Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Saturday 19 May 2012

Lelaki Untuk Perempuan Berhati Mulia

Gadis itu kembali tersenyum padaku, malu-malu dan memberikan selembar kertas. “Tolong ditandatangani, dok!” pintanya. Aku membalas senyuman dan mengambil kertas itu, menandatanganinya sebelum mengembalikan padanya lagi.

“Ibu bagaimana?” tanyaku. “Bisa makan? Bisa istirahat?” sambungku lagi.

Wajahnya yang tadi memerah malu-malu, berubah drastis. Senyum lenyap berganti dengan kemurungan. Ia menggeleng pelan. “Ibu susah makan, dok. Setiap kali saya suapin ibu selalu muntah.”

Hatiku iba melihat wajah murungnya itu. “Tenang ya, jangan sedih. Jangan menyerah! Tetap semangati Ibu supaya terus berjuang. Nanti saya minta suster untuk membantu memberi makanan yang lembut dulu, supaya pencernaan Ibu tidak kaget. Nana yang sabar ya.”

Gadis itu mengangguk. “Terima kasih dok, untuk tandatangannya. Dan untuk nasehatnya. Selamat siang dokter! Saya ke Ibu dulu.”

Aku mengangguk, mengawasi kepergian gadis itu keluar dari ruang praktekku.

Mariana, putri seorang Ibu yang sedang kurawat. Kami biasanya memanggil dia Nana. Gadis itu baru berusia 18 tahun, baru lulus SMU. Putri satu-satunya Ibu Eliana, pasien rujukan dari sebuah RS di Bandung. Ibunya adalah pasien miskin yang mendapat bantuan dana dari sebuah yayasan Kanker. Saat dirujuk, Ibu Eliana diduga terkena Kanker Payudara.

Sayang, Ibu Eliana sudah berada di grade 3 saat dibawa ke rumah sakit ini. Kami sudah mengoperasinya dua kali, tapi Allah menentukan lain. Kanker itu sudah menyebar ke seluruh tubuh Ibu Eliana, semakin mengecilkan peluang hidupnya. Satu-satunya yang membuatnya tetap hidup hingga hari ini, adalah semangat hidup yang tinggi. Semangat hidup yang ia dapatkan dari Nana, putri Ibu Eliana satu-satunya.

Aku sendiri punya Mama. Tapi belum tentu kalau Mamaku berada dalam posisi yang sama, aku akan bisa melakukan hal yang sama. 

Nana, gadis itu begitu menyayangi Ibunya. Saking sayangnya, ia tak pernah lepas seharipun dari sisi Ibunya. Menyuapinya, mengelap tubuhnya, membantu memakaikan baju, memijat bahunya yang pegal, membantu saat akan buang air besar, saat buang air kecil. Bahkan pernah beberapa suster menyaksikan sendiri, Nana menampung muntahan Ibunya dengan tangan sambil menangis terisak. Tak ada rasa jijik selain kesedihan yang begitu dalam. 

Sesekali ada saat Ibu Eliana tak tahan menerima pengobatan kemoterapi yang melelahkan dan menyakitkan. Namun meski sang Ibu membentaknya, memarahinya bahkan terkadang meneriakinya, dengan penuh kesabaran, Nana melayani Ibunya tanpa suara. 

Tadinya aku tak pernah memperhatikannya dan menganggapnya sebagai salah satu keluarga pasienku saja. Sama seperti ratusan keluarga pasienku yang lain. Sampai suatu ketika, ia datang ke rumahku. Aku kaget bukan main melihat kedatangannya, sungguh hal tak biasa ketika seorang keluarga pasien mendatangiku.

Ternyata, ia datang bukan untuk meminta belas kasihanku. Bukan untuk meminta dana seperti dugaan orangtuaku yang juga sama kagetnya denganku. Justru sebaliknya, ia ingin belajar. Belajar tentang Kanker, bagaimana merawatnya setelah operasi, saat kemoterapi, bagaimana mengurus pasiennya, apa yang boleh, apa yang tidak boleh, sampai obat-obat yang harus diberikan. Aku terkesima melihat kesungguhan hati gadis muda itu.

Aku bersedia membantu. Biasanya aku malas melayani keluarga pasien yang ngotot seperti itu, tapi Papa yang memang aktif di berbagai yayasan sosial itu memaksaku menerima permintaan itu. Apalagi waktu Mama ikut mendengar ceritaku soal Ibu Nana dan profil gadis itu. Mama langsung “crying in the rain” mendengar kisah gadis muda itu. Keduanya bahu membahu meyakinkan kalau aku harus membantu gadis itu.

Awalnya Nana datang ke rumahku setiap dua hari sekali. Tapi kemudian karena Ibunya mulai semakin parah, aku memintanya “belajar” di rumah sakit saja. Lalu berhenti sama sekali ketika aku merasa ia sudah cukup bisa memahami apa yang harus dilakukan untuk membantu kesembuhan Ibunya.

Hubunganku akrab dengan Nana, tak ada seorangpun di rumah sakit yang tahu. Semua mengira kedatangan Nana sekedar meminta tandatangan atau mengurus keperluan Ibunya untuk Kemoterapi dan meminta resep obat. Nana pun tak pernah menceritakannya pada siapapun. Ia terlalu sibuk mengurus Ibunya.

***

Kakiku berhenti melangkah masuk ke kamar tempat Ibu Eliana dirawat. Suara-suara di dalam kamar itu membuatku tertarik untuk berhenti sejenak, mendengarkan.

"Kamu yakin, Na?" suara lirih itu seperti suara Ibu Eliana.

"Yakin, bu. Nana dan dokter Ramadhan tidak ada apa-apa kok. Dokter Ramadhan hanya membantu Nana, dia mengajarkan Nana cara merawat ibu. Itu saja, tidak lebih." Suara yang kuyakini berasal dari Nana itu menjawab dengan lugas. Hatiku ciut mendengar jawabannya yang berlawanan dengan keinginanku.

"Terus kalau ibu tidak ada siapa yang bakal jagain kamu, Na?"

Diam sejenak kemudian sebelum terdengar suara lembut Nana sekali lagi. "Ibu, Nana akan selalu bersama Ibu. Walaupun Ibu dan Nana nanti terpisah, pasti Ibu akan menjaga Nana kan?"

"Tentu saja, Na. Ibu pasti akan menjagamu walaupun sudah tak ada lagi di dunia ini. Tapi terus terang sama Ibu, benar kamu tidak punya perasaan suka sama dokter Ramadhan?"

Tawa kecil Nana terdengar. Aku mulai memasang telinga baik-baik. Ini penting bagiku.

"Untuk Nana, dokter Adhan itu terlalu sempurna. Nana ini siapa, Nana sadar banget kalau Nana tidak sesuai dengan dokter. Nana takut, Bu. Biarlah perasaan ini Nana simpan saja baik-baik. Suatu hari nanti pasti ada lelaki yang baik yang akan menjaga Nana. Ibu jangan kuatir, Insya Allah Nana akan menemukan lelaki itu."

"Jadi kamu suka sama dokter?"

Telingaku makin mendekat ke pintu. Please, Na. Jawablah. 

"Suka? Tidak bu." Bahuku langsung merosot. Kecewa. "Bukan suka, Bu. Tapi Nana mencintai dokter Adhan. Suka dan cinta itu beda. Kalau suka berarti sekedar menyukai salah satu dari penampilannya, kalau cinta, ya cinta saja karena kita tak bisa menyebutkan apa yang menyebabkannya."

Dan aku hampir melompat mendengarnya. Yes, yes, yes! Tanganku teracung, berkali-kali mengucapkan syukur. Alhamdulillah ya Allah.

"Dokter Ramadhan?" sapaan itu menyadarkanku bahwa dua suster yang mendampingiku telah datang dan tatapan heran mereka cukup membuatku kembali berpijak ke bumi.

Kami masuk ke ruang Ibu Eliana. Kali ini yang makin membuatku yakin adalah Nana kelihatan terkejut melihat kehadiranku dan ia sama sekali tak berani menatapku. Hanya Ibu Eliana tersenyum padaku. 

***

Aku menatap notes kecil di tanganku. Pesan dari salah satu suster yang berjaga sore, yang mengatakan kalau Ibu Eliana ingin bicara padaku. Sementara di atas mejaku, tergeletak laporan evaluasi terakhir mengenai perkembangan penyakit Ibu Eliana yang semakin buruk. Tak tega rasanya sekali lagi melihat pasienku harus berhadapan dengan maut, apalagi untuk pasien yang memiliki anak seperti Nana. 

Aku berjalan menuju kamar Ibu Eliana. Apapun harus kuhadapi meski Ibu Eliana nanti menanyakan keadaannya.

"Dokter?" Nana mendongak heran melihat kedatanganku di luar jadwal biasa.

"Katanya Ibu mau bertemu saya," jawabku sambil tersenyum. Wajah Nana terlihat lebih pucat, lebih berantakan dan di bawah kelopak matanya ada bayangan hitam.

Tangan Ibu Eliana terangkat memanggilku. Aku mendekat. Suaranya sangat lemah hingga aku tak bisa mendengarnya. Aku mendekatkan telinga ke mulut Ibu Eliana yang bergetar.

"Ja..ga..Na...Na," bisiknya terbata-bata. Nana berlari keluar. Entah kenapa. Aku mengangguk mengerti dan wajah Ibu Eliana kelihatan tenang. Dia tersenyum sebelum memejamkan mata.

Sambil menghembuskan nafas lega, aku memeriksa keadaan Ibu Eliana. Rupanya ia tertidur lagi. 

"Ibu bilang apa dok?" tanya Nana ketika aku melangkah keluar dari kamar.

Aku menoleh. Gadis itu tampak kusut dan sisa-sisa airmata masih menggenang di kelopak mata Nana. "Hanya meminta saya untuk menjaga Nana. Nana, kamu memang kelihatan kurang sehat. Jangan lupa meminum vitaminmu agar kamu bisa tetap sehat ya."

Nana hanya mengangguk lemah. "Kira-kira berapa lama lagi, dok?" tanyanya dengan nada putus asa.

"Hei, kamu tidak boleh bilang begitu. Hanya Allah yang tahu umur seseorang," sergahku. Tanpa sadar aku merangkulnya dan anehnya ia membiarkan. "Jagalah ibumu sekarang, lakukan yang membuatnya bahagia. Ayo tersenyum!" Aku menunggu senyumnya, dengan susah payah akhirnya Nana tersenyum.

***

Sampai suatu malam...

“Dan, Ramadhan! Ada telepon dari rumah sakit, Nak!” suara Mama membangunkan aku.

“Aah, Adhan capek bu, Baru juga tidur, tanyain ada apa,” keluhku






“Pasienmu koma, Eliana namanya.” jawab Mama cepat.






Mataku langsung terbuka lebar, kantukku lenyap tak bersisa. Kuraih telepon itu dan bertanya. Suara suster menjawab pertanyaan dengan singkat dan jelas. Aku langsung mengenakan pakaian yang kudapat paling pertama dari dalam lemari, meninggalkan Mama yang sibuk memunguti pakaianku.






Ibu Eliana sekarat. Ya Allah, jangan dia... tolong jangan dia. Doaku berkali-kali sepanjang perjalanan menuju rumah sakit.






Tapi aku terlambat. Saat tiba di rumah sakit, Nana sudah menangis meraung di sisi Ibunya yang sudah terbujur kaku. Tangisnya terdengar memilukan memecah kebisuan malam di lorong rumah sakit. Wajahnya yang bersimbah airmata seakan menyiratkan kehilangan yang begitu besar.






Aku ingin sekali memeluknya, aku ingin sekali membujuknya. Tapi Nana tak memandangku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa gagal menjadi dokter. Aku gagal menyelamatkan pasien yang teramat penting bagi putrinya.






***






“Selamat siang, dokter!” sapaan akrab itu mengagetkanku. Nana, tersenyum di ambang pintu mengenakan pakaian yang rapi. 






“Nana? Hei, Selamat siang! Ayo duduk!” jawabku, sambil berdiri menyambutnya. Dua perawat yang sedang membantuku membereskan dokumen rekam medik para pasienku tampak kaget. Aku tak peduli. Toh, Nana sudah lama tak muncul di rumah sakit ini.






Nana menyalamiku lalu duduk dan aku pun duduk. Kami duduk berhadapan. Ia tampak berbeda dari biasanya. Dulu ia selalu memakai baju kaus tangan panjang dan rok sepan panjang berwarna gelap. Kerudungnya pun kerudung praktis yang tinggal pakai, sementara kali ini ia mengenakan long dress warna putih dihiasi bunga dengan kerudung kain panjang berwarna senada. Ia lebih manis dan dewasa mengenakan pakaian seperti itu.






“Apa kabar, Na? Sudah lama tidak ketemu. Mm... Tiga bulanan ya?” tanyaku tersenyum.


Nana tertawa kecil. “Iya, dok. Kurang lebih segitu. Saya baru seminggu lalu menyelenggarakan 100 hari meninggalnya Ibu.”






“Saya minta maaf ya Na, saya gagal menyelamatkan Ibumu. Saya.. “






“Ah, dokter. Dokter sudah melakukan semua yang terbaik buat Ibu. Kenapa sekarang merasa bersalah? Justru saya yang belum sempat berterima kasih,” kata Nana. Senyumnya mengembang di bibirnya yang kini terpoles lipstick warna salem.






Aku menghembuskan napas. Sedikit sesak setelah mendengar kalimat penghargaan itu. Entah kenapa aku merasa tak pantas mendapatkannya.






“Dok, saya datang ke sini ingin bertanya. Kira-kira dokter bisa bantu saya tidak?” tanya Nana lembut.






“Apa itu, Na?”






“Saya ingin mengabdikan hidup saya untuk membantu semua ibu yang ada di sini. Saya ingin meringankan beban Ibu saya yang dulu pernah menggugurkan kandungannya dan akhirnya tak bisa punya keturunan. Saya beruntung mendapatkan Ibu angkat sebaik beliau hingga memberi kesempatan pada saya menjadi anak yang berbakti. Bolehkah dokter mencarikan saya pekerjaan apa saja agar saya bisa bekerja di sekitar rumah sakit? Jadi pembantu rumah tangga atau apa sajalah, asalkan saya diperbolehkan membantu Ibu-Ibu yang sedang dirawat disini. Paling tidak mengobati kerinduan saya terhadap Ibu. Apalagi sekarang saya tidak punya siapa-siapa lagi, dok.”






Aku terdiam, terpana mendengar permintaan Nana. Anak angkat? Jadi Nana anak angkat Ibu Eliana? Aku tak bisa berkata-kata. Seorang anak angkat yang bersedia mengurus ibu angkatnya begitu setia. Nana benar-benar di luar dugaanku.






“Dok, dokter?” suara Nana membuyarkan lamunanku. 






Aku berdiri. “Ayo ikut saya!” ajakku.






“Ke mana?”






“Loh, tadi kamu bilang mau pekerjaan kan?”






Nana mengangguk cepat. Aku segera meraih kunci mobil, berpamitan pada dua suster yang tadi ikut menguping pembicaraan kami dan menggiring Nana keluar. Nana tampak kebingungan, tapi ia tak bertanya-tanya lagi.






Sesampainya di depan rumahku, Nana melongok. “Ini kan rumah pak dokter. Kita ngapain di sini?”






“Ayo masuk saja! Nanti kau juga tahu,’ ajakku sambil keluar dari dalam mobil.






Mama menyambut kedatangan Nana dengan gembira. Ia memeluk gadis itu dan aku tetap berdiri di belakang Nana. Aku ingin menyiapkan diriku sendiri sebelum memberitahu pekerjaan yang akan kuberikan untuk Nana. Tapi aku perlu Papa untuk hadir menyaksikannya.






Papa keluar tak lama kemudian. Sama seperti Mama, ia menyambut Nana dengan ramah. Lalu bertanya, “tumben Na, kamu datang berdua Ramadhan. Ada apa ini?”






“Nana datang ke sini mencari pekerjaan, Om, Tante. Dokter bilang ingin memberi saya pekerjaan,” kata Nana polos. Mama dan Papa menatapku, “Pekerjaan? Pekerjaan apa, Dhan?”






Aku menarik napas, menghembuskannya perlahan dan berusaha tenang meskipun tiga pasang mata menatapku penuh tanda tanya. “Saya ingin memberi Nana pekerjaan sebagai istri saya, Pa, Ma. Boleh kan?”


Ketiganya terdiam. Nana terbelalak. Mata indahnya melotot tak percaya. Tapi Papa dan Mama malah tersenyum lebar dengan mata berkaca-kaca.






“Nana, anakku!” bisik Mama dengan air mata meleleh di pipinya. Papa memelukku, penuh rasa syukur mengucap Alhamdulillah berulang kali.






Allah pasti tahu, Nana gadis yang tepat untukku. Untuk perempuan yang mengabdikan hidupnya untuk seorang Ibu, Untuk perempuan yang menghargai arti seorang Ibu, untuk perempuan yang menyayangi Ibu melebihi dirinya sendiri. Dan aku ingin menjadi lelaki beruntung untuk perempuan berhati mulia itu.

0 comments:

Post a Comment

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena