Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Friday 20 April 2012

I Wanna Be Emak - Cantik


Siapapun pasti ingin terlihat cantik. Emak juga. Apalagi kalau bisa sampai memancing pujian dari sang suami tercinta dan anak-anak. Untuk penghuni rumah yang lebih doyan bercanda dan meledek, pujian adalah hal yang teramat langka buat Emak yang super cuek terhadap penampilan.

Dan itu mulai disadari Emak saat ia berkumpul dengan teman-temannya sesama ibu-ibu. Seusai pengajian, Emak biasa mengobrol dengan beberapa Ibu yang sedang menawarkan “dagangan” mereka. Entah itu peralatan masak, kotak plastik, baju muslim, suplemen, sampai peralatan kosmetik. Kadang-kadang meski tak berniat membeli, Emak cukup senang dengan bisa mengenal barang-barang itu. Paling tidak menyenangkan hati teman yang sedang berusaha keras membantu keuangan keluarga mereka. Sampai ketika salah satu teman Emak yang menjual kosmetik mengatakan betapa kusamnya kulit Emak.

“Awas loh, Jeng. Kalo tak dirawat wajah Jeng bakalan cepat tua dan keriput. Entar suami Jeng bakalan lari ke lain hati,” kata teman Emak itu lalu dengan penuh semangat menawarkan seperangkat kosmetik wajah.

Tapi Emak tetap tak mau membelinya. Bukan karena tak ingin, tapi Emak merasa sayang menggunakan kelebihan uang belanja dapur untuk dirinya sendiri. Abang dan Kakak lebih membutuhkannya untuk membeli peralatan tulis mereka yang sudah mulai habis.

Namun, kata-kata itu terngiang di telinga Emak berulang kali. Emak mulai memperhatikan penampilannya. Emak memang kurang suka berdandan sejak masih remaja dulu. Bukan karena tak mampu, tapi karena memang tak pernah seorangpun menuntutnya untuk melakukannya. Saat masih sekolah, Emak hanya mengenal bedak bayi dan deodoran. Orangtua Emak dulu selalu bilang Emak anak mereka paling cantik hingga Emak merasa tak perlu berdandan. Ketika bekerja, Emak yang kadang harus keluar kantor mendampingi atasannya di daerah tambang yang panasnya menyengat pun tak pernah menggunakan pemutih kulit atau pelindung matahari seperti perempuan pada umumnya. Boss Emak saat itu malah bilang kalau warna coklat di kulit Emak adalah the sexiest color skin in the world sehingga Emak merasa tak perlu berusaha mencegahnya apalagi memolesnya dengan make-up selain lipgloss. Dan saat menikah, Emak juga tak merasa perlu banyak berdandan karena Ayah lebih suka melihat wajah alami Emak tanpa kosmetik.

Sekarang, semuanya berbeda. Usia Emak sudah melewati angka 30 tahun. Keriput memang belum ada, karena Emak suka sekali tertawa. Tapi noda-noda berbintik hitam cukup banyak menghiasi wajah Emak, ditambah beberapa bekas jerawat yang meninggalkan “kenangan” di beberapa bagian. Belum lagi kulit yang terasa kering saat diusap dan kusam serta rambut yang tak lagi mengembang seindah dulu saat digerai. Sungguh, Emak mulai kehilangan kepercayaan diri.

Saat bertanya pada anak-anak dan Ayah, Emak langsung dihujani kritik. Apalagi saat Kakak membandingkan Emak dengan Ibu temannya yang selalu full make-up dan wangi, tidak seperti Emak yang kata Kakak selalu tercium bau masakan dari tubuhnya.

Emak tak ingin terus menerus kalut dan bingung. Maka mulailah Emak berniat mengubah penampilannya. Yang pertama tentu saja ke salon. Emak menelepon adik Emak, bertanya padanya perawatan yang harus dilakukan. Maklum Emak hanya datang ke salon kalau ada acara saja, maka tak heran Emak sedikit bingung. Walaupun sempat ditertawakan oleh adiknya karena seumur-umur baru kali ini adik Emak mendengar keinginan itu, Emak tetap bersikukuh meneruskan rencananya.

Saat ke Salon, bermodal rekomendasi dari adik Emak dan setelah berputar-putar mencari akhirnya Emak menemukan salon khusus muslimah. Emak memilih Facial dan Creambath sebagai perawatan awal sesuai pesan adiknya. Meski sedikit tercengang melihat betapa jauh bedanya biaya salon biasa dengan salon khusus muslimah, tapi Emak sudah bertekad untuk melakukannya.

Tadinya saat tiba Emak mengira akan menikmati pelayanan yang menyenangkan. Di televisi saat melihat para selebriti melakukan perawatan, Emak lihat semuanya begitu santai dan terlihat menikmatinya. Tapi ternyata, kenyataannya sama sekali tidak. Saat facial, Emak harus menahan sakit. Wajah Emak dipermak dan dipencet habis-habisan. Wanita yang melayani Emak sibuk mengeluhkan wajah Emak yang tak pernah dirawat, komedo berlimpah dan juga noda-noda hitam yang sangat banyak. Padahal seingat Emak, wajahnya tak sebegitu parah. Ah, tapi Emak tak bisa bicara karena ia harus tetap menutup mulut atau maskernya akan retak.

Setelah itu Emak juga harus rela rambutnya yang panjang ditarik ke sana kemari. Karena tak terbiasa dipijat, Emak kegelian dan justru berharap perawatannya cepat selesai. Emak kesakitan, kegelian dan tak tahan dengan hawa panas di kepalanya. Sungguh, inilah perawatan paling menyiksa buat Emak.

Ketika akhirnya semua penderitaan itu berakhir, Emak tak membuang kesempatan. Meskipun sedikit mendelik saat melihat tagihan perawatannya, kaki Emak seperti akan berlari segera meninggalkan tempat itu. Emak takut kalau-kalau salah satu pegawai di Salon itu kembali memanggilnya karena ada perawatan yang belum dilakukan. Emak tak peduli bagaimana wajahnya terlihat karena yang Emak inginkan hanya satu. Meninggalkan tempat itu secepat mungkin.

“Waaah, Emak cantik sekali!” puji Abang saat Emak tiba di rumah. Emak baru saja membuka jilbab yang menutupi rambutnya yang baru saja dirawat. Rambut Emak berkilau dan mengembang indah membingkai wajahnya yang meski agak kemerahan sekarang terlihat lebih mulus.

Rasanya bagai melayang Emak menerima pujian itu. Si Abang jarang sekali bicara, maka saat ia berbicara Emak menganggapnya sebagai sesuatu yang benar-benar jujur dari hatinya. Ayah yang baru pulang dari kantor juga ikut memuji penampilan baru Emak. Kakak yang suka menggoda, sekarang terpaksa mengakui Emak jauh lebih cantik dari Ibu sahabatnya. Emak benar-benar gembira dan senang hari itu. Tak sia-sia rasanya harus bersakit-sakitan menderita dan mendapatkan hasil yang bisa membuat seluruh anggota keluarga menyukai penampilannya.

Tengah malam tiba, Emak masih tak bisa berhenti mengagumi penampilan barunya. Emak tersenyum-senyum sendiri menatap cermin di kamar tidur saat membersihkan wajahnya dan melihat betapa perawatan bisa mengubah begitu banyak hal. Ia tak sadar, sepasang mata Ayah memperhatikannya.

“Cantik itu bukan karena wajah yang mulus atau berlapis make-up, tapi cantik itu karena perasaan bahagia,” celetuk Ayah tanpa melepaskan tatapannya dari buku yang sedang dibacanya.

Emak melirik ke tempat tidur, bertanya-tanya maksud suaminya berkata seperti itu. “Ayah gak suka ya melihat Emak merawat diri dan kelihatan cantik?” tanya Emak merengut.

Ayah mendongak, menggeleng. Seulas senyum ia pamerkan. “Bukan begitu, Mak. Hari ini Emak memang cantik. Tapi Emak cantik bukan karena perawatan itu, Emak cantik karena hati Emak bahagia. Emak bahagia kan?”

Sunyi senyap untuk sesaat. Ayah kembali membaca bukunya. Sementara Emak merenungi kata-kata Ayah.

“Tahukah apa yang menyebabkan dulu Ayah jatuh cinta dan memilih Emak menjadi istri?” tanya Ayah tiba-tiba. Tanpa Emak sadari, ternyata Ayah sudah berdiri di belakang Emak, menatap Emak melalui cermin.

Tanpa menunggu pertanyaannya dijawab, Ayah kembali berkata, “karena Emak adalah seseorang yang tak pernah peduli dandanannya yang penting dia bersih. Seseorang dengan kepribadian yang periang, terbuka dan pandai menghidupkan suasana. Orang yang begitu peduli pada orang-orang di sekitarnya, sangat menyayangi orangtuanya dan memiliki perasaan yang peka. Saat itu Ayah pikir, inilah istri yang saya cari, perempuan yang akan menjadi teman hidup dan ibu anak-anak saya. Karena Ayah tahu, bersama dengan perempuan yang selalu tersenyum ini akan membuat hari-hari Ayah tak pernah sepi lagi.”

“Dan memang itu benar. Terus terang Ayah lebih suka melihat istri yang tak pernah kuatir kecipratan minyak atau bau badannya seperti bau bumbu masak asal bisa menghidangkan masakan terenak buat keluarganya, Ayah lebih sayang pada istri yang mau berpeluh keringat dan berkulit gelap karena mengantar ke sekolah memastikan anaknya tidak terlambat hadir dan Ayah lebih bangga pada istri yang rela menjahit bajunya berulang kali demi menabung buat pendidikan anak-anak. Bagi Ayah, itulah istri paling cantik di dunia. Istri yang memikirkan kepentingan keluarganya lebih dahulu dibandingkan kepentingannya sendiri.”

Emak tak bisa menjawab. Hanya dua tetes airmata mengalir di kedua pipinya, terharu. Ayah mengelus rambut Emak. “Ayah senang Emak merawat diri, karena artinya Emak merawat apa yang diberikan Allah dan itu adalah kewajiban setiap umat manusia. Tapi Emak jangan pernah melupakan kalau kecantikan yang sesungguhnya itu adalah wajah yang merasakan kebahagiaan di hati. Ayah ingin Emak tahu itu. Ayah ingin Emak menjadi ibu dan istri yang cantik dan bahagia. Kalau memang dengan merawat diri Emak bahagia, lakukan saja. Tapi jangan karena Ayah atau anak-anak yang doyan meledek ya. Apalagi karena kata-kata teman yang sedang berjualan kosmetik,” ujar Ayah mengakhiri kata-katanya sembari mencium ubun-ubun Emak.

Setelah itu Ayah meninggalkan Emak sendirian di kamar. Jiwa Emak seakan tersiram air mendengar nasehat Ayah. Ayah yang juga jarang bicara seperti Abang itu, selalu bisa membuat Emak terharu. Tangis Emak tetap tak berhenti. Emak baru sadar kalau Emak hampir kebablasan menikmati “kecantikan”nya, Emak hampir lupa kalau kecantikan yang utama adalah kecantikan hati.

Jajaran peralatan perawatan wajah baru yang sempat dibeli Emak seusai dari salon tadi sudah bersusun rapi di atas meja rias dan Emak tetap akan memulai merawat diri lebih dari sebelumnya, tapi Emak takkan melupakan semua pesan Ayah. Sebagai seorang wanita, Emak ingin tampil cantik dari luar dan dari dalam. Untuk itulah Emak akan menjaga kebersihan wajah, tubuh dan juga hatinya, untuk dirinya sendiri, untuk keluarga dan untuk orang-orang di sekelilingnya.


*****

0 comments:

Post a Comment

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena