Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Tuesday 14 February 2012

Ta’aruf


Dengan gelisah kutatap Ibu berkali-kali. Keinginan yang sedari tadi ingin kusampaikan mendadak menjadi beban yang ragu kulontarkan. Jemariku mulai melinting ujung kerudungku. Namun tetap saja tak mampu menghapus keraguan yang mendadak datang.

“Fit, kamu kenapa toh nduk?” tanya Ibu heran, seraya mendekatiku yang berdiri di ambang pintu.

Aku terhenyak. Tak menyangka Ibu akan bertanya padaku. “Ah oh… eh Fitri, anu bu, eh…” jawabku gugup.

Ibu tertawa kecil. “Ada apa sih? Sampai segugup itu,” kata Ibu. Ditariknya tanganku dan kamipun duduk di meja makan.

“Sekarang ceritakan apa yang mau kamu sampaikan?” tanya Ibu lembut. Kutundukkan wajahku dalam-dalam. Bahkan sebelum keinginan itu kusebutkan, rasa malu bertabur jengah dan bingung sudah memenuhi rongga dada.

“Bu, tahun ini umur Fitria sudah 22 tahun kan? Sebentar lagi Fitri juga selesai kuliah.” Aku melihat Ibu mengangguk.

“Hmm… sudah pantas belum kalau Fitria menikah, bu?” tanyaku perlahan. Rasa panas karena malu menjalari kedua pipiku. Kembali aku menunduk, menutupi rona merah di wajahku yang mulai terlihat.

Ibu terdiam, lalu mengangkat wajahku dengan ujung jarinya. “Tentu saja, nak. Tapi… apa sudah ada orang yang jadi pilihan hatimu?” Kuanggukkan kepalaku lagi pelan tapi penuh keyakinan.

“Dan siapa lelaki itu, putriku yang manis?” tanya Ibu lembut.

Akupun berbisik malu-malu, kusebutkan nama seorang lelaki yang belakangan ini sering datang menemui Ayah. Ramadhan, lelaki santun dari kota lain yang tak hanya berhasil mencuri perhatianku, tapi juga sebagian hatiku. Lelaki baik dengan senyum yang sopan menawan, setiap kali menyapaku dengan anggukan setengah tertunduk penuh hormat.

Ibu tersenyum padaku. Menatap penuh arti. Ini pertama kalinya sejak aku kecil, aku berani mengungkapkan isi hatiku. Ibu pasti memahami kesungguhan hatiku yang malu-malu kusampaikan.

Dan akupun menanti terus dalam kegelisahan selama beberapa hari. Suatu hari sepulang kuliah aku dibuat kaget saat melihat di ruang tamu, sosok lelaki yang memenuhi mimpiku berhari-hari duduk di sana bersama Ayah. Mereka terlibat dalam pembicaraan serius saat aku memasuki rumah.

Seperti tamu-tamu Ayah yang lain, aku langsung permisi masuk ke kamarku yang berada di belakang. Namun di dalam kamar, kulihat Ibu sudah menunggu. Wajah Ibu demikian cerah, menenangkan hatiku saat menyampaikan kalau lelaki itu menyambut ajakan ta’aruf yang kusampaikan beberapa hari yang lalu. ketika malam beranjak, saat makan bersama sekali lagi Ayah dan Ibu mengulangi rencana ta’aruf yang akan kami lakukan beberapa hari lagi.

Aku tak bisa menyembunyikan getar-getar senandung cinta mendengar persetujuan Ramadhan melalui Ayah. Dengan bahasa penuh makna pada Ayah, lelaki itupun menyampaikan keinginan yang sama. Sudah lama ia ingin sekali mengenalku lebih dekat, sayang kesibukan dan rasa minder membuatnya sungkan mengambil langkah terlebih dahulu.

Langit terasa bagai bernyanyi untukku ketika lelaki itu datang lagi bersama kakak laki-lakinya. Ketampanan begitu terlihat karena hari itu ia mengenakan pakaian yang berbeda dari busana kerja yang biasa ia kenakan saat bertemu Ayah. Aku tak bisa menyalahkan air yang sempat tumpah saat tanganku gemetar menyajikannya.

Lalu Ibu dan Ayah mengajakku duduk bersama dia dan kakaknya. Perbincangan hangat seputar diriku dan diapun terus mengalir. Kakaknya yang ternyata juga seorang dosen bercerita kalau lelaki bernama Ramadhan itu lulus lebih cepat karena ikut program akselerasi, setelah itu ia melanjutkan ke program Masternya sambil bekerja di perusahaan yang sama dengan Ayahku. Ayah mengangguk-angguk, lalu ia bertanya tentang orangtua Ramadhan.

Kudengar suara yang sedikit bergetar saat Ramadhan menjelaskan pada Ayah. Ayahnya sudah lama tiada sejak beberapa tahun silam sementara sang Ibu tak mungkin untuk datang berkenalan dengan keluarga kami karena saat ini beliau sedang sakit. Kakak Ramadhan juga terlihat murung, membuat perasaanku menjadi tak enak.

“Bolehkah nanti kami berkunjung menengok Ibu kak Ramadhan? Saya ingin sekali berkenalan dengan beliau, ” bisikku perlahan. Ayah juga menimpali setuju dan Ibu pun mengangguk.

Ramadhan spontan berkata ya padaku, dengan kegembiraan yang tak bisa ditutupinya.

Ibu dan Ayah bergantian bercerita tentang kesibukanku. Sesekali Ramadhan bertanya tentang kegiatanku lalu semakin lama pembicaraan mengalir hanya antara aku dan dia sementara Ayah dan Ibu lebih banyak mengobrol dengan kakaknya. Ramadhan menyinggung soal rencanaku di masa mendatang selain menyelesaikan kuliah. Dan dengan wajah bersemu merah, kuutarakan niatku untuk membagikan ilmu pada orang lain dengan mengajar.

“Jika kelak silaturahmi ini berlanjut, saya pasti mendukung sepenuhnya keinginan De Fitria. Kebetulan kakak ipar saya juga seorang ustadzah, mungkin dia bisa membantu de Fitri nanti kalau ingin mencari pekerjaan,” ujar Ramadhan sembari tersenyum.

Dan sepanjang malam itu, aku bersujud berterima kasih pada sang Maha Pemberi. Cinta yang disematkannya di hatiku, telah membuatku menemukan imam yang baik. Terima kasih ya Allah, terima kasih atas anugerah cinta ini. Bila Ramadhan memang lelaki yang baik dan juga mencintaiMu sepertiku, izinkanlah dia menjadi jodohku, menjadi pembimbing setiap ibadahku padaMu.

bersambung ke Taaruf

0 comments:

Post a Comment

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena