Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Tuesday 7 February 2012

Bolu Coklat & Pernikahan


“Liiin! Bantu Mama yok!” teriak Mama memanggil gadis kecilnya yang sedang berada di dalam kamar.
Iih Mama, orang lagi asyik main games pakai acara dipanggil segala. Tapi tetap saja Lintang, gadis kecil berumur 12 tahun itu keluar dari kamarnya meninggalkan laptop.
“Ada apa sih Ma?” tanya Lintang ingin tahu.
Mama tersenyum. “Bantuin Mama bikin kue yuk. Hari ini kan ulang tahun pernikahan Mama dan Papa,” Di tangan Mama tampak sebungkus tepung terigu dan sekaleng mentega, sementara di meja sudah penuh dengan berbagai bahan lain serta alat-alat masak.
Lintang langsung mengangguk. Tanpa banyak bicara, Lintang meraih ikat rambut, mencuci tangan dan memakai celemek. “Oke Ma, sudah siap!”
Mama mulai memberi instruksi. Ia meminta Lintang mengayak tepung terigu dan setelah itu memoles loyang dengan mentega lalu melapisinya dengan kertas kue, sementara Mama menimbang beberapa bahan kue lainnya.
“Ma, kayaknya menjadi istri itu enak ya? Tiap hari Lintang lihat Mama selalu bahagia, kerjaannya juga menyenangkan. Bikin kue begini kan asyik. Ah rasanya menikah itu seperti apa sih Ma?” tanya Lintang lagi. Tangannya sibuk menggoyang-goyangkan ayakan.
“Hehe, kamu ini. Mau tahu untuk apa? Mau nikah cepet?”
Kali ini Lintang tertawa. “Ya nggaklah, Ma. Tapi Lintang pengen nanti kalau sudah nikah bisa awet kayak Mama dan Papa gitu.”
Mama tampak berpikir sebentar. Berdiri dengan punggung tegak sebelum kembali bekerja. “Membuat sebuah pernikahan yang berhasil sama seperti membuat kue bolu coklat, sayang,” ucapnya.
“Hah? Kok bisa?”
“Iya, seperti Mama menyatukan kuning telur, dengan gula dan vanili ini. Ini seperti menyatukan dua pribadi yang berbeda dengan rasa yang disebut dengan cinta. Diaduk agar menjadi satu,” ucap Mama. Tangannya sibuk menuang kuning telur, gula dan vanila dalam baskom kecil lalu mengaduknya dengan mixer.
Kemudian, Mama mengambil baskom kosong yang lain. Kali ini Mama mengisinya dengan putih telur, gula pasir, garam dan cream of tartar. “Sementara ini, ibarat menyatukan dua keluarga. Ada yang setuju dan ada yang tidak pada hubungan itu. Tapi semua bisa disatukan dengan manis, asalkan kadarnya pas. Selalu ada kekurangan dan kelebihan masing-masing keluarga, jadi harus saling menerima apa adanya.” Kembali Mama mengaduk baskom kedua dengan mixer sampai tercampur rata.
Lintang mengangguk-angguk. Ia sudah selesai mengayak tepung dan menyodorkannya pada Mama.
Setelah selesai, Mama mengambil adukan baskom pertama dan mencampurnya menjadi satu, pelan-pelan. “Jika sudah dibuat jadi dua adonan kita tinggal mencampurnya. Harus pelan-pelan. Seperti sebuah hubungan cinta, tak boleh dilakukan secara grasak grusuk dan harus hati-hati.” Mama meraih tepung terigu yang sudah diayak. “Dan tepung terigu ini adalah perekatnya, seperti pada hubungan dua orang yang diresmikan menjadi sebuah pernikahan. Untuk menyatukannya, kita harus menuangkannya sedikit demi sedikit agar semua tercampur rata dan sempurna. Begitu juga pernikahan, untuk menyatukan semua perbedaan itu harus dilakukan perlahan-lahan.” Tangan Mama mengaduk tepung sementara yang lain menuangkan terigu sesendok demi sesendok.
“Ambilkan coklat, soda kue sama mentega itu, Lin!” pinta Mama. Lintang mengambilkannya sesuai permintaan, meletakkan semua bahan itu di dekat baskom yang sedang diaduk Mama.
“Kalau ini semuanya maksudnya apa, Ma?” tanya Lintang saat melihat Mama memasukkan mentega cair, soda kue dan pasta coklat satu demi satu. Tangannya sendiri sibuk memoles loyang dengan mentega lalu menutupinya dengan kertas kue
“Ini seperti semua masalah yang akan dihadapi oleh sebuah pernikahan. Ada yang rasanya biasa saja seperti mentega cair ini, ada yang mengejutkan seperti soda kue ini dan ada pula yang kadang terasa sulit seperti sebuah coklat yang kalau kebanyakan bisa pahit. Nah, ini harus pintar-pintar menghadapinya karena jika bisa melewatinya, justru akan menambah kelezatan. Sama seperti sebuah pernikahan. Kadang masalah di masa lalu justru semakin memperkuat cinta di antara suami istri di masa yang akan datang.”
“Sekarang, tinggal memasaknya di oven. Ingat! Ovennya harus dipanaskan dulu, ” Mama menuangkannya di dalam loyang yang sudah diolesi mentega dan kertas kue. Lintang membantu memegangi loyang agar tak bergeser.
“Ketika kita memasukkan kue ke dalam oven, itu seperti menggodok sebuah pernikahan. Makin lama makin panas. Seperti ujian yang akan dihadapi pasangan, panasnya kadang sanggup membakar sampai hangus, terkadang karena belum siap justru jadi bantat tapi yaitu tadi, kalau pernikahan itu memiliki semua hal dengan pas maka pasti bisa melewati semua kesulitan itu dan makin mematangkan pernikahan itu seperti kue bolu yang matang dengan pas, tidak hangus dan tidak bantat.”
Lintang diam. Ia memperhatikan oven yang ditutup Mama.
“Ayo kita buat krim hiasnya!” Lintang bergerak menuju lemari. Mengambil peralatan menghias kue. Lintang paling suka bagian ini. Menghias kue.
“Terus apa hubungannya menghias kue ini dengan pernikahan, Ma!”
“Nanti! Tunggu kita selesaikan dulu adukan ini ya,” Mama mulai mengaduk krim dan membaginya menjadi beberapa krim dengan warna berbeda. Lintang menyiapkan ceri hias juga beberapa hiasan boneka kecil dari gula.
Tak sampai satu jam, oven berbunyi secara otomatis. Mama melirik ke dalam oven. Senyumnya mengembang. Mama mengambil kue dan wangi kue tercium semerbak memenuhi dapur.
“Wuiiih, wanginya Ma!” puji Lintang. Hidungnya mendengus ke udara sementara tangan Lintang mengibas-ibas asap yang mengepul dari kue ke arah hidungnya.
Mama meletakkan kue bolu yang sudah jadi di atas piring kue, langsung mengeluarkannya dari loyang. Setelah itu membiarkannya sejenak. Sambil menunggu kue dingin, Mama membereskan peralatan yang sudah tak digunakan lagi dan mencucinya dibantu oleh Lintang. Setelah itu, Mama mengambil kue itu. Ia meletakkannya di atas piring berputar dan mulai menghiasinya.
“Saat menghias kue, kita harus menunggu dingin dulu agar saat menghiasnya krimnya tidak meleleh. Sama seperti kalau kita sedang ingin membuat pernikahan berhasil, kita harus mendinginkan dulu suasana agar tak ada kemarahan saat akan menunjukkan rasa cinta atau kasih sayang pada suami atau istri. Seperti meminta maaf kalau salah, memberi hadiah sesekali kalau perlu. Hadiahnya itu gak selalu barang, neng. Bisa jadi seperti Papa bilang kalau Mama cantik sekali-sekali, itu juga hadiah,” senyum Mama tersungging.
“Hihi, iya. papa memang sering banget muji-muji Mama kalau habis berbuat salah. Apa itu hadiah Papa buat Mama?” Lintang juga ikut tertawa kecil mengingat tingkah Papa kalau sedang membujuk Mama.
Mama mengangguk. “Itu hanya contoh. Jadi kalau lagi emosi, lebih baik didiamkan saja dulu. Biar suasana dingin, supaya gak nambah masalah. Seperti Mama membiarkan Lintang kalau lagi ngambek.”
Lintang tertawa malu. “Ah Mama, menyindir Lintang nih!”
Mama hanya tersenyum, tangannya kembali menghias kue bolu dengan melumuri dengan krim berwarna putih. “Dengan menghias kue, sebenarnya kita juga belajar menutupi kejelekan atau kekurangan suami atau istri dan bahkan anak-anak karena itu adalah aurat. Kita menghias kejelekan itu dengan keindahan dan kebanggaan, bukan harta loh. Tapi seperti menjadi suami atau istri yang santun, soleha, baik, anak-anak yang pintar dan hubungan baik dengan keluarga. Yah seperti Lintang sekarang ini. Lintang itu hiasan kue rumah tangga Mama dan Papa karena Lintang anak yang baik, pintar dan lebih penting Lintang rajin sholat,” sambung Mama perlahan, ia menahan napas saat mengukir angka di atas kue dengan krim warna merah muda. Lintang ikut tegang memperhatikan.
“Yang terakhir adalah angka-angka yang Mama tuliskan di kue ini, angka yang memberitahu sudah berapa lama pernikahan ini berjalan sekaligus memperingatkan kalau masa-masa kebersamaan makin berkurang. Supaya setiap suami istri makin bersyukur, makin berlomba menunjukkan cinta dan makin sayang sama keluarga. Sekarang Lintang ngerti apa itu pernikahan, sayang?” tanya Mama sambil kembali menegakkan punggungnya.
Lintang menatap Mama. Lalu malu-malu ia menggeleng. “Nggak, Ma.”
Terdengar tawa geli Mama. “Aduuh, sampai selesai dijelasin ujung-ujungnya bilang nggak. Ya sudah, yang penting Lintang tahu kan bikin kue gak gampang. Sama, nikah itu juga gak gampang. Gak semudah atau seenak kalau dilihat.”
Mama menatap bangga kue bolu buatannya. “Selesai!  Inilah dia kue bolu pernikahan Mama dan Papa!”
Lintang tersenyum lebar. Kue bolu coklat Mama terlihat enak dan menggiurkan, persis seperti pernikahan Mama dan Papa. Lintang mengerti sedikit cara membuat kue, tapi Lintang tidak mengerti maksud Mama membandingkannya dengan kue. Tapi seperti kata Mama, bikin kue itu susah kecuali rajin berlatih dan Lintang yakin menikahpun sama susahnya kalau tak pernah belajar memahami maknanya. Itu masih lama buat Lintang, sekarang saatnya memanggil Papa dan adik-adik, saatnya menyantap kue bolu enak buatan Mama.

*****

0 comments:

Post a Comment

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena