Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Saturday 21 September 2013

Black Dream : Impian Atik (1)

Rambutnya berkibar terkena angin saat ia berlari-lari kecil mendekati rombongan kecil yang berdiri di depan pagar sekolah. 

"Tik! Selamat ya!"

"Hebat!! Kamu memang hebat!"
Atik, gadis remaja berambut pendek itu tersenyum lebar. Ia mengangguk. Senyumnya makin lebar, ketika beberapa temannya pun menyalaminya. Memberi selamat.

Di tangannya selembar surat masih ia genggam dengan penuh rasa bangga. Di situ jelas tertulis, ia peraih nilai tertinggi untuk ujian akhir sekolah. Nilai yang susah payah ia perjuangkan selama bertahun-tahun.

Senyumnya makin mengembang, membayangkan wajah melongok Tante Siska dan wajah senang Papi. Sebuah rencana terlintas. Papi harus jadi orang pertama yang tahu tentang ini. Harus!

"Hei! Mau ke mana?" sambar Sandra, berusaha menangkap lengan Atik.

Atik menarik tangannya. "Aku harus pulang! Besok aja traktirannya ya!"

"Apa?" pekik Sandra, "Hei!!! Curang!!"

Atik tak peduli. Kakinya sudah berlari cepat mengejar angkot yang berhenti tak jauh darinya berdiri. Tiga sahabatnya nampak bersungut-sungut saat ia melambaikan tangan dari balik kaca jendela belakang angkot. Ia tertawa lebar. Lagi.

***

Rumah Papi selalu sepi. Tempat tinggal berlantai dua itu memang cukup besar untuk ditempati berdua. Papi tinggal di situ, hanya berdua dengan Tante Siska, istri keduanya. Mereka tak punya keturunan hingga sekarang. Buat Atik, itu bagus. Setidaknya ia masih bisa bebas mendatangi Papi, walaupun sungutan Tante Siska tak pernah hilang. 

"Assalamualaikum!" teriak Atik melalui pintu pagar. Tak ada jawaban.

Tangan Atik memutar gagang pintu. Tidak terkunci. Atik langsung melangkah masuk. Sepasang mata menyambutnya. 

"Oh, kamu! Kirain siapa?" Tante Siska melirik sebentar, memasang muka masam lalu melengos dan kembali melanjutkan menyiram tanaman perdu di dekatnya. "Mau ngapain kamu? Bukannya jam segini harusnya sekolah?"

"Papi mana, Tante?" tanya Atik tanpa mempedulikan pertanyaan Tante Siska. Untuk apa? Toh, ia tak merasa ada keperluan dengan si nenek lampir, julukan pemberian Azka, adiknya. 

"Mau ngapain kamu cari Papimu? Minta uang?" lagi-lagi nada curiga terdengar, bahkan terlalu jelas. 

Atik sudah kebal. Begitulah Tante Siska. Tapi bukan Atik namanya kalau tak tahu caranya menghadapi ibu tirinya.

"Ada di dalam kan, Tan?" tebaknya. Jawaban Tante Siska hanya cibiran bibir menornya yang makin maju. Atik hanya tersenyum dan berlalu menuju ke dalam rumah.  

Lelaki yang dicarinya sedang duduk di kursi tamu, membaca koran pagi. Aroma kopi kental berwarna hitam pekat di meja tercium saat Atik masuk. Atik berlari mendekatinya.

"Papiiiii!!"

Kontan Papi menurunkan koran. Terhenyak. "Loh, kamu kenapa ke sini? Bolos?" duga Papi dengan kening berkerut.

Atik menggeleng. Ia langsung duduk di samping Papi. "Ngga!" Tangan Atik mengambil gelas kopi Papi dan menyeruputnya. "Mantaaap! Kopi Tante Siska selalu enyak."

"Eeh anak ini! Papi aja belum minum sama sekali. Begitu datang langsung main sambar aja." Papi menepuk jemari Atik ketika ia selesai menurunkan gelas. Atik nyengir. 

"Kan udah lama gak minum kopi Papi. Kangen!"

"Eits, tapi kamu ngapain ke sini sepagi ini?" 

Atik tersenyum. Tangannya menyodorkan lipatan surat yang ia ambil dari dalam tas. "Untuk Papiku tersayang," ujarnya bangga.

Papi mengambilnya. Menelusuri huruf-huruf yang tertera di dalam surat pemberitahuan itu. Atikah Hapsari Rinjani, siswi SMA Cempaka Indah 01 Samarinda dengan nilai tertinggi. Memuaskan. Bibir Papi berkerut-kerut, menahan airmata. Atik menatap Papi. Meraup dengan rakus, menyimpan ekspresi yang ia lihat di hadapannya. Ekspresi yang teramat sangat ia rindukan. Ekspresi bangga dan haru bercampur jadi satu.

Akhirnya Papi mengangkat wajah. Ia memandang Atik dengan mata berkaca-kaca. "Hebat, Putriku. Ini sangat hebat! Kau memang.... benar-benar hebat!"

"Papi... " Atik memeluk Papi, berlindung di balik tubuh tambun yang hangat itu. 

Papi, segalanya untuk Atik. Karena Papi-lah, Atik berjuang keras untuk membuatnya bangga seperti itu. Biar Tante Siska tak lagi seenaknya melarangnya datang dengan alasan Atik anak yang hanya bisa membuat Papi marah atau malu.

Atik punya mimpi. Sama seperti anak-anak lain, ia pernah berharap rumah tangga Papi utuh lagi bersama Mami. Tapi seiring waktu berlalu, Atik menyerah. Azka dan Alia juga. Bahkan mereka menyerah jauh sebelum Atik akhirnya memahami. Papi dan Mami bagai air dan minyak. Pernikahan mereka dijalani karena motif. Bukan karena cinta. 

Sekarang, Atik punya mimpi yang berbeda. Ia ingin menjadi dokter. Papi, mahasiswa drop out yang gagal memperjuangkan titel itu. Atik ingin memberikan kebanggaan itu meski melalui tangannya. Papi pasti takkan pernah pergi dari sisi Atik kalau ia bisa mewujudkannya.

Tangan Papi menepuk-nepuk punggung Atik yang masih merangkulnya manja. Tanpa suara, lelaki itu menatap lukisan ikan yang sedang berenang di ruang tamu. Berusaha menutupi kerisauannya yang lain di balik berita gembira yang dibawa putrinya. Biarlah, biar jadi rahasianya saja. Kasihan Atik kalau saja ia tahu.

Pemandangan itu dilihat dengan mata Tante Siska dari balik pintu yang terbuka sedikit. Mata itu menyorot marah. Ia menahan geram.

Lihat saja nanti, anak manja  

*****




0 comments:

Post a Comment

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena