematangkan ketampanan Wisnu.


Suaranya berat, tetapi ucapannya lembut dan mendayu-dayu. Ada perhatian yang menghangatkan ketika sepasang mata Wisnu menatap dirinya. Rasanya tubuh yang lemah ini semakin tak berdaya melihatnya.

Walaupun Sophia berusaha menekan perasaannya, seketika gejolak hasrat masa lalu kembali menguasai dirinya. Persetan! Apa sih yang dimiliki pria ini sehingga mampu mengembalikan semua kenangan itu, kembali membuat darahnya mengalir lebih cepat, membuat kepalanya semakin terasa berputar-putar seperti ini?

“Sophi? Ini kamu kan?” suara tanya itu sekali lagi terdengar. Sophia mengerjapkan matanya, tersadar kalau dia masih berdiri di sisi tempat tidur menunggu jawabannya.

Tersenyum, tersenyumlah Sophia. Dan seulas senyum tergambar di bibir Sophia, ia mengangguk lemah. Untunglah kepala pusing ini bisa menyembunyikan perasaaan, ketertarikan secara fisik pada pria yang bernama Wisnu.

“Trombositmu terlalu rendah untuk bisa pulang, Soph. Kau harus dirawat di sini dulu, adakah orang yang bisa kami hubungi?” pertanyaan itu kembali muncul. Sophia berusaha membuka matanya, mengalihkan pandangan ke arah tas yang tergeletak di atas kepalanya. Seorang suster mengerti maksudnya, ia membantu Sophia mengambilnya. Sementara terlihat Wisnu berdiri di sisi suster itu.

“Sus, tolong… telepon… Mama saya… saja. Di handphone… saya… tertulis… Mama,” bisik Sophia lemah. Ia kembali memejamkan mata, satu-satunya cara mengurangi sakit di kepalanya dan menyembunyikan perasaannya.

Dia ada di sini untuk merawatmu, Soph. Bukan untuk bermimpi lagi. Kamu sakit, dan hatimu sedang lemah seperti dirimu saat ini. Lupakan, kebetulan saja dia dokter di sini. Kebetulan saja tadi kamu pingsan di kantor dan harus dibawa kemari. Dia hanya mantan teman dari masa lalu, bukan siapa-siapa juga bukan pangeran yang pernah kau impikan menjadi kekasih hatimu selamanya.

“Istirahatlah, Soph. Kami akan merawatmu. Kami akan menghubungi Mamamu,” suara lembut Wisnu kembali membelai hati… tidak, dia benar-benar sedang membelaiku. Tangannya menggenggam jemari Sophia, terasa dingin menyejukkan kulit tubuhnya yang sedang panas. Sophia menghela nafas, merasa tenang dan tertidur bersama mimpinya yang kembali. Mimpi yang dulu menemaninya lama sekali dalam setiap tidurnya, menyalakan keinginan yang tersimpan dalam sudut hati yang paling dalam. Cinta pertama yang tak pernah pudar.

***

Dia gadis pertama yang menguasai hatiku

Sophia Arabella, gadis yang sedang terbaring di salah satu tempat tidur Ruang Unit Gawat Darurat itu adalah sahabatnya di masa lalu. Wajahnya masih secantik dulu walaupun kini terlihat pucat dan lebih tirus. Dia memang terlihat lebih kurus. Namun sepasang mata bening hitam besar itu masih seperti dulu, polos dan selalu menyembunyikan kesedihan. Suaranya lemah, mungkin karena sakitnya. Wisnu harus mengulang beberapa kali setiap kali berbicara. Gadis itu terlalu sakit untuk menyadari kegugupan yang melanda Wisnu sejak tadi suster menyodorkan rekam medik darurat Sophia.

Tanpa sadar, tangan Wisnu menggenggam jemari Sophia yang terasa panas. Maafkan aku, Sophia. Seharusnya aku lebih memikirkan bagaimana bersikap seperti layaknya dokter yang sedang merawatmu. Bukannya malah berkhayal yang tidak-tidak seperti tadi.

“Keluarga nona Sophia sudah dihubungi, Dok. Mereka akan segera datang,” ucap seorang perawat sambil memasukkan kembali handphone milik Sophia ke dalam tasnya. “Dari pihak kantor juga masih ada di sini. Dokter mau bicara sama mereka?”

Wisnu mengangguk, ia melepaskan jemari Sophia. Melangkah keluar, mencari-cari dua teman kerja Sophia yang tadi mengantarkannya. Seorang pria berambut ikal, berkacamata minus, tinggi besar dan berwajah tampan. Yang lain, seorang perempuan yang mengenakan jilbab warna pink, bertubuh sedikit lebih gemuk, sama tingginya dengan Sophia dan wajahnya bulat telur bersih. Keduanya langsung berdiri dari tempat duduk mereka saat melihat kedatangan Wisnu.
“Kemungkinan besar Sophia terkena Demam Berdarah dan dia harus dirawat di sini. Tadi kami sudah menghubungi keluarganya… mmm Ibunya. Jadi mohon dibantu proses administrasi kamarnya, supaya kami bisa segera memindahkannya ke ruang perawatan,” kat Wisnu. Kedua teman kerja Sophia mengangguk-angguk. Lalu Wisnu pamit kembali ke ruang UGD.

Wisnu melintasi tempat tidur Sophia saat kembali ke ruang kerjanya. Tapi kepalanya seakan tak mampu menghapus godaan untuk berpaling menatap Sophia. Dan ia melakukannya, sekali lagi ia tak bisa mengelak, Sophia dan khayalan manisnya kembali memenuhi hati Wisnu. Sekian kali, cinta itu kembali menyala di sudut hati Wisnu. Cinta pertama yang tak pernah pudar.

***

Sophia selalu tertidur, bukan karena ia memang tidur tapi karena Sophia memilih cara itu sebagai cara menghindari kedatangan Wisnu yang rajin mengecek perkembangannya setiap hari. Sophia sadar ia terlalu takut untuk membuka matanya, ia terlalu takut matanya tak mampu menyembunyikan gejolak hatinya. Sophia takut bibirnya tak mampu bertahan, ia takut bibirnya tak mampu lagi mendustai  keinginannya. Sophia terlalu takut untuk tetap bangun saat Wisnu hadir.

“Eh sudah bangun, nak? Tadi dokter Wisnu datang. Katanya besok kamu sudah boleh pulang. Akhirnya setelah hampir seminggu. Ini Mama mau telepon Papa biar diurus administrasinya. Kamu tiduran saja, biar lebih sehat, “ ujar Mama saat melihat Sophia membuka mata. Sophia tersenyum. Mama berjalan keluar sambil menenteng handphonenya. Saluran telepon seluler memang kurang baik saat berada di ruangan, jadi setiap kali menelepon Mama selalu keluar dan mencari ruangan yang lebih terbuka.

Sophia mengangkat tubuhnya. Infus sudah dilepaskan darinya, jadi ia bebas turun dari tempat tidurnya dan duduk di sofa. Ia menatap keluar jendela kamar yang terletak di lantai teratas gedung rumah sakit itu.

Akhirnya Sophia kembali pada kenyataan. Pada hidupnya yang dulu, rutinitas yang sama yang mengikis mimpi-mimpinya pelan-pelan. Sama seperti seminggu lalu, sebagai seorang sekretaris dari perusahaan yang membawahi beberapa pabrik makanan dengan kesibukan yang menyita setengah dari isi kepalanya, hampir seluruh waktunya dan dari kehidupan sosialnya. Satu-satunya pria yang akan mengurusnya mungkin cuma Tobian, lelaki yang sama yang mengantarnya saat ia pingsan ke rumah sakit itu.  Dan mungkin akhirnya, Sophia hanya bisa menyandarkan semua pada Tobian. Pria yang tak pernah berhenti mengumbarkan cinta pada Sophia sejak pertama kali mereka bertemu. Tobian mungkin bukan orang yang dicintai Sophia, tapi ia memahami Sophia. Sophia bisa belajar perlahan-lahan mencintai Tobian.

“Maaf, Bu… tadi… “ suara yang tiba-tiba memasuki ruangan itu menghempaskan Sophia kembali ke bumi. Terlihat Wisnu berdiri di depan pintu, ragu melangkah mendekat saat melihat Sophia duduk di sofa menatapnya kaget, “Kau sudah bangun, Soph?” tanyanya.

Dan semua kembali lagi, Sophia menghembuskan nafasnya yang terasa berat. Ia mengangguk pelan, menurun

kan kedua kakinya yang tadi ikut naik ke atas sofa. Ada semburat malu membayang di pipi Sophia. Pasti dia tahu tadi aku berpura-pura tidur.




“Memang beda melihatmu kalau lagi tidak tidur. Kelihatan lebih segar,” ujar Wisnu. Senyumnya kembali mengembang, dia memilih bersandar setengah duduk di tepi tempat tidur. “Aku lupa memberitahu Mamamu kalau besok aku sudah akan pergi. Kalau bisa semua dibereskan hari ini saja,” sambung Wisnu.




Mata Sophia menatap Wisnu tajam. “Pergi? Ke mana?”




Wisnu menunduk sesaat sebelum kembali mendongak, berusaha menyembunyikan galau hatinya. “Ke rumah Ibu, ke Semarang. Pesawat pertama, besok pagi,” jawab Wisnu. Ia tampak begitu serius.

Sophia tak mampu menyembunyikan kekecewaannya. “Ya udah, nanti aku kasih tahu Mama,” ucap Sophia, lalu kembali mengalihkan pandang keluar jendela.

Bukannya bangkit berdiri dan meninggalkan Sophia. Wisnu justru memilih tetap duduk di kamar itu. Ada yang mengganggu hatinya, dulu dan sekarang. “Apa aku punya salah sama kamu, Soph?” tanya Wisnu. Sophia kembali menoleh, menatap Wisnu.

Senyum yang muncul terlihat begitu dipaksakan. “Tidak. Tidak ada, aku berterima kasih karena kamu merawatku dengan baik selama seminggu ini. Memangnya aku kelihatan marah?” tanya Sophia balik.

“Bukan sekarang, tapi dulu Sophia. Kau menghilang tanpa jejak, tak pernah lagi datang dan aku tak menemukanmu di kampus lagi, “ keluh Wisnu.

Sophia kembali tertawa kecil. “Benarkah? Bukannya kamu yang tak pernah mencari tahu ke mana aku pergi?” Sophia berdiri, membuka laci di meja samping tempat tidur. Ia mengambil handphone dan kembali duduk. “Sekarang teleponlah aku.”

Wisnu menatap Sophia bingung. “Aku tak tahu nomor handphonemu, Soph.”

“Itulah kebodohanmu, Wis. Aku tak pernah mengganti nomor teleponku satu kalipun. Aku tak pernah menggantinya karena aku pikir suatu hari kamu akan meneleponku, bertanya di mana aku. Enam tahun, Wisnu… enam tahun aku tak pernah terpikir untuk menggantinya karena selalu berharap kamu menghubungiku satu kali saja, “ Sophia berkata panjang lebar. Ia terduduk lunglai setelah meluapkan emosinya yang telah lama tersembunyi. Tangannya menjatuhkan handphone ke atas pangkuannya sebelum menutup wajahnya yang kini basah oleh airmata. Ia tak sanggup lagi menyembunyikan amarah.

Wisnu termangu. Shock melihat emosi yang jelas tertangkap di kata-kata tajam Sophia. Emosi yang membuat ia mulai merasa bersalah. Emosi yang jelas mengungkapkan kekesalan hati yang terpendam sekian lama. Dan semua karena ia terlalu takut. Terlalu takut untuk melukai hati Sophia yang justru menorehkan luka yang dalam.

Wisnu berdiri. Ia duduk di sisi Sophia, mengulurkan tangannya menyentuh bahu Sophia. “Maaf, Soph. Aku.. aku takut membuatmu berharap. Dulu aku bukan siapa-siapa, aku hanya orang biasa. Kamu… cahaya kamu terlalu terang buatku saat itu. Aku takut, mereka semua menuduhku menggunakan cahayamu itu untuk menerangi hidupku yang gelap,” ungkap Wisnu ragu.

Sophia menyentakkan kepalanya untuk menatap Wisnu tak percaya. “Takut? Karena takut mendengar tuduhan orang, kamu tega ninggalin aku? Kamu tega membiarkan aku berpikir kalau kamu sudah gak peduli sama aku?” sergah Sophia kasar lalu ia berdiri dan kembali berbaring. “Pergilah! Pergilah ke manapun kamu suka! Sekarang juga! Selamanya!” Sophia berbalik dan memunggungi Wisnu. Bahunya berguncang, menangis.

Wisnu berdiri, kembali mendekati tempat tidur. Rasa sedih meliputi hatinya. “Aku minta maaf untuk semuanya, Soph. Aku sungguh-sungguh. Aku akan mencarimu setelah aku menyelesaikan studiku. Aku datang ke rumahmu, tapi semua sudah pindah. Aku tak terpikir meneleponmu, itu saja,”

Tak ada jawaban. Hanya kebisuan memenuhi ruangan itu.

“Pergilah, Wis. Aku ingin tidur.” Terdengar gumam lirih Sophia. Wisnu mengangguk. Dia memang harus pergi. Sophia masih terlalu marah padanya. Tak mungkin menjelaskan kesalahpahaman selama enam tahun dalam enam menit. Walaupun hatinya masih ingin terus bersama Sophia. Biarlah nanti sepulangnya dari cuti ia akan kembali menghubungi Sophia, pasti ada alamat Sophia terdaftar di data rekam medik rumah sakit. Sophia perlu waktu untuk memaafkannya, seperti juga dirinya sendiri.

Wisnu melangkah keluar, melangkah gontai. Sophia menatapnya sedih, sebuah bros berkilat di tangannya. Hadiah ulang tahun yang paling disayanginya. Hadiah terakhir dari Wisnu.

***

“Dok, ada kado dari pasien anda,” kata salah satu suster yang bertemu dengan Wisnu di hari pertamanya setelah libur cuti selama seminggu. Wisnu tersenyum. Paling-paling juga tanda terima kasih dari pasien-pasiennya.

“Hehehe, dokter Wisnu masih lajang dan ganteng. Wajar saja kalau jadi favoritnya pasien,” suara dokter Bambang menggoda membuat Wisnu tertunduk malu. Dia segan menanggapi gurauan dokter Bambang, seniornya yang dulu juga pernah menjadi salah satu pembimbingnya saat masih menjadi co-ass.

“Ibu anda apa kabar, dok?”

Wisnu mengangguk. “Beliau sehat, dok. Ibu kirim salam buat dokter,” jawab Wisnu. Dokter Bambang mengangguk-angguk, sebelum mendahului Wisnu masuk ke dalam kantor. Wisnu menyusulnya.

Wisnu beranjak mendekati meja kerja. Tampak sebuah kotak berwarna biru putih tergeletak di atas mejanya. Ia duduk dan membukanya. Secarik kertas dan sebuah bros mungil berbentuk bintang tersusun rapi di dalam kotak itu. Wisnu mengambil kertas itu dan mulai membacanya.

Dokter Wisnu yang baik,
Saya ingin mengembalikan bros pemberian anda untuk putri saya
Terima kasih karena kemarin telah merawatnya dengan baik selama dia sakit.
Saya sungguh minta maaf karena tak sanggup menyampaikan rasa terima kasih ini sendiri
Sophia mengejar anda, Dokter Wisnu. Ia ingin sekali menyampaikan kalau ia masih mencintai anda. Saya begitu bodoh membiarkan dia pergi pagi itu dan meninggalkan rumah sakit menuju bandara. Saya ikut mendengar percakapan anda sehari sebelumnya dan saya juga yang meminta Sophia memaafkan anda. Dia berniat menunjukkan bros mungil pemberian anda dulu sebagai bukti kalau cintanya pada anda masih ada.
Taksi Sophia mengalami kecelakaan di jalan tol. Saat saya bertemu dia, Sophia sudah pergi.. Dokter. Bros ini masih berada dalam genggamannya.
Saya tak ingin menyalahkan siapapun termasuk anda. Semua karena memang takdir Allah, yang tergores di hidup saya dan Sophia. Sophia mungkin terlalu tergesa-gesa hingga memaksa supir taksi melaju sedemikian kencang. Saya hanya berharap anda mengenang Sophia, mengenang cintanya yang besar dan dalam.
Terima kasih sekali lagi untuk segalanya.
Mama Sophia Arabella.

Tangan Wisnu bergetar hebat, bahunya terkulai lemas. Sophiaku, Sophia yang begitu cantik telah tiada. Kenapa Sophia harus mengejarnya? Kesedihan menerpa hati Wisnu. Ia tak mampu lagi tegar dan berpura-pura tegar. Wisnu menangis, menangis dalam penyesalan. Cinta pertama yang tak pernah pudar itu telah pergi, menorehkan kenangan abadi, meninggalkan penyesalan karena ia tak pernah berani berterus terang.

*****

0 comments:

Post a Comment

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena