Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Thursday 23 February 2012

Aku Pulang Membawa Cinta


“Dia hanya cinta sesaatmu! Nanti setelah rasa cinta itu pudar, baru kau tahu rasanya. Cukup Ibu saja yang mengalami, jangan sampai kamu juga mengalaminya, Neng! Lupakan dia!”
“Tidak, bu. Aku benar-benar tak bisa hidup tanpa dia. Buatku, dialah yang terbaik. Izinkan aku menikahinya, Ibu. Neng mohon, bu.”Description: http://bundaiin.blogdetik.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gifDescription: http://bundaiin.blogdetik.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif
Wajah Ibu semakin memerah. Kemarahan semakin jelas menggurat di wajahnya yang masih terlihat cantik itu. Tapi aku tak peduli, aku harus berjuang. Demi Cintaku pada kekasihku, pada orang yang ingin kujadikan pelabuhan terakhirku, Rick.
“Kalau kamu pilih dia, silakan keluar dari rumah Ibu. Jangan pernah datang ke rumah Ibu lagi, kecuali kamu sudah pisah dengannya,” gumam Ibu pelan namun tegas.
Aku mendekati Ibu. “Bu, Neng mohon… ” pintaku memohon.
“Pergi. Pergilah kalau dia yang kau pilih!” kata Ibu lagi. Ia berbalik punggung membelakangiku. Itu sudah cukup memberitahu tak ada gunanya lagi aku  membujuknya lagi. Ibu telah mengambil keputusan dan keputusan itu takkan bisa diubah lagi.
Kejadian itu seperti baru terjadi kemarin. Aku tak pernah bisa melupakannya. Setiap hari aku menyesal karena tak mampu membujuk Ibu agar menyetujui pernikahanku. Aku dan Rick, berusaha keras memintanya dari Ibu, sayang Ibu tetap tak bergeming. Kata Ibu, aku terlalu muda untuk menikah. Namun aku yakin semuanya karena Ibu tak mau melepaskanku begitu saja. Ibuku memang telah lama bercerai dengan Ayah dan kami selalu bersama. Aku juga takut gagal seperti Ibu, tapi aku yakin Rick adalah pilihan yang paling tepat. Aku pun meminta bantuan Ayah untuk menjadi wali pernikahanku. Mungkin karena tak ingin repot mengurusiku, Ayah mau saja menuruti keinginanku untuk menikah.
Tapi aku rindu Ibu, aku benar-benar merindukannya. Ibu dan aku selalu bersama sejak Ayah pergi dari rumah kami. Saat itu aku berumur dua tahun, belum mengerti arti kepergian Ayah. Yang aku tahu hanya Ibu. Ibu yang selalu mendampingiku, mengajarkanku tentang banyak hal dan selalu ada dalam setiap momen penting dalam hidupku.
Setetes airmata jatuh membasahi tanganku yang sedang memotong kue untuk putriku. Kusapu dengan cepat namun terlambat. Putriku, Mecha sudah melihatnya. “Mom! Are you crying?” tanya putriku bingung.
Aku menggeleng. Berusaha menahan tangisku. Rupanya Rick mendengar pertanyaan Mecha dan ikut berdiri mengawasiku. Entah apa yang terjadi di belakangku, Mecha langsung meninggalkan dapur ketika melihat Ayahnya sambil membawa kuenya yang kuletakkan di piring.
Pikiranku memang sedang tak bisa lari dari Ibu. Berita yang kuterima dari Ayah siang tadi benar-benar membuatku gamang. Ibumu sedang sakit, Neng.
Do you miss mom, honey?” tanya suamiku sambil mengelus bahuku.
Aku tak bisa berkata apa-apa, Rick juga pasti tahu dari Ayah. Yang aku bisa hanyalah menangis di bahunya, memohon pengertiannya. Pengertian dari suamiku agar membiarkanku sekali ini melepas kangen pada Ibu.
Aku mendongak, menatap wajah suamiku. “Tapi kau tahu kan resikonya, sayang. Itu berarti kita harus berpisah. Mana bisa aku melepasmu dan Mecha?”
Suamiku memelukku dengan sayang. Lalu setengah berbisik ia berkata. “Dulu pertama kali melihatmu, aku langsung jatuh cinta padamu. Perasaan menggebu-gebu, penuh gelora dan menggetarkan seluruh jiwa ragaku setiap saat melihatmu. Perasaan yang membuatku berani merampasmu begitu saja dari Ibu walaupun dia tak setuju. Tapi sekarang, aku tak hanya mencintaimu. Aku juga menyayangimu. Rasa sayang yang membuatku mengerti bahwa cintaku saja tidaklah cukup untuk membahagiakanmu. Rasa itulah yang membuat aku sanggup menghadapi resiko kehilangan dirimu, yang penting kau bisa bertemu Ibu yang kau sayangi. Aku tak sanggup melihatmu begini terus. Tanpa sadar, aku telah membuktikan kata-kata Ibu dulu kalau karena cintakulah aku membuatmu sedih. Karena rasa sayang itu pula, aku ingin meyakinkan Ibu kalau aku juga menyayangi semua yang disayangi istriku. Jika cinta itu adalah keinginan untuk memiliki maka sayang adalah keinginan untuk memberi. Dan kita akan melakukan bertiga, bersama Mecha kita. Sudah saatnya kita berbagi kebahagiaan pada Ibu, akan kulakukan apapun untuk meyakinkannya.”
Aku mengangguk, suamiku benar. Inilah saatnya kami kembali, menghadapi segala resiko bahkan jika Ibu masih tetap dengan pendiriannya. Atas nama cinta, maka aku akan tunjukkan betapa sayangnya aku pada Ibu.
Aku melangkah pelan memasuki pintu pagar sebuah rumah bercat putih kusam. Kakiku berhenti tiba-tiba, rasa ragu datang. Suamiku merangkulku lebih kuat, meyakinkan agar aku tetap melangkah. Sementara putri kami berjalan di belakang kami tampak celingak celinguk memeriksa seantero rumah. Sebuah rumah yang pernah menjadi tempat tinggalku bertahun-tahun lalu. Masih sama seperti dulu, walaupun kini taman bunga di depan rumah itu terlihat sudah tak terurus lagi. Seorang wanita duduk di beranda, menatap menerawang entah ke mana. Aku menatapnya tak percaya, benarkah itu Ibu?
Keriput telah benar-benar memenuhi wajahnya, dan uban mewarnai hampir separuh rambutnya yang dulu hitam berkilau. Mata Ibu tampak sedih, tangannya gemetar memegang sebuah pigura. Entah foto siapa. Sementara lehernya berbalut syal warna putih abu-abu dipadu baju hangat berwarna hijau lumut dan rok panjang hitam. Tubuhnya terlihat kurus dan rapuh.
Aku berjalan semakin mendekati beranda, masih tak percaya melihat sosok yang sedang duduk itu. Ibukah itu? Ibu yang dulu selalu tersenyum menyambutku setiap pulang sekolah. Saat kami membuat kue, saling mencolek tepung ke pipi dan lalu tertawa lebar. Ibu yang kutahu suka sekali berkebun, mengajariku merawat bunga dan tak pernah lupa memintaku menyiramnya bersama-sama. Ibu yang selalu rajin bersenam bersamaku, melompat-lompat gembira sambil bernyanyi riang mengikuti lagu. Ibu yang selalu tak pernah kehabisan energi, selalu semangat setiap kali shopping di mall. Yang selalu menjadi tempatku bermanja, berbagi tawa canda, tempatku mengadu dan menangis sedih. Ibuku yang berperan ganda sebagai ayah dan sahabatku selama bertahun-tahun sebelum aku meninggalkannya. Sekarang benarkah itu ibuku?
Seakan mendengar pertanyaan dalam hatiku, Ibu menoleh tepat ketika kami bertiga sampai tepat di teras berlantai keramik putih itu. Ia menatap kami lama sekali. Rick nampak juga tak bisa menyembunyikan kesedihan melihat keadaan Ibu. Penyesalan tergurat jelas di wajahnya. tubuh Rick jatuh bertopang pada lututnya, bersimpuh di lantai beranda. “Maafkan saya, bu!” ucapnya gemetar. Rick menunduk, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.
Melihatnya begitu, sungguh hatiku seperti diiris. Demikian besar cinta dan sayangnya padaku sampai mau berbuat seperti itu. Akupun langsung mengikuti apa yang dilakukannya. Berlutut di samping Rick memohon pada Ibu. “Maafkan Neneng, bu. Maafkan kami!” ucapku.
Ibu berdiri pelan, tubuhnya bergetar. Dengan langkah tertatih, ia berjalan mendekati kami. “Benarkah ini kamu, Neng?” tanya Ibu lirih. Terbungkuk-bungkuk Ibu mendekatiku. Wajahnya yang pucat, nampak tersenyum hangat seperti dulu. Aku mengangguk, lalu tangisku meledak. Aku berdiri memeluk Ibu, meminta maaf berulang kali berbisik di telinga Ibu. Aku benar-benar menyesal, aku menyesal menyia-nyiakan Ibu selama ini. Maafkan aku, bu. Maafkan aku karena telah menyakitimu, membiarkanmu merasakan sakit sendirian sementara dulu kau selalu menjagaku dengan baik. Aku terlalu egois karena hanya memikirkan cintaku. Maafkan aku, Ibu. Namun Ibu seperti melupakan semua kesalahanku. Ia hanya memelukku, menangis. Tangisnya begitu pilu, menggambarkan betapa lamanya ia meredam rindu dalam hatinya. Rindu yang telah menghapus semua kesalahanku padanya. Apakah sebesar ini cintamu padaku, Ibu? Sampai-sampai kau bahkan tak mau memarahiku.
Setelah puas melepas rindunya padaku. Ibu menatap suamiku dan Mecha. Tak ada kemarahan sama sekali, justru sebaliknya ia tersenyum dengan tatapan sayang. “Kau semakin tampan, menantuku. Bangunlah!” ujar Ibu. “Dan ini… ini pasti Mecha ya? Lebih cantik dari fotonya, ah, nenek… grandma can not speak English well. I hope you can understand, my dear Mecha. You are pretty, very pretty than this,” kata Ibu sambil menunjukkan pigura foto yang sejak tadi dipegangnya. Ternyata di dalamnya adalah foto keluarga kami, aku, Rick dan Mecha. Entah siapa yang memberikan pada Ibu. Ia memperhatikan putriku, menatap sekujur tubuhnya lalu memeluknya dengan hangat. Mecha pun menyambut pelukan nenek yang baru pertama ia temui.
Rick meraih tangan Ibu, mencium dengan hormat. “Maafkan saya, bu. Maaf telah membuat Ibu terpisah dengan Neneng. Saya benar-benar menyesal.” Ibu hanya mengangguk dan merangkul suamiku dengan sayang.
Why do you never told me, that i have a pretty grandma?” tanya Mecha menyalahkanku dan Rick saat kami masuk ke rumah. Tawa Ibu pecah seketika, ditingkahi senyum Rick. Hatiku tenang melihat ketiganya nampak kompak. Sepertinya sudah lama Ibu telah memaafkan kami dan karena ketakutanku yang tak beralasan, aku tak pernah berani datang meminta restu dari Ibu.
Malam itu aku ingin tidur bersama Ibu seperti dulu, di dalam kamarnya kami bercerita tentang banyak hal termasuk cerita-cerita hidupku yang terlewatkan oleh Ibu. Cerita tentang Rick, saat Mecha lahir, prestasinya di sekolah sampai keinginan kami membawa Ibu tinggal bersama kami selama masa tugas Rick di Amerika. Ibu tak berkata apa-apa. Sesekali ia menyapu airmatanya mendengar ceritaku. Sorot matanya sedih karena melewatkan banyak hal.
“Seharusnya Ibu yang meminta maaf padamu, sayang. Seharusnya jika ibu benar-benar menyayangimu, maka ibu akan tetap memberimu restu meski hati Ibu tak setuju. Tak seharusnya Ibu melarangmu datang. Tak seharusnya Ibu menolak Rick tanpa pernah mengenal pribadinya. Ibu benar-benar minta maaf karena trauma Ibu terhadap perkawinan telah membuatmu terkurung dalam dunia Ibu.”
Benar kata Rick, Cinta itu memberi kita kekuatan untuk memiliki apapun resikonya, bahkan jika itu berarti mengorbankan segalanya namun rasa sayanglah yang membangun keindahan cinta dan memberi ikatan yang takkan mudah dilepaskan. Karena menyayangi seseorang, membuat kita sanggup berlutut meminta maaf, sanggup memberi semua yang ada di dunia, dan saling mengasihi satu sama lain.
Aku kembali pada Ibu, hanya membawa Rick dan Mecha. Kebahagiaanku lengkap, bersama orang-orang yang paling kusayangi. Akan kubangun istana cinta kami di atas kasih sayang ini, akan kulakukan segalanya agar orang-orang yang kusayangi tahu betapa cintanya aku pada mereka.
“Kenapa tersenyum-senyum?” tanya Ibu membuyarkan lamunanku.
Aku menatap Ibu. Menggeleng. “Malam ini, aku ingin jadi anak Ibu. Aku ingin tidur sambil memeluk Ibu seperti dulu,” kataku manja, bergelayut manja di bahunya.
Ibu tersenyum. “Kau akan selalu jadi anak Ibu, Neng. Selamanya, karena itu Ibu cinta dan sayang kamu,” ucap Ibu. Aku hanya tersenyum. Ya dan Ibu akan selalu jadi Ibuku. Mau sayang atau cinta sama saja, yang jelas Ibu sudah memberiku segala yang dibutuhkan seorang anak.
*****

0 comments:

Post a Comment

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena